High Hopes XXIII

693 73 5
                                    

Jungkook masih diam ketika Taehyung membantunya duduk di atas ranjangnya.

Beberapa jam setelah percakapan dengan balasan antar perasaan yang begitu dominan kalutnya itu, mereka kembali ketika langit pelan-pelan makin gelap. Senja yang di awal terasa begitu menyenangkan itu, perlahan ditudungi oleh awan mendung setelahnya. Langit seperti ikut berduka terhadap perasaan mereka, pun harapan mereka. Keduanya saling diam dalam perjalanan kembali dari taman, tetapi atensi yang Taehyung berikan pada Jungkook seakan tidak diam. Memperbaiki letak jaket, memastikan roda kursinya baik serta posisi kakinya nyaman, lalu memperbaiki letak surainya yang agak berantakan lepas ditiup angin. Jungkook tidak membuka percakapan apapun, hanya meresapi segala atensi dan diamnya atmosfir mereka. Mereka bertemu dengan Ibu Jeon di lorong menuju kamar, terlihat raut wajah Ibu Jeon yang nampak lega sebab ia sempat keheranan ketika ia datang dan melihat ranjang Jungkook kosong. Wanita itu tersenyum hangat.

"Kalian sudah makan?"

Keduanya menggeleng dan Ibu Jeon bercakap sebentar lalu langsung bergegas ke kantin rumah sakit untuk membelikan Taehyung makanan. Sebab Jungkook punya makanannya sendiri dari rumah sakit nanti.

Maka di sinilah mereka berakhir.

Pada Taehyung dan Jungkook yang masih diam setelah kejadian di sore hari. Jungkook yang masih duduk di pinggir kasurnya, menatap Taehyung yang masih terus diam dengan wajah murung. Jungkook menatapnya, ia tersenyum kecil. Nampaknya sedih juga melihat Taehyung terus diam sejak tadi. Ia meraih tangan Taehyung, mencoba membuat Taehyung untuk melihatnya.

"Kak?" Panggilnya.

Taehyung tidak menjawab, tetapi netranya menatap balik netra doe itu.

"Sudah sedihnya dong? Sekarang sudah malam, di luar sudah hujan, Kakak jangan mendung juga."

Jungkook lihat ada helaan napas berat, ia terkekeh kecil sekalipun dengan mata yang masih sedikit bengkak akibat menangis banyak.

"Maaf ya? Maaf kalau aku menyakiti Kakak."

"Tidak usah minta maaf, tidak perlu merasa bersalah, Kook. Kau tidak salah apa-apa."

Jungkook menggeleng.

"Yang aku katakan memang menyakitimu Kak. Tapi, kalau tidak seperti itu, bagaimana nanti Kakak mau ikhlas sama aku?"

Kepala Taehyung berdenyut.

"Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi."

Jungkook tersenyum, ia mengangguk. Sebelum tubuh Taehyung bergerak mundur untuk duduk kembali di tempatnya, dengan cepat tangan Jungkook meraihnya. Melingkarkan tangannya pada pinggang Taehyung, menariknya untuk memeluk tubuh itu. Taehyung terkejut, apalagi setelah melihat Jungkook menenggelamkan wajahnya pada dadanya. Dagu Taehyung sampai bisa bertempat pada puncak kepala Jungkook.

"Kakak, soal yang tadi sore."

Suara Jungkook mengecil. Dalam ketenangannya ia sedang menghayati rasanya memeluk Taehyung, merasakan tubuh kakaknya yang tidak begitu besar tetapi jelas merupakan tubuh atlit yang dilatih. Perut Taehyung pun terasa berbeda, ada lekuk otot yang bisa ia rasakan. Jungkook makin erat peluknya. Membatin betapa berbedanya tubuhnya yang sedikit gemuk dan perutnya yang bisa dicubit lemaknya. Seorang anak rumahan yang membandingkan dirinya pada sosok atlit yang ia sayangi.

"Kenapa?"

Jungkook sadar dari lamunannya ketika tangan Taehyung menepuk pelan tengkuk lehernya.

"Aku sedang berusaha untuk menggantungkan harapanku setinggi mungkin, sejauh mungkin, agar dilihat dan dipetik Tuhan. Jadi tolong, doakan aku ya?"

Ada nyeri yang kembali menyerang jantung Taehyung. Ia tidak bisa menahan ekspresinya yang begitu sedih ketika mendengar tutur kata Jungkook, apalagi ketika pelukan itu semakin erat.

High HopesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang