Sepuluh

807 152 11
                                    

Sejak aksi heroik Gara seminggu yang lalu, aku menjadi lebih memikirkan lelaki itu. Apalagi, peninjauan di KM6 B ditunda. Hanya sementara, menunggu keadaannya membaik, itu kata Gara.

Selama seminggu tidak bertemu Gara membuat rasa tak nyaman mulai menggerogoti. Jika biasanya di kantor lelaki itu selalu mengamatiku lekat, maka pemandangan kursi serta mejanya yang kosong menghadirkan perasaan tersendiri dalam dada.

Ah, tak apa. Begitu pikirku. Namun, semua tergerus saat tak ada kabar apa pun dari Gara lewat pesan WA. Sudah tidak datang ke kantor, tak pula memunculkan pesan di ponsel, sungguh keterlaluan. Aku bingung menanggapi perasaan demikian.

Kesal? Memang aku berhak?/Semua terasa kacau meski ada beberapa pesan dari teman seperti; Ken Arok tetapi semua tak bisa membangkitkan keinginan untuk membalas.

Setiap kali berada di ruangan sendiri, rasanya aku ingin menangis saja. Sensasi seru, gereget, sebal dan lainnya menggumpal dalam dada yang bisa dikatakan dengan rasa rindu? Benarkah?

“Si Bos gak masuk lagi?” tanya April yang kebetulan satu lift denganku.

Jam istirahat, waktunya makan siang ke kantin di lantai paling bawah. Aku menggeleng pelan, menjawab pertanyaan Kupril. Sindi tersenyum miring.

“Rindu nih anak kek nya!”

Yaiya lah aku rindu ... Tapi mau bilang rindu aku loh siapanya Gara?

Total sepuluh hari sudah terlewati dan rasanya memang hampa. Semua yang terasa berimbas pada pening di kepalaku yang menjadi, luapan emosi yang meninggi dan melamun melihat sisi kosong di depan mata. Ah ya Tuhan, Kaleya sudah gila!

“Makan, Kale. Kamu tinggal tulang belulang loh. Kayak gak ada gizinya,” tegur Sindi menyenggol lenganku.

Bahkan mie ayam terlezat di area kantin terasa hambar terlihat. Tak berselera. Aku kehilangan gairah hidup hanya gara-gara Gara!

Aku mulai menyendok. Namun, terhenti kala ponsel berdering. Harapanku pupus tatkala melihat pesan ternyata dari pacar setia; operator, bukan dari Gara.

“Kale ....” April mulai berbicara.

Kini aku menghadap dua orang sobat jomblo dan ambyares ini. Sindi dan April sudah selesai dan menghabiskan seluruh mie ayamnya. Berbanding terbalik denganku yang hanya mencicip tiga suap. Padahal rasanya sedap.

“Aku kenyang,” ucapku tak sepenuhnya bohong.

“Kenyang makan gengsi?” April berkata langsung.

“Le, jangan gitu. Kalau kamu rindu ya ... tinggal telepon atau WA saja. Jangan diam dan berpangku tangan. Apa susahnya sih tanya kabar duluan?” April menasihati.

“Aku bisa menyimpulkan sekarang bahwa ... kenapa tukang koran laki-laki, karena kalau cewek pasti gengsi.” Sindi ikut menimpali.

Aku tersenyum hambar. Benar juga apa kata mereka. Namun, aku berada di posisi sulit. Ingin peduli, tetapi lagi-lagi sadar diri membuatku berhenti.

“Makasih, kalian.” Aku berujar tulus seraya merentangkan kedua tangan.

Kami berpelukan. Setidaknya aku merasa nyaman mengungkapkan sekilas kisah hidupku pada dua orang ini. Sindi dan April.

Menuruti kata hati, aku pun bertekad untuk melihat kondisi Gara ke apartemennya. Masa bodo dengan gengsi karena aku hanya perlu memastikan dia baik-baik saja.

Namun, saat kakiku sampai di lantai dua, tempat apartemen Gara. Aku membeku di ambang lift. Tepat di ambang pintu, seorang wanita tengah memeluk Gara erat. Lelaki itu ... apa maksudnya?

Jual Mantan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang