Nembelas

843 160 4
                                    

Gara kaku di tempatnya. Sedangkan aku hanya bisa berusaha menahan segala lara.

“Kau ... tak melupakan kita?” Gara mengikis jarak.

Tatapannya mencari sisa-sisa kenang yang menumpuk dalam memori usang. Aku balas menatapnya, berharap dengan begitu tak ada penyesalan saat kami berpisah nanti. Nahasnya, aku semakin terjebak dalam indahnya memori.

Pertemuan Gara selepas kuliah membayang. Kala itu Gara datang bertandang ke rumah. Dengan jantan ia langsung melamarku dan mengajak menikah.

Gilanya, aku mau. Meski banyak bisik-bisik tentang kami yang terlalu berbanding terbalik. Namun, Gara berhasil membiusku dengan caranya yang tak terduga.

“Aku jatuh cinta sama kamu. Dari dulu. Mantanku cuma kamu. Kekasihku cuma kamu. Istriku cuma kamu ... kalau kamu mau.”

Aku tersihir dengan cara Gara memuliakanku sebagai istrinya meski sang ibu tiri mengibarkan permusuhan. Baiknya, sang ayah tak terlalu memikirkan. Mertuaku itu justru menyayangiku sebagai menantu. Sedang, ibu tiri Gara selalu saja mencari celah agar aku terlihat salah. Tak ada kasih sayang, hanya ada tatapan kebencian dan omelan menyakitkan.

Sebelum menikah, aku didapuk bekerja di kantor Gara. Namun, selepas menikah, lelaki itu bersikeras agar aku di rumah saja.

Sesuai kesepakatan, pernikahan sederhana terjadi. Sederhana dan sesuai permintaanku yang tanpa resepsi. Gara menuruti semua apa kataku.

Kesungguhan memang terlihat nyata di depan mata. Gara lantang mengucapkan ijab kabul. Lelaki itu bahkan menangis selepas kata sah bergema indah.

“Saya terima nikah dan kawinnya Kaleya Ragata binti Daud Wijaya dengan mas kawin seperangkat alat solat dan uang sebesar tiga juta rupiah dibayar tunai!”

“Bagaimana para saksi?”

“Sah!”

Suasana haru menyeruak begitu saja. Gemetar kuraih tangan Gara dan menciumnya. Lelaki itu pun sama, sedikit kaku kala melayangkan kecupan di dahiku.

Jujur saja, semasa pacaran kami jarang melakukan skinship. Isi dari pertemuan kami adalah berbagai perdebatan tentang materi, ataupun opini politik. Anehnya, untuk tujuan hidup, kami selalu sejalan.

“Aku mencintaimu, Kaleya,'' kata Gara selepas kami berdua.

Di dalam kamar pengantin. Di dalam malam yang hening. Kalimat itu terucap tanpa tedeng aling-aling. Jika semasa pacaran, aku tak pernah mendengar kalimat cinta, maka berbeda dengan malam bersejarah tersebut.

Gara mendobrak benteng kegengsianku. Ia menarikku menuju romansa halal yang indahnya tiada terkira. Setiap pemujaannya selalu berisi kalimat sayang yang membuatku terbang ke awang-awang. Kami bersatu, dengan akhir kalimat cinta yang bergema.

Tak ayal, aku merasa menjadi wanita berguna di depannya. Tak pernah sekalipun ia membuatku menitikkan air mata. Tentang pertikaian? Kami pernah mengalami. Perang dingin itu ada, tetapi kata maaf yang menjadi akhir adalah bukti bahwa cinta itu mampu menurunkan ego tertinggi antara dua manusia.

Namun, kebahagian itu mendapat cobaan. Tiap Gara pergi ke luar kota, atau dinas di luar provinsi, ibu tirinya memperlakukanku bagai pembantu. Menuruti bakti, aku pun mengiyakan saja perintahnya demgan sepenuh hati tanpa melakukan pemberontakan.

Hal baik yang kukira dibalas baik ternyata kesalahan. Wanita modis itu semakin bertindak seenaknya. Bahkan ia mulai melakukan kekerasan walaupun kadang aku berhasil menghindar.

Puncak dari semua adalah ketika Gara dinas di luar kota dan aku tengah mengandung anaknya tiga bulan, Nyonya Revi mengajakku ke swalayan. Dalam perjalanan mobil wanita itu terperosok ke jurang curam.

Jual Mantan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang