Akhirnya sampai juga aku di kamar hotel, setelah perjalanan yang begitu melelahkan sepanjang hari ini. Begitu berada di dalam kamar, aku langsung merebahkan tubuh di atas ranjang, menatap langit-langit kamar. Staminaku benar-benar terkuras habis. Usia memang tidak bisa berbohong untuk urusan ini.
Aku berusaha mengingat setiap momen yang aku lewati hari ini bersama editorku yang cantik itu. Aku tidak menyangka bahwa perempuan muda seperti Amanda bisa mempunyai ide luar biasa untuk mengajakku jalan-jalan keluar. Awalnya aku pesimis hal tersebut bisa membuka kembali kebahagiaan yang pernah aku rasakan dulu. Tapi kini aku telah tahu bahwa anggapan awalku memang salah.
Amanda benar akan satu hal. Aku memang masih terpaku pada kekecewaanku atas gagalnya hubungan asmara yang aku jalin bersama Inggit. Hingga saat ini, aku masih menyalahkan diriku atas keputusan tersebut. Aku terus berpikir bahwa pengkhianatan Inggit terjadi karena kurangnya perhatian yang aku berikan, bukan karena kesalahan dia.
Apakah itu merupakan asumsi yang benar? Tidak ada yang tahu. Namun yang pasti, aku jelas punya hak untuk tetap bahagia setelah perceraian itu, bukannya menjadi orang yang menyedihkan seperti sekarang. Dan aku baru sadar akan hal tersebut setelah perjalanan hari ini.
Amanda juga tepat saat mengatakan bahwa alasan mengapa aku tidak kunjung bisa membuat revisi yang baik untuk novel terbaruku memang berakar pada perasaanku yang belum hilang kepada Inggit. Apakah saat ini perasaanku pada Inggit sudah hilang? Tentu belum. Tapi apa yang terjadi hari ini sepertinya mulai bisa memunculkan perasaan baru di dalam hatiku.
Dan di tengah perasaan itu, ada sosok Amanda.
Aku mengingat-ingat hal-hal menarik yang terjadi hari ini, mulai tangan kami yang bergandengan erat di dalam museum, pelukan eratku saat ia terpeleset dan hampir jatuh setelah, hingga canda tawa kami di toko es krim. Meski semuanya hanya terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam, aku bisa merasakan kesan yang berbeda tentang Jogja di dalam hatiku.
Dalam memori tersebut, aku bisa mengingat betapa lembut tubuh Amanda, apalagi ketika tengah aku peluk. Tangannya terasa sangat halus, seperti tidak pernah digunakan untuk pekerjaan kasar. Dan yang paling menarik bagiku, adalah aroma tubuhnya yang begitu segar, membuatku enggan berjauhan dari perempuan cantik tersebut.
Namun, dia tetap saja bukan pacarku. Hanya editor yang sedang menemani sekaligus mengawasi aku dalam bekerja. Apa yang harus aku lakukan untuk meredam perasaan ini?
***
"Tok tok tok ..." Aku mengetuk pintu sebuah kamar hotel yang tepat berada di hadapanku secara perlahan.
"Iya, siapa ya?" Terdengar sahutan seorang perempuan dari dalam kamar.
"Pak Raharjo," ujarku.
"Ada apa ya, Pak?" Tanya perempuan di dalam yang sepertinya sudah berdiri tepat di belakang pintu.
"Aku mau berterima kasih atas apa yang kamu lakukan hari ini. Karena itu aku membawa pizza untuk makan malam. Kamu belum makan sama sekali, kan?"
Tak terdengar apa-apa dari dalam kamar. Sepertinya perempuan tersebut tengah mempertimbangkan apakah akan mengizinkan aku untuk masuk atau tidak.
"Kalau kamu tidak mau aku masuk ke kamarmu, aku tinggalkan pizza-nya di depan kamar saja ya," ujarku sambil meletakkan kemasan pizza ukuran besar yang aku bawa di atas lantai, tepat di depan pintu kamar hotel tersebut.
Aku kemudian berjalan kembali ke kamarku, yang memang berada di lantai yang sama dengan kamar perempuan tersebut.
***
Di kamar, aku merasa sangat bosan. Meski sudah muncul semangat untuk merampungkan revisi yang perlu aku selesaikan, aku merasa sudah terlalu suntuk untuk bekerja. Guyuran air hangat saat mandi tadi memang sedikit bisa menyegarkan tubuhku, tapi masih belum cukup untuk membuat seluruh staminaku kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel
RomanceMenjadi editor untuk buku terbaru milik seorang penulis ternama seharusnya bisa melambungkan karier Amanda. Namun, hubungannya dengan sang penulis yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, justru memasuki lembah yang belum pernah ia kunjungi sebelum...