"Sayang ... Kamu kenapa sih tiba-tiba tarik aku kayak tadi? Lagi marah sama aku ya? Kalau lagi ngambek bilang aja, jangan begitu caranya."
Jodi langsung setengah membentakku saat kami berdua sudah masuk ke dalam mobil. Aku mendengar kata-katanya, tetapi tidak bisa membalas apa-apa. Aku akui bahwa caraku menariknya tadi berlebihan dan begitu menyebalkan, tapi bagaimana lagi caranya agar aku bisa segera menjauh dari Pak Raharjo? Dan yang lebih penting, bagaimana caranya menjelaskan kepada Jodi bahwa alasan aku ingin segera pergi adalah karena aku merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria tua tersebut?
"Maaf, Sayang. Aku gak marah sama kamu. Aku cuma merasa ... Pak Raharjo itu aneh," ujarku akhirnya.
"Aneh bagaimana?"
"Rada nyentrik begitu, mungkin khas penulis-penulis senior ya?"
"Hmm, bisa jadi. Tapi kamu kan tetap harus ngedit tulisan dia. Kalau kamu dari awal saja sudah terganggu, bisa repot lho nanti."
"Itu juga yang sedang aku pikirkan sekarang. Bagaimana ya cara menghadapi keanehannya itu?"
"Mau coba ngomong sama bos kamu biar novel itu diurus sama editor lain saja?"
"Penginnya sih begitu, tapi jujur ini adalah kesempatan yang langka untuk editor junior seperti aku. Kalau sukses, aku pasti diminta untuk mengerjakan karya penulis-penulis senior lainnya nanti."
"Iya sih. Ya sudah, kamu coba pikirkan saja baiknya seperti apa. Aku percaya kamu akan memilih apa yang terbaik. Buat aku, yang penting kamu bahagia."
"Terima kasih ya, Sayang."
"Iya, sama-sama. Asal jangan tarik-tarik aku kayak tadi lagi, sakit tahu."
"Huu, iya deh maaf."
Aku pun langsung bergerak untuk memeluknya, yang langsung disambut olehnya. Betapa bersyukurnya aku mempunyai pacar yang tampan, setia, dan pengertian seperti Jodi. Ia selalu bisa memahamiku, meski seringkali terasa menyebalkan saat dia harus berkutat dengan pekerjaannya di kantor, karena itu artinya dia pasti akan mengabaikanku.
Ia tidak kunjung melepas pelukannya, demikian juga denganku. Wajah kami kini berhadapan, hidung kami bersentuhan, dan tangannya mulai membelai pipiku yang halus. Matanya menatap tajam ke arahku seperti meminta izin untuk melakukan hal yang lain. Jemarinya bergerak hingga menyentuh bibirku, lalu mengusapnya, tanda ia menginginkan sesuatu yang lebih. Aku pun tidak melarangnya.
Melihat tanda persetujuan, bibirnya langsung meluncur dan menempel di bibirku. Awalnya terasa lembut, tapi tak lama kemudian terasa ada tekanan yang lebih besar. Tangannya menggenggam pundakku, sambil mengusapnya penuh kehangatan.
Aku pun balas melumat bibirnya dengan birahi yang sudah membuncah. Aku kalungkan tangan ke lehernya, demi bisa membelai rambutnya yang ikal. Gerakan tersebut tampaknya membuat Jodi lebih berani untuk melakukan hal lain.
Ia mulai mengeluarkan lidahnya untuk menembus celah di antara bibirku. Kurasakan kehangatan lidahnya memulas bibirku, merusak lapisan lipstik yang baru saja kupoles sebelum berangkat menemui Pak Raharjo tadi, yang menjadi salah satu sebab mengapa pria tua itu tak berkedip saat menatap wajahku.
Tak lama kemudian lidah tersebut dengan liarnya menyentuh setiap titik di rongga mulutku, membuatku sedikit kesulitan untuk bernapas. Libido yang mulai naik saat bertemu dengan Pak Raharjo tadi, entah apa alasannya, kini berusaha kulepaskan semua di hadapan Jodi.
Sayangnya, di saat aku sudah mulai bersemangat, Jodi tiba-tiba justru melepaskan ciumannya. Ia terlihat melirik ke sekeliling mobil, membuatku sadar bahwa kami masih berada di parkiran kedai kopi tempatku bertemu dengan Pak Raharjo. Itu artinya, kami berada di tempat umum, dan aku masih berdekatan dengan pria tua yang ingin kuhindari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel
RomanceMenjadi editor untuk buku terbaru milik seorang penulis ternama seharusnya bisa melambungkan karier Amanda. Namun, hubungannya dengan sang penulis yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, justru memasuki lembah yang belum pernah ia kunjungi sebelum...