"Maksudnya bagaimana sih Amanda?" Ujarku dengan nada yang sedikit meninggi saat bertemu dengan Amanda hari ini.
Aku memang sengaja tidak langsung bertemu dengan editorku tersebut begitu dia mengirimkan pesan bahwa ada sesuatu yang kurang tepat di dalam naskah novelku. Ya, mungkin ini adalah egoku yang bicara. Namun jujur aku merasa sedikit sebal saat ada orang yang mengkritik karya yang sudah cukup lama aku garap dengan sepenuh hati ini.
Karena itu, aku pun coba mengulur-ulur waktu untuk bertemu dengan Amanda. Namun aku tahu bahwa hal ini tak bisa dibiarkan lama, dan aku pun menawarkan untuk langsung bertemu dengan dia di kantornya. Saat ini, kami berdua sedang berada di kedai kopi yang berada di bangunan yang sama dengan kantor perempuan tersebut.
"Ya, seperti yang saya jelaskan tadi, Pak. Saya sebagai pembaca tidak merasakan kesan Jogja di bagian pertemuan tokoh utama. Karena itu, saya ingin Bapak merevisi bagian tersebut, agar pembaca bisa lebih merasakan bahwa Bapak sedang bercerita tentang Jogja di situ."
Hilang sudah rasa terpesona yang pernah aku rasakan pada perempuan tersebut. Kini pikiranku terpusat sepenuhnya terhadap karya yang akan aku terbitkan ini. Para penulis lain mungkin tahu betapa beratnya untuk mengubah struktur tulisan yang telah kita tulis dalam waktu yang cukup lama. Aku pun berusaha mencari jalan keluar dari masalah ini.
"Kamu sudah bicarakan ini dengan Budi?"
"Sudah, Pak. Dan beliau setuju dengan pendapat saya. Tapi ..."
"Tapi apa?"
"Tapi Pak Budi memberikan beberapa pilihan solusi yang bisa kita diskusikan."
Hmm, aku tertarik dengan perkembangan ini. Inilah yang aku suka dari editor senior seperti Budi, dia tidak hanya bisa menemukan masalah dari sebuah naskah, tetapi bisa juga memberikan alternatif solusi bagaimana cara memecahkannya agar hasilnya tetap baik, tanpa terlalu merepotkan sang penulis untuk melakukan revisi.
"Apa saja pilihannya?"
Sebelum berbicara lebih lanjut, tampak Amanda menyeruput Americano yang dipesannya tadi. Sepertinya kata-kata selanjutnya yang akan meluncur dari mulut perempuan tersebut bakal begitu panjang.
"Pertama, kita bisa menghilangkan unsur Jogja sama sekali dari tulisan itu. Dengan begitu, fokus utamanya hanya pada pertemuan mereka berdua. Sehingga, apa pun yang Bapak tulis tentang tempat mereka bertemu tidak akan menjadi masalah karena kota tersebut hanya fiksi semata. Namun, bila Bapak memilih opsi ini, saya harus periksa ulang dari awal apakah ada plot lain yang terganggu, dan ..."
"Dan saya harus siap mengubah plot lain itu agar sesuai dengan perubahan yang kita lakukan terkait kota pertemuan itu," ujarku memotong kata-kata Amanda.
"Iya, betul Pak."
Aku pun menghela nafas panjang.
"Lalu pilihan selanjutnya apa?"
"Pilihan kedua, kita akan tetap mempertahankan kata "Jogja" di sana. Tapi artinya, Bapak harus merevisi bagian tersebut agar pembaca benar-benar merasakan kesan Jogja di dalamnya."
"Baik."
"Namun ada syarat khusus apabila Bapak memilih opsi kedua."
"Syarat apa itu?"
"Kami telah menentukan waktu terbit novel terbaru Pak Raharjo ini, dan jujur waktunya sudah begitu mepet. Karena itu, untuk pilihan kedua ini, Pak Budi menyarankan Bapak untuk segera pergi ke Jogja untuk sekalian melakukan riset kecil agar hasil revisinya bisa baik. Nanti kami yang akan urus untuk transportasi dan akomodasi di sana."
Aku pun terdiam, berusaha memikirkan apa yang harus aku lakukan dengan naskah ini.
"Dan selain itu ..." Amanda nampak ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya. "Pak Budi menyarankan saya untuk ikut ke Jogja juga, agar risetnya bisa berjalan lancar."

KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel
RomanceMenjadi editor untuk buku terbaru milik seorang penulis ternama seharusnya bisa melambungkan karier Amanda. Namun, hubungannya dengan sang penulis yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, justru memasuki lembah yang belum pernah ia kunjungi sebelum...