"Jadi oke gak si Amanda ini, Di?" Ujarku sambil menyeruput espresso single shot favoritku.
Hari ini, aku merasa bosan terus menerus diam di rumah, sehingga aku putuskan untuk mencari angin segar dengan mengunjungi sebuah kedai kopi favoritku. Di hadapanku sudah ada Rachmadi, rekanku sesama penulis yang sudah cukup lama tidak aku temui. Aku memang sengaja mengajaknya untuk menemaniku nongkrong di kedai kopi ini, sambil membicarakan tentang editor yang akan mengurus naskah novel baruku.
"Kamu ini, Jo. Aku baru juga datang dan memesan minuman, langsung kamu tanya-tanyain kayak lagi wawancara. Buru-buru banget sih?"
"Ahh, basa-basi mah cuma buat dimasukkan ke dalam cerita aja. Kalau ngobrol langsung begini mah to the point aja."
Dia tampak mendengus kesal mendengar jawabanku.
"Oke banget kok dia. Lebih bagus editan dia daripada si Budi malah menurutku."
Hal tersebut jelas membuatku tertarik.
"Hmm, lebih bagus bagaimana maksud kamu?"
"Menurutku, dia punya kecerdasan dalam mengamati struktur cerita, sehingga bisa menemukan lubang-lubang tersembunyi di dalam naskah yang kita berikan. Jujur di novel terakhir yang aku buat, bisa dibilang dia menyelamatkan aku dari sebuah plot hole penting yang mungkin bisa membuat pembaca kecewa. Untuk urusan deteksi typo pun dia teliti banget."
Aku tidak pernah mendengar Rachmadi memuji seorang editor, apalagi seorang editor pemula, dengan pujian seperti ini. Tampaknya, Budi memang tidak main-main ketika memberikan naskahku pada editor baru itu. Tapi tetap saja, aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa naskah yang aku buat, milik seorang penulis terkenal bernama Raharjo, tidak diedit oleh editor paling senior di penerbit tersebut.
"Tapi, orangnya beneran cantik ya Di?" Tanyaku tiba-tiba.
"Hahaa ..." Rachmadi pun tertawa. "Kelakuanmu masih kayak anak muda saja Jo. Inget umur donk."
"Badan dan usia boleh tua, tapi otak dan tenaga harus berjiwa muda kan? Hahaa."
"Bisa saja kamu. Ya, namanya masih usia begitu, pasti cantik lah si Amanda ini. Jangan bilang kamu sempat-sempatnya membayangkan hal mesum sama dia?"
"Ya, kalau dia mau bagaimana?" Kini ganti aku yang tertawa.
"Dasar otak ngeres. Udah lah Jo, kita itu sudah tidak muda lagi. Lebih baik mengurus akhirat saja."
"Akhirat bisa gampang diurus Di. Masalahnya kita sekarang masih di dunia, sayang juga kalau gak kita urus."
Rachmadi pun menghela napas panjang. Nampaknya dia sudah menyerah menghadapi tabiatku yang seperti ini. Kami memang tidak bisa disebut sebagai teman dekat, tetapi setiap bertemu kami seperti dua sahabat yang saling memahami dan menghormati satu sama lain. Aku mengakui bahwa dia penulis yang baik, dan dia pun tidak pernah mengkritik gaya hidupku yang terkesan asal-asalan.
"Aku boleh jujur gak, Jo?"
"Apa Rachmadi, kamu masih kaku saja kayak besi jembatan. Ngomong aja jujur tentang apa pun."
"Menurutku kamu perlu mencari pasangan lagi."
Degg.
Kata-kata Rachmadi benar-benar menusuk sudut hatiku yang terdalam. Itu adalah kalimat paling jujur yang aku dengar darinya. Tidak, itu kata paling jujur yang pernah aku dengar dari orang-orang di sekitarku selama 10 tahun ini.
Semenjak bercerai dengan Inggit, hidupku memang seperti kehilangan arah. Aku sebenarnya memang butuh pasangan untuk meluruskan kembali hidupku, tetapi aku tidak pernah mau mengakuinya. Mungkin karena aku takut kecewa bila aku berharap mendapatkan seseorang, lalu kemudian ditolak. Sudah cukup rasanya kekecewaan yang aku rasakan selama ini, aku tak berani untuk menambahnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel
RomantikMenjadi editor untuk buku terbaru milik seorang penulis ternama seharusnya bisa melambungkan karier Amanda. Namun, hubungannya dengan sang penulis yang berusia jauh lebih tua dari dirinya, justru memasuki lembah yang belum pernah ia kunjungi sebelum...