Kepalaku terasa begitu pusing. Namun aku masih cukup sadar untuk menggerakkan tanganku ke leher Pak Raharjo dan mengecup bibirnya yang hangat namun kasar. Terlihat sekali bahwa pria tua itu memang jauh lebih berpengalaman dibanding diriku dalam urusan bermain ranjang. Sejak awal malam tadi, bibir tersebut sudah bertubi-tubi menjamah tubuhku, hingga aku mendapat kenikmatan yang luar biasa.
Aku sadar bahwa apa yang baru saja kami lakukan adalah sesuatu yang salah. Sebagian besar memang terjadi akibat pengaruh alkohol yang begitu kuat, tetapi aku tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menginginkan kehangatan tersebut. Dan Pak Raharjo seperti telah membangkitkan sesuatu yang berbeda dari tubuhku.
Aku mengingat semua hal yang terjadi hari ini, dari yang awalnya kami hanya bergandengan tangan di museum, hingga saling berpelukan di hutan pinus, dan bercanda sampai malam menjelang di toko es krim. Kebersamaan itu meski terbilang singkat, dan bukan sesuatu yang sengaja aku lakukan atau rencanakan, tetapi telah begitu membekas di hatiku. Sehingga ketika akhirnya dia menyentuh tubuhku secara langsung di kamar hotel ini, terutama bagian-bagian paling sensitif dari tubuhku, kepalaku pun langsung hilang kendali dan menyerah pada birahi.
Lebih dari itu, permainan Pak Raharjo ternyata sangat luar biasa. Aku merasa sangat lelah. Entah mana yang lebih mendominasi, habisnya staminaku setelah bergumul dengan Pak Raharjo di atas ranjang, atau pengaruh alkohol yang tak berhenti menyeruak. Bila dibiarkan lebih lama, yang ada aku malah bisa pingsan karena dehidrasi.
Aku pun melepaskan diri dari pelukan pria tua yang tengah menindihku di atas ranjang tersebut, untuk mencari air minum. "Aku haus, Pak."
Ia membiarkanku bangkit dari ranjang, sebelum kemudian menuju kulkas kecil yang terdapat di bagian bawah rak. Saat dibuka, aku bisa menemukan sebotol air mineral yang dingin. Aku langsung meneguknya hingga hanya tersisa setengah.
Baru selesai mengembalikan botol air mineral tersebut ke tempatnya, aku langsung merasakan sebuah sentuhan di pundakku. Pria tua yang baru saja memberiku kepuasan, kini sudah berdiri tepat di belakangku.
"Aku suka sekali tubuh indahmu yang biasanya tertutup ini, Amanda," bisiknya lembut di telingaku.
"Ahh, Pak Raharjo. Sudah, ini semua salah," gumamku. "Aku memang yang membuat semua ini terjadi karena terlalu mabuk, tapi kita harus hentikan secepatnya."
Pria tua itu tidak menjawab. Aku hanya bisa terdiam merasakan sentuhan demi sentuhan yang diberikan pria tua tersebut.
"Akui saja kalau kamu juga menginginkan ini, Amanda," bisiknya lagi.
"Tapi ini salah, Pak. Kita tidak seharusnya begini, saya sudah mempunyai pac ..." belum sempat aku menyelesaikan kata-kata, pria tua itu sudah menutup bibirku dengan kecupannya.
Posisiku masih tetap membelakangi Pak Raharjo, dan ia mencumbuku dari belakang. Tangannya memeluk tubuhku dan berusaha menaikkan gairahku kembali.
"Nikmati saja apa yang akan aku berikan padamu, silakan bandingkan mana yang lebih membuat kamu puas. Aku atau pacarmu," ujar Pak Raharjo.
"Seharusnya hubungan kita hanya sebatas penulis dan editor, kita tidak boleh sejauh ini. Bagaimana kalau pimpinan saya tahu, atau orang lain ..."
"Kamu tidak perlu khawatir, tidak akan ada yang berubah di antara kita. Bedanya, pekerjaan kita akan lebih menarik dan menyenangkan dengan ini," Pak Raharjo langsung memberondong leherku yang terbuka dengan kecupan demi kecupan.
Ia tampak sudah tak tahan, dan mendorongku agar menghadap ke jendela kamar yang memang memanjang dari lantai hingga ke langit-langit kamar. Posisi kamar kami berada di lantai yang cukup tinggi, membuat kami merasa aman bermain gila di depan jendela seperti itu.
Tanganku langsung berpegangan erat dengan besi rangka jendela di hadapanku, berusaha menahan birahi yang berulang kali dipancing keluar oleh pria tua di belakangku.
Darahku berdesir setiap kali Pak Raharjo menyebut namaku. Ia seperti ingin menegaskan bahwa aku telah benar-benar takluk pada jebakan birahi yang ia lancarkan.
"Apa kamu pernah membayangkan akan bermain gila denganku saat kita bertemu, Amanda?" Tanyanya di sela-sela percumbuan kami berdua.
Aku pun menggeleng. Walau itu sebenarnya sebuah dusta, karena jujur ada sedikit ide gila di dalam hatiku membayangkan hubungan dengan pria tua ini. Meski saat itu, semuanya hanya merupakan imajinasi semata.
"Kalau aku, sudah membayangkan bahwa ini akan terjadi saat kita pertama bertemu. Aku sudah jatuh hati pada parasmu yang cantik dan tubuhmu yang indah," ujarnya.
Dipuji seperti itu, aku hanya bisa terdiam dan menikmati rangsangan yang aku terima. Dalam hati, aku merasa bangga bisa menarik hati seorang pria seperti Pak Raharjo. Namun di sisi lain, ada perasaan bersalah karena aku pasti menyakiti perasaan Jodi apabila ia tahu apa yang aku lakukan saat ini.
Wajahku memang sudah tidak karuan. Aku sudah tidak peduli untuk menjaga imej, karena yang aku pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya merengguk kenikmatan secepat mungkin dari Pak Raharjo. Desahan demi desahan terus saja keluar dari bibirku.
Pak Raharjo kemudian bergerak ke arah ranjang, dan merebahkan tubuhku di atasnya. Ia kembali menindih tubuhku yang polos tanpa busana.
Kami kembali berciuman mesra, dengan kulit kami saling menempel satu sama lain. Hal terakhir yang aku ingat malam itu adalah aroma kelaki-lakian Pak Raharjo yang seperti hinggap di sekujur tubuhku, dan tak mau lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel
RomanceMenjadi editor untuk buku terbaru milik seorang penulis ternama seharusnya bisa melambungkan karier Amanda. Namun, hubungannya dengan sang penulis yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, justru memasuki lembah yang belum pernah ia kunjungi sebelum...