Saat aku memarkirkan mobil, jam tanganku menunjukkan pukul delapan malam. Padahal, di undangan yang aku terima tertulis bahwa acara resepsi pernikahan tersebut akan diselenggarakan mulai pukul tujuh sampai sembilan.
"Paling di awal akan lama dengan upacara adat atau semacamnya yang seperti berusaha dengan kuat untuk membuat acara pernikahan ini terlihat begitu sakral, padahal mah biasa saja," ujarku yang sudah pernah mengalami pernikahan seperti itu, dan hadir di cukup banyak pernikahan pasangan lain yang modelnya pun serupa.
Karena itu, aku pun sengaja datang terlambat agar tidak perlu menunggu upacara-upacara basa-basi seperti itu. Di sisi lain, aku juga mungkin tidak akan kuat menyaksikan aktivitas sakral tersebut yang diikuti oleh Amanda, terutama setelah hubungan yang aku jalani dengannya di Jogja beberapa bulan lalu.
Saat memasuki aula tempat resepsi tersebut berlangsung, beberapa hadirin tampak mengenaliku. Ada yang hanya malu-malu melihat ke arahku dan menunjuk-nunjuk dari jauh. Namun ada juga yang terang-terangan menyapaku, meski aku tak mengenali mereka.
"Ini Raharjo yang penulis novel itu ya," ujar seorang ibu tua berkebaya warna merah yang sedang memegang piring berisi somay lengkap dengan saos kacang di atasnya, tiba-tiba menghentikan langkahku dari arah depan.
"Iya, betul Bu," ujarku sambil tersenyum. Bertahun-tahun menjadi penulis terkenal, sudah membuatku terbiasa diperlakukan seperti itu oleh orang asing. Aku pun menjadi terlatih untuk menghadapi mereka.
"Waduh, saya itu ya bacaaaaaaa semua karya Bapak. Sampai yang terbaru itu yang judulnya Kere ... Kere ... apa ya?"
"Kerinduan Hati, Bu."
"Nah, itu betul. Kerinduan Hati. Duh, saya sampai nangis lho baca endingnya ..."
"Terima kasih, Bu. Kalau boleh, saya minta izin untuk ..."
"Kapan lagi neh membuat novel baru?" Ujarnya memotong kata-kataku.
"Hmm, mungkin ditunggu saja, Bu. Secara novel terbaru saya baru keluar, mungkin butuh waktu beberapa bulan sampai saya meluncurkan novel selanjutnya," ujarku sambil masih tersenyum.
Dalam hati, aku sudah ingin marah-marah saja pada si Ibu kurang ajar ini. Namun aku masih berusaha menahan diri, apalagi ini adalah resepsi pernikahan dari editorku sendiri.
"Owh, begitu ya. Lalu Bapak ke sini memangnya kenal dengan pengantin? Yang laki atau yang perempuan?"
"Aduh, kepo banget sih ini Ibu," ujarku dalam hati. Aku pun kemudian menjelaskan, "Mempelai perempuan, Amanda, itu adalah editor dari novel Kerinduan Hati yang tadi ibu sebutkan."
"Lho, masa iya? Si Amanda itu keponakan jauhku lho. Dia tidak pernah bilang kalau kenal penulis terkenal seperti kamu. Harus dibilangin itu anak nanti," ujarnya dengan nada kesal yang sepertinya tidak dibuat-buat. "Ya sudah, saya pamit dulu ya, permisi."
Aku akhirnya bisa menghela nafas lega, setelah bisa bebas dari si ibu tidak tahu diri itu. Semoga saja hanya ada satu spesies seperti dia di acara resepsi ini.
Dengan canggung, aku pun melangkah menuju pelaminan, ikut mengantri dengan para pengunjung lain menuju tempat yang sama. Saat melihat sekeliling, aku bisa melihat beberapa orang yang sepertinya merupakan rekan kerja Amanda dari penerbit tempat bukuku biasa diterbitkan. Aku hanya mengenal mereka dari wajah karena beberapa kali bertemu saat sedang rapat di kantor penerbit itu. Namun jelas aku tidak mengetahui nama mereka satu per satu.
10 menit kemudian, tiba giliranku untuk bersalaman dengan Amanda dan suaminya, yang juga pernah bertemu denganku di kedai kopi tempatku biasa bersantai. Aku tidak bisa tidak menatap mata Amanda dengan dalam, sebelum kemudian menyentuh tangannya yang lembut. Tangan tersebut sebelumnya pernah menjadi korban elusanku saat tengah dimabuk birahi dalam perjalanan kami berdua ke Jogja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel
RomansMenjadi editor untuk buku terbaru milik seorang penulis ternama seharusnya bisa melambungkan karier Amanda. Namun, hubungannya dengan sang penulis yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, justru memasuki lembah yang belum pernah ia kunjungi sebelum...