Alexandra tiba-tiba terbangun.Matanya berusaha menyesuaikan cahaya remang-remang ruangan tempat ia berada.Dengan masih berbaring, ia memperhatikan sekelilingnya yang terasa asing.
Ruangan itu kecil, hanya ada dipan kayu yang ia tiduri sekarang dan sebuah meja kayu kecil lengkap dengan kursi tanpa lengan didekat ranjang. Diatasnya diletakkan sebuah lampu minyak yang menjadi sumber penerangan.
Alexandra berusaha mengingat apa yang telah terjadi dengannya dan dimana ia berada sekarang.Dan ingatan yang mulai terbentuk di kepalanya membuatnya terbelalak terkejut.
"Aku berada dirumah pembunuh itu?!" jerit Alexandra dalam hati.
"Oh..Bunda Maria.., inikah akhir perjalananku? disinikah aku harus mati?" Alexandra meratap pelan.Ia bangkit dengan cepat dari posisi berbaring yang langsung membuatnya mengerang karena rasa sakit yang menyengat dipunggungnya.
Ia kembali mengingat tubuhnya yang dibanting ketanah oleh laki-laki itu yang menjadi alasan atas rasa sakit yang ia alami.
Dengan gerakan lebih pelan, Alexandra mencoba lagi untuk bangun lalu duduk didipan kayu.Ia memperhatikan tubuhnya dan menyadari penampilannya yang berbeda.Gömlek atau kamisol panjang berwarna biru muda yang ia kenakan terasa nyaman dan halus dikulitnya.Rambutnya pun tergerai dan tersisir rapi.
Kembali ia mencoba bangkit berdiri.Dengan langkah tertatih dan sedikit membungkuk, ia berjalan kepintu kayu dan membukanya, meski ia sudah menduga tidak akan semudah itu bisa pergi dari ruangan ini.
Dan tepat seperti dugaannya, pintu itu tidak bergerak sedikitpun meski ia telah mendorong atau menariknya dengan tenaga yang ia punya.
Alexandra menyerah.Ia kembali melangkah kedipan kayu dan duduk dipinggirannya.
Dia tidak takut mati.Ia justru senang karena akan bertemu dengan keluarganya di surga.Tapi ia tidak rela jika harus meninggalkan dunia ini sekarang.Tidak sebelum ia menyelesaikan tugasnya menumpahkan darah laki-laki penyebab penderitaan hidupnya.
Ia begitu tenggelam dalam pemikirannya hingga suaran decitan pelan pintu kayu yang terbuka membuatnya tersentak.Wanita paruh baya yang ia ingat sebagai wanita pelayan yang membawanya keruangan ini masuk bersama seorang yang berusia lebih muda. Wanita paruh baya itu sedikit terkejut melihatnya yang sedang duduk didipan kayu.
"Kau sudah bangun rupanya." kata pelayan itu datar setelah beberapa detik menatap Alexandra yang hanya diam memandangnya.
"Bawakan sup yang kumasak tadi, Gülnihar." perintahnya pada wanita yang lebih muda.
"Baik, Daye kalfa." jawab pelayan yang lebih muda dan langsung melangkah pergi meninggalkan ruangan.
Daye kalfa mendekati Alexandra yang masih menatapnya tajam, "Apa kau merasa baik-baik saja?Apa kau mengerti yang aku katakan?" tanyanya.Namun Alexandra tetap diam tak menjawab.
Tak lama Gülnihar datang membawa nampan perak berisi mangkuk yang masih mengepulkan asap panas dan menguarkan bau harum serta segelas susu.
"Aku tidak tahu apa kau bisu atau memang tidak mengerti apa yang kukatakan, tapi tugasku adalah menjagamu tetap hidup dan mengawasimu," kata Daye kalfa dengan sedikit kesal. "jadi makanlah ini." lanjutnya sambil meletakkan nampan di meja kecil dan pergi meninggalkan Alexandra sendiri diruangan sempit itu.
***
"Bagaimana dia?" tanya Malkoçoğlu pada pengasuh dan kepala pelayannya itu.
"Dia sudah bangun, Beyim.Saya sudah memberinya sup untuk menguatkan tulang-tulangnya seperti kata dokter." jawab Daye kalfa.
"Baiklah.Awasi dia terus."
Malkoçoğlu terdiam menatap langit malam kota dari balkon kamarnya.Ia sedang berusaha mengingat pertempuran demi pertempuran yang pernah ia hadapi selama ia mengabdi pada Sultan Süleyman.Ia tahu ia banyak membunuh para ksatria yang mungkin juga adalah seorang ayah bagi anak-anaknya atau saudara laki-laki bagi adik perempuannya.
Mungkinkah gadis muda itu salah satu dari putri atau adik para ksatria itu? Jika ya, gadis itu benar-benar memiliki tekad yang sangat kuat tertanam dihatinya selama bertahun-tahun untuk bisa menemukannya dan berniat membunuhnya.
"Rhodes atau Mohaçs?" tanya Malkoçoğlu pada dirinya sendiri.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Commander's Love Story
Ficțiune istoricăSeorang prajurit yang tangannya dipenuhi darah dan hidupnya dipenuhi oleh kebencian musuh-musuhnya. Prajurit tangguh yang tak mengenal belas kasih ketika di medan pertempuran. Namun tatapan mata sebiru lautan penuh dendam itu telah mengusik hidupnya...