"Tumben pagi banget sudah datang. Biasanya selalu duluan aku," ujar Mbak Vera sambil duduk di kursinya, yang tepat berada di sampingku.
"Orang datang siang, diomelin. Datang pagi, dicurigain. Susah memang jadi temannya Mbak Vera," ujarku meledek temanku tersebut.
"Ya elah, Astari. Begitu aja ngambek. Jangan kebanyakan ngambek, nanti bisa cepat tua, hee."
Aku pun tidak membalas kata-katanya, dan fokus pada laptop yang ada di hadapanku. Meski begitu, pikiranku sebenarnya tengah melanglang buana ke tempat lain. Aku tengah berpikir tentang sesuatu yang sepertinya tidak bisa aku ceritakan kepada siapa pun, meski orang terdekatku sama sekali.
Saat melirik ke samping, aku menyadari bahwa Mbak Vera adalah satu-satunya orang di mana aku bisa berkeluh kesah tentang hal ini. Dia bukan keluarga, sehingga dia tidak akan menuduh aku yang macam-macam. Dia juga sudah cukup dewasa, seorang ibu muda beranak satu, yang pasti sudah kenyang akan asam garam kehidupan.
"Mbak Vera, lagi sibuk gak?"
Ia langsung menghentikan aktivitasnya membereskan meja kerja, ritual yang selalu ia kerjakan tiap pagi, lalu menghadap ke arahku. "Ada apa, Astari?"
"Aku ingin ngobrol sesuatu."
"Ya sudah, bilang aja," perempuan tersebut pun langsung duduk di kursinya, yang digeser agar mendekat ke tempat dudukku. "Ada apa sih, cantik?"
"Mbak Vera, kapan merasa yakin untuk menikah dengan suami Mbak?"
"Oh, ini soal asmara ya? Hee ..."
"Ihh, jangan meledek donk Mbak. Aku nanya serius neh."
"Iya, iya ... serius banget sih kamu. Wajar sih memang di usia kamu akan muncul pertanyaan tersebut. Dan memang sudah waktunya juga kamu menjalin asmara kan."
"Terus, bagaimana cara tahu bahwa si A atau si B ini adalah orang yang cocok menemani kita, sampai mati nanti?"
"Nah, itu masalahnya."
"Maksud Mbak bagaimana? Kok pertanyaan aku itu jadi masalah? Katanya itu pertanyaan normal?"
"Masalahnya adalah kamu memandang cinta, asmara, atau apa pun itu, adalah sebuah hubungan yang akan terus stabil sampai kedua belah pihak menghembuskan nafas."
"Lho, bukannya memang seperti itu?"
Mbak Vera menggeleng.
"Cinta dan asmara itu sama seperti hubungan pertemanan. Ada pasang, ada surut. Kadang jadi teman, kadang jadi musuh. Semuanya penuh dinamika. Dan saran aku, sebelum kamu memulai hubungan, pahami dulu hal ini."
"Oke, aku paham, cinta itu ada pasang dan surut. Lalu bagaimana cara menentukan siapa orang yang tepat untuk kita?"
"Nah ini adalah bentuk kesalahan yang lain lagi," Mbak Vera kembali protes, membuatku semakin bingung.
"Aku salah apa lagi sih, Mbak?"
"Kamu memandang konsep jodoh itu seperti satu orang yang memang diciptakan spesial untuk kamu, dan dia tidak mungkin jatuh ke tangan orang lain."
"Bukannya memang seperti itu?"
"Selama kamu tidak punya contekan ke buku takdir yang dibuat Tuhan, tidak ada yang tahu siapa jodoh kita masing-masing, cantik."
"Lalu, kembali lagi ke pertanyaan aku yang awal. Bagaimana Mbak menentukan oke, aku akan menikah dengan si A yang jadi suami mbak yang sekarang?"
"Nah, ini baru konsep yang baik. Bagaimana aku menentukan untuk menikah dengan suamiku. Jawabannya lebih mudah, yaitu karena aku merasa dia adalah sosok yang saat aku membayangkan tengah berada di masa-masa sulit atau masa-masa senang di masa depan, aku masih ingin bersama dengan dia."
"Lho, bukannya itu konsep yang sama dengan jodoh, cinta sampai mati, dan semacamnya?"
"Beda donk," ujar Mbak Vera, yang jujur sedikit membuatku bingung. "Sesungguhnya, aku tidak peduli dengan konsep-konsep yang kamu katakan barusan. Aku hanya tahu bahwa aku merasa nyaman dengan dia, dan masa depanku akan bahagia dengan dia. Apabila setahun setelah menikah, aku tidak bisa lagi membayangkan masa depan yang indah, contohnya karena aku baru tahu dia tukang selingkuh, atau suka memukul perempuan, apakah layak aku mempertahankan dia dengan alasan dia adalah jodoh yang telah aku nikahi?"
"Ahhh ..." aku mulai bisa meraba ke mana arah pembicaraan Mbak Vera.
"Banyak orang yang terjebak dengan konsep jodoh dan cinta sampai mati, yang akhirnya membuat mereka tidak bisa lepas dari hubungan yang sebenarnya berbahaya, atau toxic. Padahal menurutku, ya kita realistis aja di masa sekarang, jangan pikirkan masa lalu yang sudah lewat dia sangat sayang sama kita, suka kasih hadiah, apa lah ... tai kucing itu semua," harus aku akui, cara Mbak Vera menjelaskan masalah ini memang benar-benar menarik. "Yang perlu kita pikirkan adalah masa sekarang, apakah kita masih bisa membayangkan masa depan yang indah dengan dia. Apabila tidak, cari mana yang bisa."
"I see ..."
"Cinta itu sama dengan hidup, harus berproses. Jalani saja apa yang ada di hadapan kamu, dan jangan ragu untuk mengambil tindakan apabila ternyata keputusan kamu di masa lalu adalah kesalahan. Namun apabila kamu masih terus merasa bahwa itu adalah keputusan yang tepat, bersyukurlah," ujar Mbak Vera sambil mengedipkan mata ke arahku.
Sungguh tidak salah aku meminta sarannya. Ia seperti baru saja memberikan ceramah padaku di pagi hari ini.
***
Aku melirik jam tangan, sudah sekitar jam 3 sore. Namun meeting redaksi hari ini belum juga selesai. Aku melirik Mbak Vera yang ada di sebelahku dan menyenggol kakinya. Saat ia menoleh ke arahku, aku langsung menunjuk jam tangan yang aku kenakan. Ia seperti mengerti apa yang aku maksud, dan hanya menaikkan pundaknya tanda ia tak tahu kapan rapat ini akan selesai.
Namun untungnya, hal tersebut tidak berlangsung terlalu lama. Atasan kami menyudahi meeting pada pukul 3 lewat 15 menit. Saat berjalan kembali ke meja kerjaku, seorang office boy tampak sedang meletakkan sebuah buket bunga di mejaku. Aku pun langsung berteriak memanggil namanya.
"Woyy, Udiiiiinnn ... Siniiiii," ujarku kencang. Aku tak peduli seluruh karyawan di lantai ini mendengar teriakanku. Aku sudah kesal sekali dengan si Udin ini yang sering banget berbuat salah.
Office boy pendek berkulit hitam itu pun berbalik. Saat sudah berada tepat di hadapanku, ia tampak bingung.
"Iya, Neng. Ada yang bisa Udin bantu?"
"Kamu gak sadar salah kamu apa?" Ujarku sambil menyilangkan tangan di depan dada, berusaha menunjukkan kuasa yang aku miliki di hadapannya.
"Nggak, Neng. Memangnya Udin salah apa?"
"Coba pikir baik-baik, kamu tadi baru melakukan apa? Dan apa kesalahan yang kamu lakukan?"
Aku bisa melihat raut wajah heran di muka Udin. Ia seperti tidak tahu sama sekali apa kesalahan yang baru ia perbuat.
"Udin nyerah, Neng. Perasaan Udin gak ada salah apa-apa."
"Tadi sebelum pergi kamu melakukan apa?"
"Udin taruh buket bunga dari satpam di bawah, katanya suruh dibawa ke sini."
"Nah, kamu kan sudah aku bilangin beberapa kali, meja Mbak Vera itu yang di sebelah kiri, yang di sebelah kanan itu meja aku. Kenapa kamu malah taruh buket bunganya di meja aku?"
"Lho, kan memang buket bunganya buat Neng Astari."
Jawaban tersebut membuat aku kaget. Aku pun langsung memeriksa buket bunga yang ada di mejaku, dan ternyata benar ditujukan untukku. Tidak ada pesan sama sekali, hanya tertulis "To: Astari, From: R".
Tanpa perlu keterangan lebih lanjut, aku pun tahu siapa yang mengirim buket bunga tersebut. Di belakang, aku bisa melihat Mbak Vera yang terkekeh melihat tingkahku. Apalagi, Udin seperti masih merasa bersalah dan tidak kunjung pergi.
"Jadi, buket bunganya salah ya, Neng? Udin bawa ke pos satpam lagi ya?"
"Udah-udah pergi sana ... Gak jadi, sana sana pergi," ujarku yang masih merasa malu.
Mbak Vera hanya tertawa sambil duduk di kursinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel
RomanceMenjadi editor untuk buku terbaru milik seorang penulis ternama seharusnya bisa melambungkan karier Amanda. Namun, hubungannya dengan sang penulis yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, justru memasuki lembah yang belum pernah ia kunjungi sebelum...