Amarah

242 32 2
                                    

Malam ketiga dirumah sang musuh utama.Alexandra menghabiskan tanpa sisa makan malam lezat yang dibawakan oleh Daye kalfa.

Tidak. Ia bukannya menikmati tinggal dirumah ini.

Ia sedang menyusun rencana selanjutnya untuk melaksanakan niatnya yang sudah ia pupuk selama bertahun-tahun.

Tapi pertama-tama ia harus menguatkan tubuhnya yang lemah dan menyembuhkan tulangnya yang patah.Dan masakan Daye kalfa benar-benar mempercepat prosesnya.Ia merasa kini kondisinya lebih baik.

Pintu kembali terbuka.Daye kalfa pasti akan mengambil tempat makan bekas makan malamnya seperti hari-hari sebelumnya, dan seperti hari-hari sebelumnya pula Alexandra masih tidak berkata sepatah katapun pada kedua pelayan rumah ini yang rutin mengunjunginya untuk mengantarkan makanan.

"Sudah selesai?" tanya kepala pelayan itu yang masih tidak dijawab sepatah katapun oleh Alexandra. "Ikut denganku, Mihrünnisa!" perintahnya sambil menghampiri dan membantunya berdiri.Karena terbiasa tidak mendapat jawaban dari Alexandra, Daye kalfa mulai mengacuhkan ketidaksopanan gadis itu. 

Sejak malam yang lalu, Daye kalfa memanggil Alexandra dengan nama Mihrünnisa yang menurut Daye kalfa berarti matahari para wanita, mengingat rambut Alexandra yang berwarna keemasan seperti cahaya matahari.

"Aku tidak suka memanggil seseorang dengan bukan namanya atau sebutan tidak sopan.Dan karena kau tidak mengatakan namamu, maka kupanggil dengan nama yang menurutku cocok untukmu." kata Daye kalfa malam  itu.

Alexandra tidak suka nama itu yang terdengar asing ditelinganya dan sama sekali tidak mencerminkan dirinya yang sebenarnya.Namun Alexandra tetap diam dan membiarkan wanita paruh baya itu memanggil apa saja sesukanya. 

Alexandra menatap Daye kalfa dengan pandangan bingung yang tidak dihiraukan oleh sang kepala pelayan.Dengan memegang lengan atasnya, Daye kalfa menuntunnya keluar dari kamar dan berjalan melalui lorong batu rumah besar itu.

Mereka sampai diruangan yang tampak seperti bagian utama rumah.Dinding ruangan itu dihiasi ukiran keramik berwarna warni yang indah.Kursi memanjang lengkap dengan dudukannya yang terbuat dari bantal empuk ditempatkan di sudut ruangan.Karpet yang ia injak terasa lembut dikakinya yang hanya beralasakan sepatu kain tipis.Sambil tetap berjalan, Alexandra mencuri pandang keatas, kelangit-langit tinggi ruangan berbentuk kubah berhiaskan lampu gantung besar, lilin-lilin dengan cahayanya yang terang ditancapkan ditatakannya dengan sempurna.

Alexandra terpukau dengan kemewahan yang ia lihat di rumah ini.Ia mulai bertanya-tanya dalam hati siapakah sebenarnya pria itu.

Daye kalfa terus menuntun Alexandra menaiki anak tangga marmer yang menuju kelantai atas.Dalam hati Alexandra mencoba menerka kemana ia akan dibawa.

Mereka kembali melewati lorong batu dengan lampu-lampu minyak besar yang digantung didinding sebagai penerangan.Tak berapa lama mereka lalu berhenti didepan pintu ganda berukir.Daye kalfa mengetuk pelan pintu itu yang dijawab oleh sebuah suara bernada rendah dan dalam.

Jantung Alexandra berdetak cepat.Ia mengenali suara  itu.

"Masuklah." perintah Daye kalfa tanpa memperhatikan ekspresi di wajah Alexandra yang tampak terkejut.Ia lalu membukakan pintu dan mendorong pelan gadis itu memasuki ruangan.

Ruangan itu adalah sebuah kamar tidur besar yang mewah.Sebuah ranjang besar berkanopi dengan tirai-tirai putih berada disisi kiri ruangan.Tempat duduk panjang beralaskan bantal-bantal empuk berada disudut lain menempel  di dinding berukir keramik warna-warni.Didekat pintu diletakkan meja kerja dengan kursi berlengan.Sebuah perapian besar dengan api yang menyala memberi kehangatan dari dinginnya angin malam yang masuk ke ruangan melalui pintu lain yang terbuka menuju balkon yang langsung menghadap ke area taman gelap.

Di pintu yang mengarah ke  balkon itu Alexandra melihat laki-laki yang sudah ia duga akan ia temui, memandangnya dengan tajam dan lurus menatap mata biru Alexandra. Melihat sosok tingginya yang berlatarkan gelapnya malam, Alexandra mundur selangkah. Di ruangan pribadinya ini, Alexandra merasa pria itu begitu menakutkan dan mengancam.

Dengan langkah ringan, pria itu mendekati Alexandra yang kembali mundur selangkah.Namun tatapan tajam Alexandra padanya tetap tidak berubah.Ia tidak ingin terlihat terintimidasi dengan sosok pria itu yang begitu mendominasi.

Malkoçoğlu berdiri hanya beberapa langkah dari Alexandra.Dengan jarak sedekat ini Alexandra kembali memperhatikan sosok pembunuh keluarganya ini.Dia pria yang tinggi.Tubuhnya besar dan kokoh dengan wajah kecokelatan terbakar matahari, kumis panjang hitam menghiasi bibirnya yang penuh.

Alexandra mengamati wajah dan tubuh pria itu, menimbang dalam hati dan menyadari, jika tanpa belati atau pedang ia pasti tidak akan menang melawan pria itu.Dan jika pria itu menangkap tubuhnya yang kecil, dia pasti tidak akan bisa melepaskan diri dari lengannya yang kokoh.

"Dipikir bagaimanapun, aku tidak akan bisa menang melawannya.Kecuali aku meracuninya ketika ia tidur." batin Alexandra.

"Kau dari Rhodes." Malkoçoğlu berkata, untuk dirinya sendiri karena begitu melihat gadis itu dalam penampilan seorang wanita ia mulai yakin akan dugaannya.

"Kau adalah musuh kesultanan Osmanlı.Dan hukuman seorang musuh sepertimu adalah hukuman mati.Apa kau tahu itu?" kata Malkoçoğlu dengan tenang namun penuh ancaman.Tapi Alexandra diam tidak menanggapi dan hanya menatap lurus kedalam mata cokelat gelap pria itu.

"Jadi katakan padaku, siapa yang mengutusmu? Sejak kapan kau memata-matai kami?" tanya Malkoçoğlu lagi.  "Grand Mastermu? Atau para pemuka agama itu? Aku ingat mereka memandang kami dengan tatapan sepertimu.Meskipun begitu, Sultanku tidak memperlakukan orang-orang itu dengan buruk."

Alexandra masih menatap Malkoçoğlu dalam diam yang membuat kesabarannya habis.Dengan gerakan cepat, Malkoçoğlu maju selangkah dan mencengkeram erat dagu Alexandra, menariknya mendekati wajahnya hingga wajah mereka berhadapan hanya berjarak beberapa senti.

"Aku tahu kau tidak bisu dan kau mengerti dengan jelas perkataanku!" geramnya marah, "jadi jawab perkataanku atau kukirim kau ke penjara istana dan kuperintahkan mereka memenggal kepalamu!"

Alexandra merasakan rasa sakit dirahangnya karena tekanan kuat tangan pria itu.Tapi bukan itu yang membuatnya marah.Sentuhan tangan pria itu diwajahnya membuatnya merasa jijik dan terhina.Tangan kotor itu telah berani menyentuhnya, dan itu tidak akan ia biarkan.

Dalam kemarahan,iapun berkata  dalam bahasa yang sama dengan musuh terbesarnya itu.

"Singkirkan tangan terkutukmu dari wajahku!!" 

###

The Commander's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang