8 - Pertemuan

997 22 0
                                    

Kriiingg ...

Handphone milikku berbunyi saat aku tengah berada di bangku belakang sebuah taksi online. Aku tersenyum saat melihat nama penelepon yang muncul di layar. Itu adalah nama pacarku, Jodi.

"Halo, Sayang," ujarku membuka percakapan dengan sapaanku yang biasa.

"Halo, kamu lagi di mana?"

"Sedang dalam perjalanan ke Kedai Kopi Serambi. Ini sudah di taksi online, sebentar lagi sampai."

"Oh, Kedai Kopi Serambi kan dekat dari kantor aku. Kamu ngapain ke daerah sini?"

"Tuh kan kamu lupa. Makanya kalau aku ngomong tuh diperhatiin, jangan main game online melulu kerjanya," ujarku menggerutu.

Jodi pun langsung berkali-kali mengungkapkan kata maaf dan pernyataan menyesal, hingga membuatku luluh. "Maaf deh, Sayang. Aku benar-benar lupa karena akhir-akhir ini sibuk mengurus proyek di kantor."

"Hari ini aku ada meeting dengan penulis yang namanya Raharjo itu, yang novel barunya akan aku edit."

"Ahh, aku baru ingat sekarang. Kalau begitu, sekalian aku jemput saja nanti di sana, bagaimana? Kamu gak lama kan?"

"Boleh aja. Harusnya gak lama sih, satu jam paling sudah selesai."

"Oke deh. Kebetulan aku sempet ambil buku karya beliau dari rak buku Mami, terus aku simpan di mobil. Dia bakal marah gak ya kalau aku sekalian minta tanda tangan?"

"Sepertinya boleh, nanti kamu minta langsung aja."

"Asyiikk ... Mami pasti bakal seneng banget. Oke, sampai ketemu ya Sayang," ujarnya sebelum menutup panggilan.

***

Sepuluh menit kemudian, taksi online yang aku tumpangi pun sampai di depan sebuah kedai kopi yang tampak teduh dengan banyak ornamen tanaman di berbagai tempat. Bangunannya didominasi unsur kayu, dengan sebuah kolam kecil di bagian depan yang dilengkapi pancuran kecil di tengahnya. Sungguh mencerminkan nama kedai kopi tersebut: Serambi.

Kedai kopi tersebut tampak sepi, hanya ada sekitar tiga meja yang terisi. Begitu masuk, aku bisa langsung mengenali sosok Pak Raharjo yang sering kulihat di berbagai media massa. Ia memang sempat beberapa kali datang ke kantor untuk mengurus naskah novel terakhirnya bersama Pak Budi, editor senior di kantorku. Namun dalam kesempatan tersebut aku tak pernah sempat bertemu langsung dengannya, karena terjebak dengan pekerjaanku yang seperti tidak pernah usai.

Pria berusia 50 tahun tersebut tampak sedang menyeruput kopi sambil membaca sebuah buku. Dari jauh, aku sudah bisa mengenali bahwa buku yang ia baca adalah salah satu buku yang pernah aku edit sebelumnya, karya seorang penulis muda bernama Marco yang berjudul "Jarak Antara Kita".

"Ngapain ya Pak Raharjo baca-baca bukunya Marco? Apa dia ingin memeriksa kualitas pekerjaan aku?" Gumamku dalam hati.

Aku memutuskan untuk mengabaikan pemikiran-pemikiran tersebut dan langsung menghampiri beliau.

"Sudah lama menunggu, Pak Raharjo?"

Pandangannya pun beralih dari buku yang tengah ia baca dan langsung menatap tubuhku. Berbeda dengan kebanyakan pria lain, ia seperti tidak menutupi pandangannya yang bergerak dari bagian bawah tubuhku hingga ke atas. Aku jelas terganggu dengan hal tersebut, tetapi tidak bisa berkata apa-apa karena posisi beliau sebagai penulis senior yang karyanya akan aku garap.

"Permisi, benar dengan Pak Raharjo kan? Saya Amanda, editor yang janji untuk bertemu hari ini," ujarku lagi. Aku benar-benar takut kalau ternyata aku menyapa orang yang salah, karena ia sama sekali tidak membalas sapaan dariku. Mau ditaruh di mana mukaku kalau hal itu benar-benar terjadi.

Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang