Ada perasaan yang bercampur aduk dengan kembalinya aku ke Jakarta. Di satu sisi, aku senang karena bisa kembali ke rumahku yang nyaman. Tapi di sisi lain, ada perasaan tidak ingin terbangun dari "mimpi indah" yang aku rasakan saat berada di Jogja dengan Amanda.
"But life must goes on," gumamku.
Urusan pekerjaan pun telah aku selesaikan. Revisi novel yang kubuat telah kukirim lewat email kepada Amanda. Namun hingga saat ini, belum ada balasan apa pun dari editorku tersebut. Bahkan balasan bahwa dia sudah menerima revisi tersebut pun tidak.
Itu memang hal yang bagus, karena artinya belum ada masalah berarti dari naskahku. Karena apabila ada masalah, editor muda tersebut pasti sudah kembali marah-marah di hadapanku. Namun di sisi lain, ada perasaan rindu untuk kembali berjumpa dengan dia, mendengar suara lembutnya, dan menyentuh kulit halusnya.
Aku sudah beberapa kali mengirim pesan lewat WhatsApp kepada Amanda, mulai dari hanya berbicara soal pekerjaan, hingga terang-terangan minta maaf atas apa yang telah terjadi antara kami berdua. Namun tidak ada satu pun yang dibalasnya. Sambungan teleponku pun tak pernah terhubung dengannya.
Suatu hari aku coba menelpon Budi, temanku yang juga merupakan atasan Amanda. Dia mengatakan bahwa tidak ada masalah apa-apa dengan Amanda. Setiap hari editor tersebut selalu masuk ke kantor dan terus mengabarkan perkembangan naskah novel terbaruku. Ia bahkan mengira bahwa aku dan Amanda masih terus berkomunikasi dengan intens.
"Oh, iya kok. Kami memang masih saling berkomunikasi. Hanya saja aku ingin mendengar perkembangannya secara langsung dari kamu, Bud," ujarku berbohong.
"Kamu tidak percaya dengan Amanda? Apakah pekerjaannya kurang oke?"
"Ohh, tidak. Bukan begitu, Bud," hal terakhir yang aku inginkan adalah membuat karier Amanda berantakan karena ulahku. Apabila itu terjadi, perempuan tersebut pasti tidak akan pernah memaafkan aku seumur hidupnya. "Aku hanya berpikir mungkin kau punya pandangan berbeda tentang naskahku, karena biasanya kan kamu yang mengedit novelku."
"Sejauh ini sih tidak ada. Pekerjaan Amanda memang selalu bagus, aku harap kamu juga puas dengan pekerjaan dia."
"Iya, aku puas kok," apalagi dengan pelayanan dia di ranjang, hee, gumamku dalam hati. "Sudah ada rencana kapan novelku akan terbit?"
"Kami rencanakan bulan depan. Aku sudha berkoordinasi dengan pihak percetakan, dan mereka telah menyanggupi."
"Oke, semoga semuanya berjalan lancar ya."
"Aku juga berharap begitu, Raharjo. Sudah lama kamu tidak merilis novel baru, semoga saja para pembaca tidak lupa dengan karya-karyamu."
"Sialan kamu, Budi. Tentu saja belum ..."
"Siapa tahu? Kamu kan tidak pernah berkomunikasi dengan mereka. Punya akun Instagram saja tidak," ujarnya.
Aku memang masih malas membuat akun sosial media khusus untuk berkomunikasi dengan para pembaca karya-karyaku. Aku bukannya tidak mau, tetapi hanya merasa bingung apa yang harus aku tampilkan di sana. Memasang foto selfie, jelas bukan merupakan pilihan. Berbincang tentang novel yang sudah aku terbitkan puluhan tahun lalu pun bukan aktivitas yang aku minati. Yang ada, akun media sosial tersebut nantinya akan kosong dan dipenuhi sarang laba-laba.
"Sepertinya aku memang harus banyak mengobrol dengan anak-anak muda, untuk mendapatkan inspirasi bagaimana cara membangun komunitas pembaca di era seperti sekarang," gumamku dalam hati.
"Ada pertanyaan lain, Raharjo?" Tanya Budi yang ternyata masih terhubung di sambungan telepon denganku.
"Tidak, sudah itu saja, Bud. Sampai jumpa lagi ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel
Roman d'amourMenjadi editor untuk buku terbaru milik seorang penulis ternama seharusnya bisa melambungkan karier Amanda. Namun, hubungannya dengan sang penulis yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, justru memasuki lembah yang belum pernah ia kunjungi sebelum...