Kalih

1.4K 207 5
                                    

Saat jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, Gara mengajakku ke skywalk. Hal yang kulihat adalah banyak kamera yang dibawa para kaum muda. Tidak salah, satu kali pandang pun jembatan berkapasitas seratus orang ini memang indah.

Tak ada tiket khusus untuk memasuki area ini. Hanya ada beberapa petugas pemandu untuk mengatur para pengunjung agar tidak berdesak-desakan dan juga melebihi batas.

Gara setia menggenggamku. Kami naik tangga bersamaan dengan beberapa pasangan lain. Cuaca yang sedikit mendung mendukung para pengunjuk untuk berfoto ria.

"Sebentar," ujar Gara membuat pandanganku beralih.

Aku lantas kembali memperhatikan kepadatan atap-atap perumahan. Kata Gara, jika malam nanti, lampu-lampu yang melekat di pagar besi sepanjang tangga akan hidup. Sinar oranye dengan nuansa kalem membuat banyak anak muda yang mau menghabiskan waktu di sini.

Tak lama, Gara kembali datang dengan seorang lelaki. "Ayo!"

Tanpa menjelaskan apa-apa, Gara menggeretku menuju tempat yang dia mau. Dan seperti dugaanku, Gara mengajakku berfoto dengan berbagai foto.

"Kenapa harus foto, Pak?!"

"Buat kenangan."

Dih! Bahasanya. Aku mencibir dalam hati. Namun, cibiranku terhenti tatkala saat Gara kembali melancarkan aksinya.

"Satu lagi, ya!"

"Oke!" balas lelaki pembawa kamera itu.

Gara merangkulkan lengannya ke pundakku. Dalam hitungan ketiga, terjadi jepretan foto juga dentuman jantung abnormal. Aku ingin memaki, tetapi tak jadi. Sudahlah.

"Kenapa posenya harus begitu?" tanyaku sewaktu perjalanan pulang.

Gara berdeham. "Pose yang mana?"

"Yang ini!" –Kutunjukkan gambar kami di ponselku tadi.

"Kan enggak perlu rangkul-rangkul, Pak. Kemarin juga bapak nyosor-nyosor di hari pertama. Kalau kayak gini kita kayak kekasih beneran," ujarku panjang lebar.

Mobil berhenti tatkala lampu merah terlihat. Gara menoleh menatapku dengan tatapan seperti biasa. Seakan yang dilakukannya tadi, kemarin, bukan kesalahan.

"Gapapa." Santai Gara berucap.

"Kok gapapa? Gak wajar dong."

"Kan kamu pacar saya."

"Cuman karena perjanjian konyol."

"Jadi maunya diangkat sebagai istri?"

"Dih!" Kucubit lengan Gara kuat.

"Ga usah kayak gitu, Pak! Yang profesional gitu loh. Bapak enggak takut jatuh cinta sama aku lagi?" tanyaku kesal menatapnya.

Wajah Gara yang tadinya terlihat meringis kesakitan berubah menjadi kalem. Ia menggeleng lantas mulai melajukan mobil karena lampu sudah berubah jadi hijau.

"Aku enggak takut jatuh cinta sama kamu, Kale. Nyatanya emang aku suka sama kamu."

Jabingan! Jaringan-jaringan sensitif yang ada di gendang telinga memproses perkataan Gara. Namun, tetap saja jatuhnya ke hati. Lantas, jantungku memompa dengan kecepatan tak normal.

Ini cobaan. Gara kan—

"Lupain aja, Kale." Wajah lelaki itu berubah.

Aku kembali merasa diterbangkan dan kembali dijatuhkan. Sesak, tetapi lagi aku menahannya. Toh, Gara cuman masa lalu Kale!

Bapak ... Bapak jangan kebiasaan nggombal lalu ngejatuhin gitu. Habis nggombal, lupain aja! Bapak boleh gituin aku tapi jangan wanita lain. Sakit loh, Pak. Kalau aku sih bisa dibawa santai asal gak keseringan. Hatiku untungnya udah tahan pecah, tahan banting, meski enggak tahan kalau dibaperin.

Jual Mantan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang