1 - Ending

3.4K 48 0
                                    

"Hufth, akhirnya selesai juga," ujarku menghela nafas.

Aku memandangi deretan huruf yang berjejer rapi di layar laptop, saling berjalin merangkai kata, terus mengurut menjadi kalimat, dan kian bersambung membentuk cerita. Sebuah naskah novel yang telah kupendam selama dua tahun terakhir akhirnya tuntas juga.

Saat masih muda, naskah roman seperti ini mungkin bisa aku selesaikan dalam waktu beberapa bulan saja. Namun dengan stamina yang sudah menurun, ingatan yang kian membuyar, dan imajinasi yang mulai hambar, aku merasa cukup puas dengan hasil kerja kerasku kali ini, meski harus memakan waktu jauh lebih lama.

Tanganku meraih bungkus rokok berlogo khas warna merah yang tergeletak di atas meja, tepat di samping laptop yang masih terang menyala. Aku pun menarik selinting tembakau, membakar ujungnya, dan meletakkan ujung lainnya di sela-sela bibirku.

"Ssppppp ..." Aku menghisapnya dalam-dalam, sebelum melepaskan kepulan asap dengan santai ke udara. Aku merasa seperti tengah melepaskan segala beban yang selama beberapa bulan terakhir ini terus hinggap di pundakku. Semua gara-gara naskah novel menyebalkan ini.

Dari balik jendela ruang kerja tempatku menulis, aku bisa melihat langit kemerahan, yang sedang menyertai turunnya matahari ke ujung ufuk. Begitu asyiknya menulis, aku jadi tidak sadar bahwa hari sudah beranjak sore. Bahkan, aku pun lupa hari apa ini.

"Persetan dengan itu, yang penting novel sialan ini bisa selesai juga," ujarku dalam hati.

Namun aku seperti tidak bisa berhenti memikirkan nasib Rudi, tokoh utama di novelku kali ini. Ia adalah seorang pengusaha yang berkali-kali gagal menjalin cinta, tetapi berhasil menemukan tambatan hati yang merebut hatinya menjelang akhir cerita. Happy ending, sesuatu yang tentu sangat ditunggu-tunggu oleh para pembaca.

Memikirkan hal tersebut aku pun tersenyum, kemudian tertawa, kemudian mulai terbahak-bahak. Mengapa? Karena tidak ada happy ending di dunia nyata.

Aku contohnya, seorang suami yang setia dan tidak pernah berselingkuh, hanya fokus bekerja keras membuat novel demi novel untuk membahagiakan hidup istriku. Namun Inggit, perempuan jalang itu, malah memilih untuk bercerai dan menikah dengan pengusaha yang lebih kaya.

"Yah, mungkin bagi pengusaha tersebut, ini adalah cerita yang happy ending. And i'm just the pathetic loser," gumamku dengan miris.

Tinggallah aku sendiri, pria tua berusia 50 tahun, tanpa istri, tanpa anak, hidup tanpa saudara di pinggir ibukota. Meski rumahku tergolong mewah, tetapi terasa hampa karena tidak ada lagi orang di dalamnya selain diriku.

Aku bahkan memutuskan tidak menyewa asisten rumah tangga, supir, atau petugas keamanan untuk menjaga rumah ini. Aku hanya ingin terlelap dalam kesendirianku.

Tak terasa, sebatang rokok telah kuhabiskan. Untuk menutupi rasa asam di bibir, aku pun menyeruput kopi yang ada di atas meja kerjaku. Cangkir yang kusiapkan sejak siang tadi kini hanya tinggal terisi setengah.

Karena merasa gerah, aku pun melepas kaos hingga dada dan perutku yang mulai membuncit ini terbuka. Kini aku hanya mengenakan celana pendek, tanpa memakai celana dalam lagi di baliknya. Aku tentu merasa bebas berbusana seperti ini di dalam rumah, toh tidak akan ada yang melihat.

Aku kemudian meninggalkan bungalow yang menjadi tempat kerjaku setiap hari. Bungalow tersebut terpisah dari bangunan utama, dan di antara keduanya ada jalan setapak dari bebatuan yang terbentang di atas rerumputan hijau. Di sekelilingnya ada pagar tinggi yang membatasi rumahku dengan rumah-rumah lain di sebelah kiri dan kanan. Aku yang menyukai kesan asri dan alami memang sengaja mendesain rumah seperti itu.

Jarak antara bungalow dan bangunan utama rumah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 10 meter. Namun dengan berjalan di antara keduanya setiap hari, tanpa atap yang menaungi, membuatku bisa merasa bugar setiap kali mulai atau selesai bekerja. Ruang terbuka di tengah rumah ini pun membuatku bisa berjemur di pagi hari, menikmati hujan yang turun saat siang hari, atau memandangi bintang dan bulan di malam hari.

Setelah memasuki bangunan utama, aku langsung melepas celana pendekku dan berjalan menuju kamar mandi. Di dalamnya, aku berdiri di bawah shower dan menyalakan keran air hangat. Ahhh ... nikmat sekali merasakan guyuran air hangat seperti ini setiap selesai bekerja.

***

Hari sudah begitu gelap saat aku baru selesai menyiapkan makan malam untuk diriku sendiri. Jarum jam telah menunjuk ke angka 9. Aku pun menyalakan Netflix di televisi, untuk memutar kembali serial Friends yang entah sudah aku tonton berapa kali.

Bagi banyak pecinta serial Friends lainnya, yang menjadi tokoh favorit mereka di serial ini biasanya adalah Rachel, Ross, Phoebe, atau mungkin (bagi beberapa orang aneh) Chandler. Namun tokoh favoritku justru Richard, dokter mata yang kemudian berpacaran dengan Monica. Entahlah, mungkin karena aku memang punya fantasi berpacaran dengan perempuan yang lebih muda, atau kisah asmara Rachel dan Ross yang terlalu kekanakan terasa begitu membosankan bagi orang tua sepertiku. Entahlah.

Setelah makan malamku, seporsi spaghetti siap saji, tandas tanpa sisa, aku pun membuka sekaleng bir untuk menutup hari. Seteguk minuman beralkohol dingin setelah bekerja seharian terasa begitu melegakan bagiku.

"Ahh, iya ... Aku harus memberitahu Budi bahwa novelku telah selesai."

Aku pun langsung meraih smartphone dan mengetikkan sebuah pesan kepada editor yang biasa menangani tulisanku. Ia tentu tidak akan marah aku mengirim pesan selarut ini, karena memang biasanya seperti itu. Paling kalau dia sedang sibuk dengan pekerjaan atau bercengkerama dengan istrinya, atau bahkan sudah tidur, dia baru akan membalas esok hari.

Serial Friends masih berputar di layar kaca, tetapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku sudah hapal setiap episodenya, mulai dari season pertama hingga terakhir. Tapi lama-kelamaan, aku jadi terbiasa menyetel serial tersebut sebelum tidur. Mungkin itu karena aku belum menemukan saja serial-serial bagus lainnya.

Merasa iseng, aku membuka akun Twitter dan memeriksa timeline. Tidak ada yang menarik, hanya ada sumpah serapah dari teman-temanku sesama penulis tua yang sepertinya sedang kesal sekali dengan pemerintah. Dan seperti yang sudah bisa kita duga bersama, tentu ada penulis lain yang selama ini disebut-sebut telah mendapatkan "proyek pemerintah", yang langsung menghajarnya habis-habisan. Menurutku, daripada mereka berperang kata seperti ini, lebih baik langsung diadu saja di ring tinju, tentu akan lebih seru.

Saat timeline terasa membosankan seperti sekarang, aku biasanya akan menulis beberapa kata tanpa makna, sekadar hanya untuk mengisi timeline supaya tidak terlihat sepi. Dengan setengah mabuk, aku menulis:

"Hati adalah paradoks. Hati yang terisi seringkali terasa hampa, tetapi hati yang kosong justru tak pernah terasa hampa."

Entah apa maksudnya, aku pun tidak mengerti. Paling tidak, kata-kata tersebut bisa menjadi hiburan bagi puluhan ribu follower yang entah untuk apa mengikuti cuitan pria tua bangka yang selalu menulis tweet sambil mabuk ini.

Tab notifikasi pun langsung penuh dengan ragam Retweet, Like, dan tanggapan. Biasanya mereka akan membalas dengan cuitan yang tidak kalah anehnya. Namun tiba-tiba ada sebuah balasan yang begitu menarik perhatianku. Begini bunyinya:

"Kalau Pak Jo, hatinya sedang hampa atau tidak?"

Kata-kata tersebut mungkin terkesan biasa, tetapi menjadi menarik karena dikirim oleh akun yang sepertinya milik seorang perempuan. Tertulis di profilnya bahwa ia bernama Astari, dengan deskripsi singkat: "seorang jurnalis". Aku pun tergoda untuk melihat foto di profilnya, dan ia memang tampak begitu muda, mungkin masih berusia 20an tahun. Ia mengenakan jilbab yang seperti membingkai wajahnya yang indah, cantik, dan putih.

"Manis sekali anak ini," gumamku.

Tadinya aku hendak membalas tweet tersebut, tetapi kemudian aku urungkan. Pikiran jernihku tiba-tiba menyeruak menembus kabut alkohol, dan kembali menguasai otak mesumku. Tapi sebelum menutup aplikasi Twitter, aku tak lupa melakukan satu hal: menekan tombol follow di profil perempuan tersebut.

Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang