Kata-kata penghibur yang ia tanamkan di kepalanya seperti tidak dapat direspon dengan baik oleh otaknya. Meskipun ia telah menyibukkan dirinya dengan pekerjaan yang diperintahkan Daye kalfa, namun rasa kecewa itu masih tersimpan dengan rapi di hatinya setiap kali ia melihat kelebatan kaftan sutra Malkoçoğlu Bali bey yang berjalan, lagi dan lagi, tanpa memandangnya.
Ia berharap, sekali saja, Malkoçoğlu Bali Bey akan menegurnya atau sekedar menatapnya sekilas, agar perasaan diabaikan itu menghilang. Namun seminggu lebih berlalu, dan sikap pria itu masih saja sama, mengacuhkannya dengan amat kentara.
Sambil menghela napas panjang, Alexandra mengembalikan satu buku terakhir yang telah ia bersihkan ke raknya semula. Ia kemudian melangkah keluar ruang baca besar dan turun melalui tangga pualam ke lantai dasar. Dalam perjalanannya, ia melewati dua orang pelayan yang sedang berbisik pelan. Sekilas didengarnya kata festival dari percakapan tersebut.
"Mungkin festival musim semi yang mereka maksud," batin Alexandra.
Sebelumnya ia sempat mendengar beberapa pelayan yang adalah penduduk asli kota membicarakan tentang festival musim semi yang rutin diadakan setiap tahun untuk merayakan dimulainya hari bercocok tanam, dimana para petani akan memulai menanam tanaman penghasil komoditas pangan, dan meminta berkah alam untuk memberi mereka hasil panen yang melimpah. Meskipun sebagian besar penduduk asli kota beragama Protestan, namun hal-hal yang bersifat budaya turun temurun masih mereka pertahankan. Sayangnya tuan mereka,sang Gubernur, tidak mengijinkan satu orang pun yang berada di kastil untuk keluar dan menikmati festival itu, entah apa alasannya. Namun Alexandra tidak mengeluh. Toh ia memang tidak terlalu suka bertemu banyak orang.
Ia kembali berjalan dan melewati taman belakang untuk menuju ke bagian belakang kastil.
Mendadak langkahnya terhenti. Sayup-sayup didengarnya suara seorang wanita menangis. Karena penasaran, Alexandra berniat mencari asal suara itu.
Ia melangkahkan kakinya di atas rerumputan menuju taman, tempat dimana ia yakin sumber suara itu berasal. Dan benar, ia melihat seorang pelayan muda duduk membelakanginya di sudut taman tersembunyi sambil terisak. Tanpa banyak berpikir, dihampirinya pelayan muda itu yang sedang menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Alexandra. Ia menyentuh lembut bahu gadis pelayan muda yang langsung berjengit terkejut. Pelayan itu lalu memutar tubuhnya dan melihat Alexandra dengan tatapan takut.
"Oh! Ya..aku..aku baik-baik saja.." jawab gadis itu dengan gugup.
"Kurasa kau tidak baik-baik saja."
Tentu saja Alexandra sangsi dengan jawaban pelayan muda itu, saat ia melihat matanya yang merah dan sembab. Ia lalu duduk di samping pelayan muda itu yang tidak ia ketahui namanya, "Jika ada masalah sebaiknya kau sampaikan saja pada Daye kalfa. Dia pasti akan membantu_"
"Tidak! Tidak! Tolong jangan katakan pada siapapun! Jangan katakan pada siapapun kau melihatku disini!" pinta gadis itu dengan ekspresi ngeri yang membuat Alexandra semakin curiga.
Tapi sudah kepalang tanggung. Alexandra sudah melihat gadis itu dan bagaimana keadaannya. Sebagai manusia yang pernah mengalami kejamnya dunia, ia tidak bisa berlalu pergi begitu saja.
"Kau tahu, karena aku sudah melihatmu begini aku tidak bisa mengabaikanmu. Kau bisa membagi masalahmu padaku,tentu kalau kau bersedia. Aku janji demi Bunda Maria aku tidak akan mengatakan pada siapapun. Dan.., siapa tahu, aku bisa membantumu."
Mendengar ucapan bernada tulus Alexandra, gadis itu pun terdiam tampak menimbang-nimbang.
"Aku..tahu siapa dirimu. Kau bukan dari Ottoman.." ucap gadis itu kemudian, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan perkataannya. Ia terdiam lalu melanjutkan, "..namaku Cecilia dan asalku dari Utara. Sejak kecil aku mengikuti bibiku berkelana jauh sampai di kota ini dan bekerja di tempat ini untuk raja...terdahulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Commander's Love Story
Ficción históricaSeorang prajurit yang tangannya dipenuhi darah dan hidupnya dipenuhi oleh kebencian musuh-musuhnya. Prajurit tangguh yang tak mengenal belas kasih ketika di medan pertempuran. Namun tatapan mata sebiru lautan penuh dendam itu telah mengusik hidupnya...