33 - Kolam Renang

1.6K 7 0
                                    

Semenjak menikah, kakakku langsung tinggal di rumah baru yang telah dibeli oleh Kak Jodi untuk mereka berdua. Lokasinya cukup jauh dari rumah kami, sehingga Kak Amanda tidak bisa setiap hari datang berkunjung. Mungkin hanya seminggu sekali ia datang ke sini. Karena itu, praktis hanya ada aku dan Ibu saja di rumah.

Hal itu membuat aku punya banyak waktu kosong untuk berbincang berdua dengan Ibu. Namun entah mengapa, aku seperti sulit untuk menceritakan tentang keresahan aku akhir-akhir ini kepada perempuan yang telah melahirkanku tersebut. Namun aku sadar, cepat atau lambat, aku harus mulai terbuka dengannya.

Ini adalah ajaran yang sangat dipegang teguh oleh keluargaku. Sebagai anak, kami harus terbuka akan apa yang kami pikirkan dan keputusan apa yang akan kami ambil. Namun di saat yang sama, Ayah dan Ibu tidak pernah menahan kami akan pilihan yang kami buat. Mereka hanya memberikan masukan baik dan buruknya, dan membiarkan kami menentukan sendiri mana yang terbaik.

Namun tetap saja, untuk masalah ini aku berusaha berhati-hati menjaga perasaan Ibu.

Karena itu, aku memilih waktu yang benar-benar tepat, saat suasana hati Ibu sedang baik. Semoga saja langkah ini bisa membuat dia lebih memahami apa yang ingin aku sampaikan, terlepas dari apa tanggapan beliau nanti.

"Bu, Astari mau bicara," ujarku pada suatu malam.

Aku telah pulang bekerja dan membersihkan diri, sehingga tidak ada alasan bagi Ibu untuk menghindar dari berbincang denganku. Saat itu, Ibu baru saja selesai menonton sinetron kesukaannya. Semoga saja tidak ada adegan menyedihkan yang baru saja diputar di episode hari ini.

"Mau bicara apa, Astari. Ngomong saja, Nak," jawab Ibuku.

"Hmm, aku sedang ingin menjalin hubungan dengan seseorang, dan ingin meminta restu Ibu."

"Dia yang membuat kamu tiba-tiba menghilang saat pesta pernikahan kakakmu kemarin?"

Insting seorang Ibu memang tidak bisa ditandingi. Ia tidak perlu bertanya-tanya terlebih dahulu kepadaku, untuk sampai ke kesimpulan yang tepat. Aku pun menjawab pertanyaannya dengan anggukan pelan.

"Pada dasarnya Ibu akan selalu memberi restu siapa pun orang yang kamu pilih. Untuk Kak Amanda juga begitu. Ibu membebaskan kalian untuk memilih pasangan hidup yang kalian mau. Namun ..."

"Namun apa Bu?"

"Namun dalam menjalin hubungan pasti ada pasang surut, suka duka, putus sambung. Lalui semuanya dengan penuh tanggung jawab. Itu saja pesan Ibu."

"Ibu tidak mau tahu dulu siapa orang yang aku ingin ajak untuk menjalin hubungan?"

"Seperti yang Ibu bilang tadi, Ibu tidak terlalu peduli. Yang penting apabila ada apa-apa, jangan sungkan untuk kembali bicara dengan Ibu."

Aku pun terdiam.

"Sepertinya kamu yang tidak yakin dengan pilihanmu sendiri, Astari."

"Hmm, sebelumnya memang begitu sih, Bu. Namun setelah mendengar kata-kata Ibu, aku menjadi yakin," jawabku sambil tersenyum.

"Asmara itu hanya satu bagian dalam hidup, bukan keseluruhan hidup. Masih ada keluarga, teman, pekerjaan, dan lainnya. Apabila asmara sedang naik, sudah biasa keluarga dan teman dikorbankan. Namun Ibu cuma ingin kamu tahu, bahwa sedang naik ataupun turun kisah asmara kamu, Ibu akan selalu ada di sini untuk kamu."

Kata-kata tersebut benar-benar membuatku terharu. Aku pun memeluk Ibuku dengan erat. Aku lampiaskan semua air mataku yang tertahan selama ini di bahu Ibuku. Ia pun seperti tidak mencegahku untuk menangis, dan malah membiarkan aku mengucurkan air mata sejadi-jadinya. Dalam sosok Ibu, aku menemukan sebuah kebijaksanaan yang tidak ada tandingannya di dunia ini.

Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang