Alexandra memperhatikan jendela kaca berukir di kamar barunya yang mewah.Jendela itu berukuran sedang, hampir separuh tubuhnya dengan pengait yang terkunci gembok besi di bagian bawah.
Entah mereka sedang berbaik hati padanya atau tidak mengetahui kemampuannya, Alexandra memperhatikan gembok besi dengan batang besi kecil yang dimasukkan dengan pas ke dalam lubang serta lubang kunci sebagai pengaman.
"Ini.. terlihat seperti gembok dirumahku." batin Alexandra sambil memperhatikan gembok itu dengan penuh minat.
Ia kembali mengingat masa kecilnya yang sering membuka jendela kamar meski terkunci dan melarikan diri untuk bermain dengan teman-temannya.Memiliki tiga orang saudara laki-laki benar-benar mengajarkannya banyak hal.
Dengan jantung berdebar, Alexandra mengambil jepit perak di rambutnya dan memasukkannya kedalam lubang kunci.Ia berusaha memutar-mutar jepit itu didalam lubang kunci, tangan kecilnya terlihat gemetar.Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan dan harapan, suara klik pelan terdengar nyaring didalam kamar yang sunyi, membuatnya melonjak girang.
"Aku tak percaya ini!" serunya lirih.
Dengan gerakan sehalus dan sepelan yang bisa ia tahan meski jantungnya berdebar penuh semangat, Alexandra membuka kunci itu, meloloskan batang besi kecil dari lubangnya.Dan masih dengan gerakan yang sangat pelan, ia membuka jendela kaca.
Angin dingin membekukan tubuh menyambutnya.Hatinya sedikit ragu setelah sekian lama ia tidak melihat pemandangan luar.Suasana diluar sangat gelap.Meski ia tidak melihat ada salju yang turun, tapi udara khas musim dingin menusuk kulitnya.Gaun tipis yang ia pakai sama sekali tidak membantu menghangatkan tubuhnya.
Sebagian dari hatinya menyuruhnya mengurungkan niat untuk melarikan diri dari ruangan nyaman ini.Tapi akal logisnya menguatkan langkahnya.
"Tidak akan ada kesempatan lagi!" katanya keras pada dirinya sendiri.
Alexandra memanjat bingkai jendela yang tidak terlalu tinggi, melompatinya dan menjejakkan kaki ditanah yang ditumbuhi semak belukar rendah.
Ia berjalan pelan dengan badan setengah merunduk.Sesekali ia mengamati sekitarnya, meski ia yakin tidak akan ada yang melihatnya karena suasana yang sangat sepi.Bahkan saking sepinya ia seperti bisa mendengar detak jantungnya yang berdebar kencang.
Alexandra mengingat bentuk rumah besar itu.Ia ingat masuk melewati taman besar kedalam rumah ini.
Ia lalu berjalan ke utara yang ia yakin adalah bagian depan rumah.Dengan langkah pelan sambil menyusuri dinding rumah, ia tiba disisi depan rumah yang cukup terang dengan obor penerangan yang diletakkan di gerbang depan.
"Pasti aku akan terlihat," batinnya lagi begitu ia melihat dua orang penjaga yang berjaga didepan rumah.
Ia berbalik kearah darimana ia datang, terus berjalan berlawanan arah menuju bagian belakang rumah.
Taman belakang rumah itupun ternyata tak kalah besar dengan bagian depannya, hanya saja taman belakang ini lebih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang daun-daunnya telah berguguran.
Alexandra melihat sebatang pohon pinus berukuran besar tumbuh didekat pagar batu tinggi.Ia berpikir, jika bisa memanjat pohon itu lalu melewati dahannya ia akan bisa memanjat pagar batu yang menjadi pembatas antara rumah besar ini dengan jalanan di luar.
Tanpa berpikir lama, Alexandra menjejakkan kakinya di batang pohon yang cukup licin karena hujan yang turun kemarin.
Ternyata memanjat pohon itu tidak semudah bayangannya.Selain licin, suasana malam yang gelap menambah sulit pijakan kakinya.
Namun Alexandra tidak menyerah.Dengan hati-hati ia menjejakkan kakinya didahan-dahan kecil pohon itu.Sedikit demi sedikit ia mulai berhasil memanjatnya.Kali ini ia harus berterima kasih kepada Marcus, teman masa kecilnya dulu yang mengajarinya memanjat pohon untuk mengambil buah dihutan.
Ia berhasil meraih dahan yang sejajar dengan pagar batu.Ia melebarkan kakinya, berusaha memijakkan kakinya pada bagian atas pagar batu ketika suara berat dan rendah mengejutkannya.
"Kakimu kecil, tidak akan sampai.Kau akan jatuh."
Suara yang hampir terlupakan dari ingatannya itu mengagetkannya, jantungnya seolah melonjak karena keterkejutan hingga membuatnya hilang keseimbangan.Tubuhnya oleng dan tanpa bisa ditahan, ia meluncur cepat ke bawah.
Alexandra tahu tubuhnya akan menghantam tanah keras.Ia menutup matanya, pasrah akan rasa sakit yang akan ia rasakan.
Suara tubuhnya yang terjatuh terdengar cukup keras tapi tidak sekeras yang ia bayangkan dan rasa sakitnya juga tidak sesakit yang ia pikir akan ia rasakan.
Alexandra membuka matanya, mencoba mencari tahu akan keadaannya dan mata cokelat gelap itu ikut memandang tepat didepannya.
Alexandra tersentak kaget menyadari tubuhnya terjatuh menindih tubuh pria itu.Ia berusaha bangkit, namun tangan pria itu dengan cepat menangkap tangannya dan membalikkan tubuhnya.Kini posisi mereka berbalik, pria itu yang berada diatas tubuhnya.
"Sudah kubilang kau akan mati jika sampai melewati pagar itu!" geram Malkoçoğlu tepat di wajah Alexandra.
"Kalau begitu biarkan aku mati daripada harus dipenjara dirumah terkutukmu!" sembur Alexandra.
"Jadi kau ingin mati?! Baiklah kalau begitu, akan aku kabulkan," dengan nada rendah mengancam, Malkocoglu menggeram marah tepat diwajah Alexandra yang juga dipenuhi kebencian .
Suara derap langkah cepat mendekati mereka.
"Beyim!!"
Baik Alexandra ataupun Malkoçoğlu tidak ada yang menanggapi jerit terkejut Daye Kalfa.Mereka masih saling menatap dengan pandangan tajam.Lalu Malkoçoğlu memecah tatapan tajam itu dengan suaranya yang keras.
"Bawa gadis ini kekamarku!" perintahnya keras pada seorang laki-laki muda yang menemani Daye kalfa tanpa mengalihkan pandangan tajamnya dari Alexandra.
Laki-laki itu dengan segera menghampiri mereka berdua dan membawa Alexandra setelah Malkoçoğlu berdiri dari atas tubuh Alexandra dan menariknya bangun dengan kasar.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Commander's Love Story
Historical FictionSeorang prajurit yang tangannya dipenuhi darah dan hidupnya dipenuhi oleh kebencian musuh-musuhnya. Prajurit tangguh yang tak mengenal belas kasih ketika di medan pertempuran. Namun tatapan mata sebiru lautan penuh dendam itu telah mengusik hidupnya...