Sangalas

920 163 14
                                    

Pukul enam pagi, dengan keadaan yang tak jauh dari baik-baik saja, aku berdiri di depan kantor Gara. Langkahku terasa berat. Apalagi harus berhadapan dengan Gara selepas keretakan kami kemarin. Rasa belum siap menyergap. Aku ... takut kelepasan kendali dan menyuruhnya agar kembali.

Surat resign telah kukantongi. Langkah terakhir, adalah bertemu Gara dan menyerahkan semua. Selepas itu aku akan pergi mengobati lukaku sendiri.

Kuembuskan napas berkali-kali dan pada akhirnya aku masuk juga. Terlalu pagi hingga aku memilih membuat kopi. Nahasnya, sebuah white coffe menyeretku pada kenyataan bahwa aku masih mengingat segala minuman favorit Gara.

Tak jadi. Aku memilih ke ruangan utama. Entahlah, memberesi semua barang-barangku yang ada seakan menendangku ke alam kesedihan. Lama aku berkutat guna memberesi barang-barang sebelum hengkang. Sampai-sampai tak sadar dengan kehadiran Gara di ambang pintu.

Barulah saat suara dingin menyapa, aku terperanjat. Menatap dengan tatapan sama.

“Sebegitu inginyakah kamu pergi dariku, Kaleya Ragata?” Gara membuka pintu.

Keadaannya kacau. Aku tahu. Lingkar hitam di area mata atau istilah mata gorilla eh mata panda menjadi titik tuju.

“Saya butuh waktu menenangkan diri, Pak. Saya memang memberesi semua ini untuk sekretaris baru nanti. Sudah jadi keputusan, saya akan mengajukan resign.”

Gara kaku. Kuulurkan surat resign atas nama Kaleya Ragata dengan tangan bergetar. Sedikit. Gara menerima dan mengembuskan napasnya berat.

“Sudah kuturuti apa maumu, Kaleya. Kita berpisah. Lalu, apa kamu tak bisa menurutiku untuk tetap tinggal beberapa waktu? Setidaknya sampai aku bisa benar-benar melupakanmu.”

Permohonan Gara hanya kusambut dengan senyum tipis. Membayangkan Gara yang tak lagi bersikap manis saja sudah membuatku menangis. Apalagi melihat lelaki itu berbahagia dengan sosok lain di sampingnya. Aku tak sanggup. Mungkin belum sanggup.

“Saya tidak bisa, Pak. Saya perlu sendiri.”

Hening. Dalam waktu lama. Hingga Gara kembali berkata.

“Pergilah, Kale.”

Suara lemah itu membuatku mendongak pedih. Dua mata Gara kembali berkaca-kaca. Ya Tuhan andai bisa akan kuhapus lara dalam hatinya. Akan tetapi, posisiku tak lagi sama. Hadirkanlah wanita kuat agar bisa mendampingi Gara dan membuatnya bahagia. Jika bisa, sampai Gara melupakanku untuk selamanya.

“Pergilah!” titah Gara mulai membelakangiku.

“Kalau kamu sudah siap. Mari bertemu. Dalam pertemuan itu, aku harap kamu baik-baik saja.”

Aku tahu apa maksud pertemuan dari ucapan Gara. Pertemuan dalam sidang perceraian, 'kan? Ah, sepertinya aku harus kursus teater agar kemampuan aktingku semakin baik. Pura-pura bahagia memang perlu seni, ternyata.

“Baik, Pak, terima kasih.” Aku berujar dan hendak keluar pintu.

“Aku akan tetap sama, Kale. Aku akan datang jika kamu berubah pikiran.”

Ujaran Gara membuatku kaku. Aku mengangguk saja. Namun, Gara kembali bersuara.

“Berjanjilah kamu akan baik-baik saja selepas perpisahan ini. Baik-baik saja, Sayangnya Gara!”

Tak kuasa. Air mata meluncur satu per satu. Beruntung, aku telah membelakangi Gara. Selepas mengangguk, aku keluar. Kepedihan menamparku hingga ke titik terdalam.

“Selamat tinggal, Gara,” lirihku menapakki jalan untuk keluar dari kantor ini.

Pukul sembilan pagi, aku sudah sampai di terminal Pulo Gadung. Hanya beberapa pesan kukirimkan pada sahabat dekat berisi pamitan seperti; Sindi, April, dan Ken Arovi.

Mereka terkejut dan mendoakan yang terbaik. Aku tersenyum saja saat membaca pesan bernada penyemangat dari mereka. Tak mudah memang meninggalkan kota jakarta yang penuh memori ini.

Selepas siap. Bus Garuda Mas pun melaju. Aku menikmati perjalanan yang agak panjang. Memakan waktu sekitar lima jam perjalanan membuatku terantuk tidur lantas kembali membuka mata dengan linglung.

Ya ... tiap aku memejam. Tiap itu pula bayang Gara membayang. Lelaki itu memang suami yang baik. Selama kepura-puraan lupa, Gara masih mengirimiku nafkah bulanan bersama dengan gaji yang sewajarnya.

“Ini apa, Pak?”

“Bonus. Kamu kerja giat.”

Jawaban Gara menyentuhku bahwa lelaki itu tak abai akan tanggung jawab suami dan hak seorang istri. Andaikan kecelakaan yang merenggut satu ovariumku itu tak terjadi, mungkin aku masih memiliki suami. Ah ya, takdir sudah terjadi. Buat apa diratapi? Toh, semua tak akan berubah meski disesali ataupun ditangisi.

Lima jam berlalu begitu saja. Kota Pemalang sudah dimasuki bus. Tepat saat rumah bercat biru, aku meminta turun. Saat itu pula seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu halaman berlari dengan wajah penuh kerinduan.

“Ndukk!” panggilnya.

Ia langsung mendekapku menyalurkan rindu. Aku tergugu. Merasai pelukan nyaman yang nanti akan menjadi tempatku bersandar.

“Ibuk!” panggilku di sela isak tangis.

Kami pun melanjutkan acara bertukar rindu di rumah. Kebetulan, Bapak sedang di sawah. Jadilah kami hanya berdua di sini.

“Ibuk, ngapuntene. Kula sampun pegatan.”
[Ibuk, maaf. Aku sudah bercerai.]

Kalimat pertama terlontar selepas kami bertukar kabar. Tak menyangka. Ibuk terkejut terbatuk-batuk. Sedang di ambang pintu botol minuman Bapak terjatuh membuat gaduh.

“Nduk cah ayu,” lirih wajah renta itu syarat kepedihan.

“Ngapuntene, Pak, Buk. Ngapuntene.”
[Maaf, Pak, Buk. Maaf.]

Segera aku sungkem dengan tangis menjadi. Di sela isakan, kuceritakan apa yang terjadi. Bapak dan Ibuk menenangkanku. Mengusap puncak kepala dan menepuk-nepuk punggungku.

“Mas Gara nggih awale mboten purun. Tapi, kula sampun keras, Pak, Buk. Kula mesakne Mas Gara, anak tunggal. Mangke nek kaliyan kula mboten gadhah keturunan.”
[Mas Gara awalnya juga tidak mau. Tapi, aku sudah kekeuh, Pak, Buk. Aku kasihan sama Mas Gara, anak tunggal. Nanti kalau aku tak bisa punya keturunan.]

Bapak dan Ibuk ikut tergugu. Mereka mengusap puncak kepalaku. Mendekapku dan memberi pengertian tanpa penghakiman.

“Nduk, percoyo asmara kui ra mandang banda ra mandang rupa. Asmara kui ana ning ati. Yen nok batin. Ora bisa dipedhot. Ana baen carane  Gusti ngersakno ben bisa balen.”

[Nduk, percayalah asmara cinta itu tidak memandang rupa dan harta. Asmara itu ada di hati. Jika sudah mantap di hati tak bisa dipisahkan. Ada saja caranya Tuhan mempertemukan.]

Terdiam aku atas perkataan Bapak.

“Medotke asmara kui ibarate kayata nyegati alining segara. Angel. Yen koe karo Gara wis dadi garwa utawa sigaraning nyawa, ya opo baen masalah e akhire mesti dadi siji.”

[Memutus asmara sejati itu ibarat menghambat aliran samudera. Susah. Tak akan bisa. Jika kamu dan Gara sudah menjadi jodoh (garwa) separuhnya nyawa maka apa saja masalahnya pasti berakhir bersatu.]

Petuah Bapak dan Ibuk membuatku tersadar akan kesalahan. Bahwa aku terlalu kaku dan dengan cepat memutuskan bahwa standar bahagia bagi Gara adalah memiliki anak. Hingga aku tak mendengarkan permintaannya untuk tetap mendampingi. Aku tak mendengarkan permintaan tulusnya dengan hati lapang menerima semua kekurangan ini.

Tak sadar, aku memang meragukan Gara. Aku salah, tetapi semua sudah usai, aku dan Gara akan tetap berpisah.

Tamat? Apah?

Enggak2 santai aja. Masih beberapa part lagi. Doain lancar ye ngetiknya. Biar satset. Batbet. Watwet. Lopyu kelen.

Jual Mantan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang