23 - Keputusan

703 11 0
                                    

Saat sampai di rumah, aku langsung disambut oleh Astari, adikku.

"Kok lebih cepat pulangnya Kak?" Ujarnya. Sepertinya ia merasa heran karena memang aku sempat mengatakan bahwa jadwalku pulang masih beberapa hari lagi.

"Kerjaannya sudah selesai, jadi kakak reschedule tiket agar bisa pulang lebih cepat. Gak tahan mau makan masakan mami, hee," jawabku sambil bercanda.

"Hahaa, kayak gitu mau tinggal di New Zealand, hee," ujar adikku, yang membuatku langsung tersenyum akan tingkah konyolnya. Aku memang selalu mengatakan bahwa suatu saat nanti aku akan pindah dan menetap di New Zealand, karena menurutku negara tersebut sangat ramah untuk ditinggali, baik dari sisi politik, ekonomi, maupun kenyamanan hidup.

"Biarin, wlee ... Walau sudah tinggal di New Zealand, nanti tetap mau dikirimin masakan mami."

"Enak aja, kalau sudah pindah ya nanti semua makanan mami buat aku."

"Gak bisa gitu donk, cantik. Kan anaknya mami ada dua, kamu sama aku."

"Jangan-jangan, kakak kangennya sama Kak Jodi ya. Hayo ngaku," kurang ajar memang adikku ini. Bukannya membantu kakaknya membawa koper, malah meledek terus tanpa henti.

"Sudah ah, kakak mau masuk dulu. Capek," ujarku sambil masuk membawa koperku sendiri, dan langsung menuju kamar.

***

Sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Meski baru saja merasakan tidur di kamar hotel mewah, tetapi perasaan nyaman berada di kamar sendiri memang tidak bisa tergantikan. Perasaan aman, tenang, dan sejuk, membuatku merasa betah untuk berlama-lama di dalamnya.

Meski begitu, pikiranku tetap menerawang ke kejadian-kejadian yang terjadi selama 24 jam terakhir. Aku masih ingat betul bagaimana aku terbangun sekitar pukul 4 pagi, dan mengetahui bahwa tubuhku sudah telanjang tanpa busana. Lebih parahnya lagi, tubuh indahku ini tengah dipeluk oleh pria tua bernama Pak Raharjo, seorang penulis yang tulisannya sedang kuedit. Perempuan lacur mana yang mau melakukan hal seperti itu.

Saat itu, aku pun langsung bangkit, menjauh dari dekapan pria tua yang sepertinya tengah tidur dengan sangat lelap itu. Perlahan aku berjalan menuju kamar mandi dan menyalakan keran air hangat di shower untuk membilas seluruh tubuhku, berusaha menghilangkan setiap senti jejak Pak Raharjo, baik yang berbentuk sperma, liur, keringat, semua deh pokoknya.

Di bawah guyuran shower, tak terasa air mataku mengalir. Aku tidak percaya bahwa aku sanggup melakukan hal tak terpuji seperti ini, meski di bawah pengaruh alkohol. Dalam hati aku menyesal, mengapa harus menerima tawaran Pak Raharjo untuk meneguk minuman keras. Dengan percaya dirinya aku pikir bisa bertahan, tetapi ternyata aku gagal.

Namun nasi telah menjadi bubur. Dan yang lebih membuatku sedih, adalah aku telah mengkhianati Jodi, pacarku. Semoga saja dia tidak tahu akan kejadian ini. Tapi apabila dia tahu, pasti dia akan langsung membatalkan pernikahan, dan meninggalkanku begitu saja.

Lebih parahnya lagi, kemungkinan besar dia juga akan menyebarkan aibku ini kepada keluarga besarnya dan teman-teman kami. Mau ditaruh di mana mukaku nanti. Kalau itu terjadi, mungkin aku akan mengasingkan diri di desa terpencil di mana tidak ada satu pun orang yang mengenalku.

Hidupku terasa begitu hancur karena satu kesalahan ini. "Hahhh, apa yang harus aku lakukan?"

Ibuku selalu mengajarkan untuk melupakan masa lalu yang sudah lewat, dan menatap masa depan yang masih terbentang luas di hadapan kita. Ia juga mengajarkan untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa kita ubah, dan fokus pada apa yang bisa kita ubah. Aku selalu memegang prinsip tersebut dalam hidup.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk melanjutkan hidup, terlepas dari apa yang telah terjadi tadi malam. Aku akan tetap mewujudkan pernikahan dengan Jodi, karena itu yang aku inginkan selama ini. Harus aku akui ada rasa nikmat yang kurasakan setelah pergumulan dengan Pak Raharjo tadi malam.

"Tapi bukankah aku juga akan merasakan hal yang sama setelah menjadi istri Jodi nanti?" Pikirku.

Karena itu, setelah membersihkan diri, tadi malam aku langsung merapikan pakaian dalam, kaos, dan celana panjangku yang tergeletak di lantai, lalu mengenakannya. Tak lupa, aku menuliskan sebuah pesan di secarik kertas untuk Pak Raharjo, menekankan bahwa aku tidak mau mengulangi persetubuhan yang baru saja terjadi. Aku kemudian kembali ke kamarku sendiri, dan merapikan koper.

Lewat ponsel, aku coba menghubungi customer service maskapai penerbangan yang mengurus tiketku, dan meminta pergantian jadwal terbang dari Jogja ke Jakarta. Beruntung, pagi itu memang ada pesawat yang akan terbang, dan masih ada banyak bangku kosong yang bisa aku isi. Dengan tekad yang bulat, aku pun langsung meninggalkan kamar tersebut dan melakukan check out. Aku ingin segera menjauh sejauh-jauhnya dari pria tua bernama Raharjo itu, agar aku bisa melupakan kejadian semalam.

Di perjalanan menuju bandara pagi tadi, aku sempat berpikir, "Lalu bagaimana nasib revisi novel yang ditulis oleh Pak Raharjo? Bukankah aku masih harus mengeditnya?"

Aku hanya bisa berdoa agar pria tua itu segera menyelesaikannya. Setelah revisi itu selesai, aku tentu bisa merapikannya sendiri, tanpa perlu bertemu lagi dengan dia. Urusan administrasi bisa aku serahkan kepada editor lain, atau bahkan atasanku Pak Budi yang memang sudah kenal dekat dengan Pak Raharjo.

"Apabila mereka bertanya, aku bilang saja bahwa aku sedang sibuk karena mengurus rencana pernikahan dengan Jodi," gumamku. Setelah dipikir-pikir, itu adalah rencana yang pintar, karena memang aku benar-benar sedang mengurus pernikahan saat ini.

Rencanaku memang bisa saja gagal apabila Pak Raharjo berbuat hal aneh, atau bahkan membocorkan apa yang kami lakukan kepada orang lain. Tapi mudah-mudahan saja dia masih harus menjaga imej pribadinya dan membuat persetubuhan tadi malam sebagai rahasia kami berdua, yang tidak perlu diketahui oleh siapa pun. Cukup sekali saja dia menikmati tubuhku ini.

Untuk melepas kesedihan, aku berusaha menghubungi Jodi. Setelah beberapa nada dering, aku pun langsung tersambung dengannya lewat sambungan telepon.

"Halo sayang," ujarku dengan nada yang ceria. Aku tidak ingin dia merasakan ada hal yang beda dari suaraku.

"Halo, bagaimana Jogja, sayang?"

"Oke, kok. Biasa aja sih karena gak ada kamu."

"Duh, pacarku ini udah bisa gombal yang sekarang, hee."

"Kan kamu yang ngajarin," ujarku merayu. "Btw, aku udah balik Jakarta neh."

"Loh, kok cepet? Bukannya kemarin bilang masih beberapa hari lagi? Mendadak banget tiba-tiba pulang?"

"Iya, kerjaan aku udah selesai, jadi ya mending langsung pulang aja."

"Pak Raharjo itu udah berhasil menyelesaikan tulisannya."

"Udah, beres soal itu mah."

"Bener kan? Bukannya karena ada masalah?" Aku benar-benar terkejut mendengar pertanyaan Jodi. Setelah menjalin hubungan denganku selama bertahun-tahun, ia mungkin punya semacam radar yang bisa menunjukkan kapan aku sedang jujur dan kapan aku berbohong.

"Bener kok. Karena tugasnya sudah selesai, ya aku langsung pulang aja. Ngapain lama-lama di sana sendirian," ujarku.

"Oke, oke ... Aku percaya kok. Kalau gitu hari ini kita makan di luar yuk, mau?"

"Boleh, mau makan di mana?"

"Di tempat sushi yang biasa aja bagaimana?"

"Oke."

"Nanti kita ketemu di sana ya, baru pulangnya aku jemput."

"Siap. Dah sayang, muuuuah."

"Tumben neh pakai cium. Tapi gak apa-apa deh, jadi lebih enak. Muuuach."

Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang