30 - Pagi Indah

1.3K 12 0
                                    

Lagi-lagi aku terbangun saat matahari bersinar terang menembus tirai tipis yang melapisi jendela besar di kamar tidurku. Sepertinya aku lupa untuk menggeser tirai tebal yang bisa menghalau cahaya terang tersebut yang memang biasa masuk di pagi hari.

Aku melihat ke sekeliling tempat tidurku, tampak sangat sepi. Tubuhku masih tanpa busana, dan aku kemudian terkejut melihat tidak ada siapa-siapa di sebelahku.

"Astari, di mana kamu?" Gumamku.

Apakah dia langsung pergi meninggalkan aku seperti yang dilakukan sang kakak? Apakah aku kembali melakukan kesalahan yang sama dengan sang adik? Ahh, dasar Raharjo bodoh.

Aku coba memeriksa kembali kamarku, tetapi tetap tidak ada tanda-tanda dari perempuan tersebut. Baju kebaya dan pakaian dalam yang semalam bertebaran di lantai pun sudah tidak terlihat lagi. Satu-satunya tanda bahwa apa yang terjadi semalam bukan hanya mimpi semata adalah bekas merah yang nampak jelas di seprai tempat tidurku. Tanpa perlu memeriksa, aku sudah tahu dari mana bekas merah tersebut berasal.

Dengan hanya mengenakan celana dalam, aku pun turun ke lantai bawah rumahku. Aku begitu kaget melihat sebuah kebaya tampak tergeletak di sofa ruang tamu. Aku pun tersenyum. "Apakah kali ini Astari adalah perempuan yang berbeda?" Pikirku dalam hati.

Namun aku tetap tidak bisa menemukan batang hidung perempuan tersebut. Ia tidak ada di kamar, dan tidak ada juga di ruang tamu. Aku pun telah memeriksa kamar mandi, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana.

"Jangan-jangan ..."

Aku pun melangkah ke bagian belakang rumahku, menuju bungalow tempatku menyusun cerita setiap hari. Pintu ruang kerjaku tersebut tampak terbuka, dan aku pun tidak menunggu lama untuk menyeberangi taman belakang rumahku dan masuk ke ruang kerja tersebut.

Dan benar saja, di dalamnya aku bisa melihat seorang perempuan berambut pendek sebahu sedang menghadap ke arah rak bukuku, membelakangi pintu masuk. Ia hanya mengenakan kemeja berwarna putih yang tampak terlalu besar untuknya. Sepertinya perempuan tersebut mengambil begitu saja pakaian yang bisa ia kenakan, karena setahuku semalam ia sama sekali tidak membawa baju ganti. Aku berani bertaruh ia hanya mengenakan pakaian dalam di balik kemeja tersebut.

Dengan langkah pelan, aku pun mendekatinya dari belakang. Saat telah tepat berada di belakangnya, aku rangkul pinggangnya dari belakang.

"Lagi lihat apa sih, cantik?" Ia tampak tidak terkejut. Sepertinya aku gagal membuatnya kaget dengan kehadiranku.

"Lagi lihat koleksi buku Om. Ini adalah salah satu impianku, mempunyai sebuah ruangan khusus yang berisi kumpulan buku yang aku koleksi," jawabnya.

"Memangnya kamu tidak punya rak buku di rumah?"

"Punya sih, tapi kan tidak sebesar punya Om, dengan koleksi yang sangat jauh dari apa yang Om miliki."

"Setelah apa yang terjadi semalam, kamu masih saja memanggil aku dengan sebutan Om? Hee," godaku.

Perempuan muda tersebut berbalik, dan mengecup lembut bibirku. "Memangnya mau dipanggil apa? Sayang? Gak pantes ah, lebih pantes Om," ujarnya membalas.

Astari kemudian berjalan ke arah meja tempatku biasa mengetik naskah. Ia kembali menekan-nekan tuts komputer di atasnya, seperti yang ia lakukan saat terakhir kali berada di sini.

"Mengapa kamu suka menekan-nekan tuts itu?"

"Aku hanya ingin merekonstruksi ulang apa yang Om pikirkan saat sedang menulis naskah," ujarnya sambil tersenyum ke arahku.

Dengan busana yang dikenakannya, aku bisa jelas melihat pahanya yang begitu mulus dan putih, membuat birahiku naik kembali di pagi yang cerah ini. Aku pun meneguk ludahku sendiri berusaha menahan gairah yang mulai membuncah.

Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang