Perang

73 13 3
                                    

Bulan berlalu dengan damai tanpa ada kejadian yang ia khawatirkan akan terjadi. Namun, seorang panglima tentara berpengalaman seperti Malkoçoğlu Bali bey tidak akan menganggap masalah telah selesai dan melupakannya tanpa pengawasan. Ia telah menempatkan mata-mata di seluruh sudut kota hingga perbatasan, mengawasi pergerakan sekecil apapun yang dapat mengancam kekuasaan kesultanan dan keselamatan orang-orang di bawah perlindungannya.

Suara ketukan di pintu mengalihkan pikirannya dari rencana-rencana yang telah ia susun. Ia memerintahkan siapapun di balik pintu itu untuk masuk, yang ternyata adalah Rehim ağa. Pria muda itu memasuki ruang kerjanya sambil membawa gulungan kertas.

"Beyim." 

"Berikan laporanmu, Rehim ağa."

Dengan segera, pelayan sekaligus tangan kanan Malkoçoğlu itu langsung menghamparkan gulungan yang adalah peta wilayah kerajaan Hungaria yang terbagi menjadi tiga bagian dimana sebagian wilayah ada dalam kekuasaan kesultanan Ustmaniyah.

"Terjadi bentrokan di wilayah barat. Menurut laporan, mereka mencoba melumpuhkan perbatasan. Jika berhasil, dalam waktu kurang dari seminggu mereka akan sampai di wilayah Budin." terang Rehim ağa sambil menunjuk peta wilayah dimana pertempuran itu terjadi.

Malkoçoğlu mengamati dengan seksama peta wilayah yang dibawa Rehim ağa tersebut, menimbang dan mengatur strategi yang akan ia ambil.

"Mereka tidak akan berhasil. Aku sendiri yang akan menghadapinya."

Ada kilat gairah di mata gelap Malkoçoğlu Bali bey. Inilah tugasnya, panggilan jiwanya. Perang akan kembali membentuk kekuatan tubuhnya, menajamkan otaknya untuk menciptakan strategi perang menghadapi musuh. Sesuatu yang ia butuhkan untuk bisa melindungi orang-orang yang ia kasihi.

***

Berita tentang keberangkatan sang Gubernur ke wilayah barat yang sedang terjadi pergolakan tersebar dengan cepat di seluruh penghuni kastil dan respon mereka terbagi menjadi dua kelompok. Sebagian merasa cemas, mengingat selama bertahun-tahun ini mereka hidup dalam ketenangan. Sebagian lagi tidak berkomentar dan bersikap lebih hati-hati, terutama para pelayan yang berasal dari penduduk lokal kota Budin. Bagaimanapun, kota mereka saat ini juga dikuasai oleh bangsa asing. Mereka tidak tahu apakah harus mendukung penguasa saat ini, atau mendukung musuh yang masih satu kerabat dengan penguasa terdahulu.

Alexandra sedang di dapur, memandang wadah kayu berisi daging di depannya dengan pandangan tidak fokus. Pikirannya sedang tertuju pada satu kata, perang.

Yang ada dalam pikirannya, kata perang, pertempuran, pemberontakan atau apapun orang lain menyebutnya, baginya adalah keadaan antara hidup atau mati.

Ia sendiri pernah mengalami peperangan, meski tidak terlibat langsung. Namun yang pasti, perang telah merenggut semua yang berharga yang ia miliki.

Kenangan buruk di masa lalu mulai kabur di ingatannya, tapi kini seolah ada yang berusaha menggalinya, menciptakan bayangan-bayangan mengerikan akan kehilangan lagi seseorang yang berharga di hidupnya.

"Kau yakin tidak ingin dibantu?" Gülnihar yang ternyata sejak tadi memperhatikan Alexandra, berkata dari balik bahu gadis itu yang membuatnya terlonjak kaget.

"Tidak. Ini tugasku, aku akan menyelesaikannya." jawab Alexandra cepat yang dengan segera mengolah daging segar itu, memotongnya seukuran suapan.

Tanpa memperdulikan penolakan Alexandra, Gülnihar mengambil bumbu dan rempah dan memasukkan ke dalam kuali tembaga yang sudah ia isi dengan air lalu menempatkan kuali itu ke atas tungku api.

"Mintalah bantuan jika kau memang butuh bantuan, Xandra. Jangan kau lakukan atau kau pikirkan sendiri. Kau tahu arti kata berbagi, kan?"

Alexandra terdiam mendengar ucapan Gülnihar. Ia terkadang merasa heran temannya itu hampir selalu bisa mengetahui apa yang ada dalam pikirannya.

"Tentang perang di barat, apa menurutmu Bali bey.. dan pasukannya akan menang?" Alexandra mencoba berkata dengan nada datar agar Gulnihar tidak menyadari kegelisahan yang ia rasakan sejak tadi.

Mendengar pertanyaannya, Gülnihar memandang Alexandra dengan raut wajah penuh pemahaman. Apa yang di khawatirkan temannya itu sama dengan yang dirasakan oleh para pengikut Bali bey yang lain. Namun dalam situasi ini mereka harus saling menguatkan. Di negara yang asing ini mereka harus saling mendukung dan melindungi satu sama lain. Hanya dengan itu mereka dapat bertahan.

"Aku tidak tahu, Xandra. Tapi dari sekian banyak perang yang dilalui Bali bey, selama yang aku tahu, ia selalu meraih kemenangan."

Alexandra hanya diam mendengar kata-kata Gülnihar.

"Bali bey akan baik-baik saja, Xandra. Dia akan kembali dengan selamat. Kita harus percaya itu dan berdoa demi keselamatan dan kemenangannya."

###

Hai hai readersku tercinta..
Gimana kabar kalian selama berbulan bulan panjang kita tidak bersua🤭
I hope you guys still miss our great commander 😁
Honestly, part ini tidak memuaskan buatku,tapi sepertinya tetep harus aku post untuk beberapa alasan.
Anyway, thank you utk support kalian,especially buat @lahbacaapa. makasih udh terus nagih author abal-abal ini🤗
Semoga gk lama lagi aku akan post bab selanjutnya biar cepet namatinnya dan gak punya utang ke kalian😘
Sekali lagi makasih sebanyak banyaknya buat kalian yg masih baca ceritaku.

XOXO

The Commander's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang