12 - Pasangan

819 11 0
                                    

"Untuk apa sih kamu mengajakku bertemu lagi, Jo?"

Duh, baru datang saja sudah bersikap menyebalkan seperti ini si Rachmadi. Lumayan menyesal juga aku mengajaknya bertemu kembali di kedai kopi ini. Sepertinya lebih baik aku nongkrong dan melamun sendiri saja, daripada ditemani oleh pria judes seperti dia.

"Lagakmu seperti orang sibuk saja sih, Di. Memangnya kamu banyak kerjaan di rumah?"

"Kalau di rumah kan aku bisa berduaan dengan istriku."

Dasar tua bangka sialan, seperti masih bisa berdiri saja burungnya itu. Paling kalau sedang berduaan mereka cuma duduk duduk sambil nonton sinetron saja.

"Aku tadi kan sudah bilang, ajak saja sekalian istri kamu ke sini, biar kita bisa kumpul bertiga."

"Nggak mau."

"Kenapa?"

"Nanti istriku kamu terkam juga."

Aku tidak tahu bagaimana cara menanggapi kata-kata Rachmadi itu. Lebih baik aku tertawa atau marah? Apakah aku memang sudah membuat banyak orang di sekitarku tidak nyaman dengan kegilaanku di masa muda? Apakah ini yang selama ini mereka tutupi di belakangku?

"Hahaa ... Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau aku sudah tua, Rachmadi. Sudah bukan usianya aku melakukan hal-hal gila seperti merebut istri orang. Lagipula, sejak menikah dengan Inggit, aku sudah tidak segila itu kan?"

"Itulah sebabnya. Hanya seorang Inggit yang bisa menjagamu agar tetap "aman". Setelah kamu berpisah dengannya, siapa yang bisa menjamin bahwa kamu tidak akan menggila lagi?"

"Memang ironis ya. Kamu bilang Inggit berhasil menjagaku, tetapi justru aku yang gagal menjaga dia. Dan hasilnya, justru Inggit yang selingkuh dengan laki-laki lain, hahaa ... "

"Hahaa ... Masih terasa sakit ya Jo?"

"Masih lah," jawabku sambil menyeruput kopi yang ada di hadapanku. Sungguh pahit, serupa dengan kenyataan hidupku.

Aku sebenarnya tidak ingin mengenang masa laluku dengan Inggit. Namun tanpa sadar, semua kejadian yang sudah lewat itu terus saja membayangi kehidupanku. Mungkin benar kata Rachmadi, aku benar-benar harus mencari kesibukan baru, bahkan mencari pasangan baru, pokoknya semua hal yang bisa membuatku melupakan mantan istriku tersebut.

"Sebenarnya apa sih maksud kamu mengajakku ke sini?" Rachmadi kembali mengungkapkan pertanyaan yang sama.

"Aku cuma pengin ngobrol saja, tidak lebih," jawabku.

"Sudahlah. Kita sudah kenal lama, jadi kamu tidak usah basa-basi. Kamu tidak akan mengajak bertemu kalau tidak ada yang ingin kamu sampaikan langsung padaku. Kalau cuma hal remeh pasti sudah kamu katakan lewat telepon, tak perlu bertemu seperti ini."

Sulit memang menipu seorang Rachmadi.

"Cepatlah sampaikan, sebelum kopiku jadi dingin nanti," ujarnya lagi.

Aku menghela napas, sembari berusaha memilah kata-kata yang akan kugunakan. Setelah itu, kata-kata tersebut pun kususun menjadi pertanyaan yang akan aku ajukan pada pria tua di hadapanku ini.

"Aku ingin bertanya tentang saranmu waktu itu, Rachmadi."

"Saran yang mana?"

"Soal aku yang menurutmu perlu mencari pasangan lagi. Apakah aku benar-benar harus melakukannya? Terutama di usia seperti ini?"

"Menurutku sih iya."

"Lalu harus yang seperti apa? Yang sudah janda atau masih perawan?" Rachmadi nampak berpikir keras untuk menjawab pertanyaanku, sebelum aku kemudian melanjutkan. "Yang seumuran kita atau lebih muda?"

Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang