Menumpang taksi online selama 45 menit dari kantor, aku pun kembali sampai di depan rumah ini, tempat aku melakukan wawancara dengan Pak Raharjo beberapa minggu lalu. Aku telah izin kepada atasanku untuk melanjutkan pekerjaan di rumah, sehingga tidak akan ada yang menggangguku sampai akhir hari nanti.
Rumah tersebut masih terlihat sama, lengkap dengan petugas keamanannya yang juga masih menyebalkan. Aku tak perlu menunggu lama, karena Pak Raharjo sendiri yang langsung keluar untuk menjemputku.
"Silakan masuk, Astari."
Setelah masuk ke dalam rumah, aku langsung duduk di sofa yang pernah aku tempati saat mengobrol dengan Pak Raharjo, di kali pertama aku datang ke rumah ini.
"Mau minum apa, Astari?"
"Apa saja Om."
Hari ini, pria tua tersebut mengenakan kemeja pantai yang sepertinya tidak dilengkapi dengan kaos dalam di baliknya. Sebagai bawahan, ia mengenakan celana jeans berwarna biru tua. Sedangkan aku mengenakan kaos lengan panjang berwarna abu-abu, lengkap dengan celana jeans biru yang warnanya jauh lebih muda dari yang dikenakan Pak Raharjo. Secarik kain hijab berwarna hijau tua pun menutup kepalaku dengan anggun.
Pak Raharjo meninggalkanku duduk sendirian di ruang tamu rumahnya untuk membuatkan minuman di dapur. Aku cukup heran mengapa dia tidak merekrut asisten rumah tangga saja untuk melakukan hal-hal seperti itu. Untungnya, tak lama kemudian ia kembali dan duduk di sofa yang sama dengan yang aku duduki. Kamu pun saling berhadapan sambil menyeruput minuman yang tersaji.
"Apa kabar, Astari?" Tanya Pak Raharjo memulai percakapan.
"Baik. Pak Raharjo bagaimana?" Ujarku menanggapi.
"Baik juga. Jadi, ada keperluan apa datang ke sini?"
"Oh, jadi kalau ke sini harus ada maksud tertentu? Apa aku pulang saja sekarang?"
"Eh, jangan," Pak Raharjo langsung menahanku. "Maksudku, tidak pernah ada perempuan yang datang ke sini tanpa maksud apa-apa."
"Memangnya, biasanya para perempuan ke sini untuk maksud apa?" Sepertinya ia mulai terjebak dengan permainanku. Jangankan Pak Raharjo, kakakku yang super pintar itu saja sering tak berkutik apabila berdebat denganku.
"Err, macam-macam. Ada yang melakukan wawancara seperti kamu kemarin, ada juga rekan kerja yang kebetulan datang, atau teman lama yang ingin berjumpa kembali."
Aku yakin tidak akan ada yang percaya dengan jawaban seperti itu. Tapi baiklah, untuk kali ini aku terima saja jawaban darurat yang dibuat Pak Raharjo itu.
"Jadi, ada alasan tertentu mengapa kamu mengunjungi pria tua ini?" Tanya Pak Raharjo lagi.
Aku tentu tidak bisa mengatakan alasanku yang sesungguhnya. "Aku hanya ingin memastikan Om baik-baik saja."
Aku teringat kejadian beberapa hari lalu, saat kakakku Amanda tiba-tiba pulang ke rumah dari Jogja. Aku begitu kaget, karena dia awalnya mengatakan kalau akan kembali beberapa hari kemudian. Alasannya sih karena pekerjaan telah selesai dan kangen rumah, tapi sebagai adiknya aku tahu betul kalau itu bukan karakter kakakku.
Amanda adalah sosok perempuan muda yang ambisius dalam karier. Apabila dia ingin mencapai sesuatu, maka dia akan mengorbankan segalanya, termasuk waktu bersama keluarganya. Aku pun mencurigai ada sesuatu yang terjadi antara kakakku dan Pak Raharjo, meski aku tidak tahu apa.
Itulah alasan mengapa aku kemudian mengirim pesan kepada Pak Raharjo beberapa hari lalu, berusaha mengorek siapa tahu pria tua itu akan menceritakan rahasianya kepadaku. Namun tentu saja cara tersebut gagal. Itulah mengapa aku senang sekali begitu dia menelponku secara langsung. Aku pun mencoba mencari informasi tambahan, tapi tidak mendapatkannya juga.
Karena itulah aku sekarang berada di sini, di rumah Pak Raharjo, untuk kembali mencari tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan kakakku. Pikiran awalku adalah mungkin Pak Raharjo dan Kak Amanda berselisih paham karena satu hal, kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan aktivitas mereka di Jogja. Namun itu kan baru pendapatku, besar kemungkinannya untuk salah.
***
Aku menghabiskan waktu di rumah Pak Raharjo dengan mengobrol, bermain game di smartphone, dan menikmati udara sejak di bagian belakang rumahnya yang berbatasan dengan bungalow tempat ruang kerjanya berada. Karena sama-sama lapar, kami pun memesan makanan. Pak Raharjo membiarkanku memilih, karena itu aku memesan nasi gudeg kesukaanku, yang kebetulan ada cabangnya juga di dekat rumah Pak Raharjo.
Saat ini, kami tengah sama-sama menyantap makanan tersebut di meja makan.
"Enak gak, Om Raharjo?"
Namun jawaban yang kutunggu tidak kunjung datang. Kulirik Pak Raharjo, yang ternyata tengah memandang ke arah dinding rumahnya, meski tidak jelas apa yang sedang ia lihat. Matanya benar-benar kosong, menunjukkan bahwa pikiran beliau tengah melanglang buana entah ke mana.
"Om Raharjo?" Ujarku lagi. Namun ia juga tetap tidak memberikan respon.
"Om Raharjo?" Kini aku meninggikan suaraku.
"Ehh, iya ... Ada apa Astari?" Kali ini dia baru membalas.
"Aku tanya apakah makanannya enak?"
"Oh iya, enak kok. Enak banget, Om suka ini. Kamu pinter banget milih makanannya. Besok Om mau pesan makanan di tempat yang sama lagi deh."
"Om Raharjo kenapa bengong, ada yang sedang dipikirkan?"
"Oh, tidak ada kok. Om baik-baik saja, tidak sedang memikirkan apa-apa."
"Lalu mengapa tadi melamun?"
"Err ... Cuma sedang mengingat sesuatu yang belum sempat Om kerjakan. Biasa, urusan pekerjaan"
"Oh, aku boleh tahu apa itu?"
"Gak penting, cuma hal kecil. Kita lanjutkan makan lagi yuk, enak banget neh gudeg-nya."
Sebagai perempuan, aku tentu sangat peka akan apa yang sedang terjadi. Pak Raharjo tidak mungkin memikirkan hal kecil sampai melamun seperti itu. Ia pasti sedang memikirkan sesuatu yang besar akhir-akhir ini, sehingga menjadi tidak fokus seperti itu. Dan perasaanku mengatakan bahwa ini bukan urusan pekerjaan.
"Om sedang jatuh cinta dengan seseorang?"
Respon pertama Pak Raharjo akan pertanyaanku yang tiba-tiba tersebut adalah mendelikkan mata. Ia tampak terkejut mendengar aku berani menanyakan hal itu.
"Tidak kok, tidak. Mengapa kamu bertanya hal itu, ada-ada saja. Om tidak sedang suka sama siapa-siapa. Bener deh, Om gak bohong."
"Kalau begitu, biasa saja jawabnya, hee."
Ia tampak tidak bisa berkutik dengan kata-kataku, dan berusaha melanjutkan menyantap makanan di hadapannya.
"Daripada berputar-putar seperti itu, lebih baik sampaikan saja apa maksudmu, Astari," akhirnya Pak Raharjo menyerah.
"Aku hanya melihat Om sepertinya sedang menghadapi masalah, dan ..."
"Dan apa, Astari?"
"Dan Om bisa berbagi masalah itu denganku."
Pak Raharjo tampak terdiam. Ia sepertinya tidak lagi berselera makan, dan langsung meneguk air putih yang tersaji di atas meja makan. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke arahku.
Aku hanya bisa melihat pria tua itu mendekatiku yang sedang duduk di kursi meja makan di dekatnya. Ia kemudian berdiri di sebelahku dan menyentuh daguku. Ia mengarahkan kepalaku agar menoleh ke arahnya. Mata kami berdua bertatapan. Tanpa ada suara, tanpa ada kata-kata, hanya sepasang mata yang bicara kepada sepasang mata lainnya.
Pak Raharjo menunduk hingga wajah kami kian dekat. Hidung kami akhirnya bertemu, membuatku tidak sanggup lagi membalas tatapan matanya, dan mulai terpejam. Tangannya kini telah membelai pipiku dengan lembut, sementara keningnya turut menempel di keningku.
Aku kemudian mendengar suara bisikan di telingaku, "Kamu tidak boleh mengetahui masalah ini, karena kamu pun tidak bisa menyelesaikannya, Cantik."
"Mengapa?" Balasku sambil tetap memejamkan mata.
"Karena ini bukan urusanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel
RomantikMenjadi editor untuk buku terbaru milik seorang penulis ternama seharusnya bisa melambungkan karier Amanda. Namun, hubungannya dengan sang penulis yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, justru memasuki lembah yang belum pernah ia kunjungi sebelum...