Sewelas

765 155 6
                                    

Bau-bauan semacam minyak angin membuatku ditarik ke alam nyata. Mata ini mengerjap pelan guna mengatur cahaya. Di depanku, Gara dan beberapa perawat tengah berdiri menatapku.

“Sudah sadar. Saya buatkan resep dulu.”

Gara terlihat mengangguk. Kepergian seorang dokter dengan dua perawat tadi menyisakan kami berdua di ruangan ini. Dengan posisi berbaring dan Gara yang berdiri kami saling bertahan dalam diam.

Aku berusaha menatap langit-langit putih itu dan mencari cara untuk membuka suara. Namun, nihil. Pikiranku kosong melompong. Hanya ada kelebat bayang tentang pelukan mesra sialan kemarin. Semua kata tergerus dengan rasa asing yang mendera.

Gara tiba-tiba keluar. Tak pelak, aku menatap punggung lebarnya yang menjauh. Lelaki itu kembali seraya berucap satu kata dengan ekspresi tak terbaca.

“Pulang.”

Aku mengangguk. Terduduk perlahan lalu mulai menapakkan kaki di lantai, satu langkah, dua langkah, tiga langkah, rasa lemah tak terhindari. Beruntung, Gara sigap mendekap pinggangku. Tak banyak tanya, lelaki itu menggendongku.

Berada dalam jarak dekat, aku memperhatikan lagi lelaki itu. Bayangan itu muncul kembali mendobrak pintu hati. Aku memejam. Meresapi rasa sakit yang seakan menguliti.

“Turunkan aku!” pintaku selepas keluar dari rumah sakit.

Selain risih dengan tatapan orang-orang yang mendengungkan kami pasangan romantis, aku seperti tak rela jika Gara melakukan hal begini; selepas berpelukan dengan wanita lain.

Bukan apa ... aku hanya tak ingin menjadi duri di hubungan Gara. Atau lebih parahnya, aku tak ingin menyimpan perasaan pada orang yang sudah berpunya.

Gara tak mendengarkan perintahku. Diam adalah cara yang kupilih. Biarlah nanti kuberi tahu lelaki ini tentang kesalahan dalam hubungan kami. Hubungan yang berpeluang besar menciptakan sakit hati.

Setibanya di mobil, Gara menaruh tubuhku hati-hati. Ekspresinya terlihat biasa. Namun, ketika mobil yang dikemudikan Pak Pur ini melenggang ke jalan berbeda dengan indekos, aku merasa tak wajar.

“Ke mana?”

Jawaban Gara diterbangkan angin sepertinya. Atau mungkin lelaki itu hanya menjawab lewat suara batin. Karena pada akhirnya jawaban tadi dibuktikan dengan mobil yang terparkir di basemen apartemen. Milik Gara.

Gara membuka pintu, tanpa aba meraih tubuhku. Aku mengernyit makin tak mengerti.

“Ngapain ke sini?” Aku bertanya lagi.

Gara diam. Rahangnya mulai mengetat pertanda amarah ada dalam dirinya. Aku panik. Ikut menerka hal yang bukan-bukan.

“Bapak! Turunin saya!” Aku memberontak.

Dalam keadaan lemah lunglai aku tak bisa apa-apa di gendongan Gara. Lelaki itu tetap diam meski kakiku menendang udara. Cara lain aku berteriak. Sepi. Tak ada sesiapa di sini. Terakhir, semua indra kugerakan. Tanganku memukuli dadanya. Kakiku menendang udara. Mulutku mencoba menggigit lengannya.

Nahas. Gara seperti patung yang kehilangan rasa. Ia tak berhenti meski aku merengek bahkan air mata yang mulai meleleh di pipi.

Apartemen lelaki itu terbuka, lantas dengan kaki, Gara menutupnya. Dibaringkan tubuhku di sofa, lalu Gara berjongkok menatapku dengan tatapan amarahnya.

“Ngapain ke sini?! Bapak mau ngapain sih sebenarnya?” Aku bertanya.

Hatiku berkedut melihat pundak Gara yang tercetak merahnya darah. Apakah karena ulahku tadi dan tak sengaja membuat lukanya tersakiti? Namun, itu juga salah Gara kenapa bisa membawaku di sini?

“Bapak? Sudah ya. Saya sudah minta maaf tentang tempo hari. Kita sudahi saja semua drama ini. Pacaran kontrak? Tidak bermutu!

“Bapak itu bisa punya kekasih lebih dari saya, Pak. Lagian Bapak pasti punya kekasih juga. Gak perlu repot-repot memperbudak saya.”

Tak ada kata. Gara justru merapikan anak rambut yang ada di dahiku. Lelaki itu ....

“Bapak! Terima kasih sudah mau menolong saya. Bahkan membahayakan nyawa demi saya. Tapi ... saya tak butuh itu, Pak. Saya sungguh tak apa jika gaji saya dipotong sebagai sanksi tuduhan tempo hari. Saya gapapa. Beda cerita kalau kayak gini, Pak.” Aku menghempaskan napas lelah.

“Jangan main-main sama hati. Udah, Pak! Udah. Kita cuma masa lalu. Gak ada masa depan untuk mengulang cerita yang udah berlalu.”

Gara menatapku tanpa berkata apa-apa. Ia justru melakukan pergerakan tak terduga. Diangkatnya tubuhku lantas didudukan di pangkuannya. Gendeng!

“Bapak—”

“Kale ... kamu sakit. Aku akan rawat kamu.”

Aku terdiam. Menatap bulu mata lebat bernaung di mata cokelat.

“Aku enggak tahu seberapa pentingnya aku di matamu. Karena kamu bahkan gak bertanya kabar selepas kejadian itu?”

Masih sama. Hening. Aku tak menjawabnya.

“Sepuluh hari menghilang tanpa kamu, hanya ada rindu, Kale. Jujur, aku tak berselera untuk melakukan apa-apa.

“Aku hanya di fase lelah, Kale. Aku ingin mengistirahatkan pikiran yang berjubal. Memperjuangkanmu enggak semudah menghirup napas lantas membuangnya. Kamu sulit.

“Kadang, aku berpikir, apa memang tidak ada rasa buatku darimu. Aku cuma lelah kemarin, tapi melihat kamu sakit begini rasa peduliku tak mampu berhenti.”

Peduli katanya?

“Lebih baik Bapak mempedulikan wanita kemarin yang ke sini. Mau tidak mau, Bapak harus mengaku bahwa ada dua wanita yang terjebak di sini. Maka, lepaskan saya, Pak. Saya sudah sadar diri sebelum diwanti-wanti.”

Gara terdiam. Kuberikan senyum terbaik lantas mulai bangkit.

Tak berkutik. Gara diam dan hanya melirik. Menguasai rasa pening, aku memakai sepatu. Sebelum tanganku berhasil meraih gagang pintu, Gara mecengkeram tanganku erat.

“Kamu cemburu?” tanyanya lembut.

“Ti—tidak, Pak. Hanya saja menjadi duri dalam hubungan orang lain bukan hal yang saya impikan.”

Aku berusaha keras melepaskan cekalan Gara. Namun, terkalahkan dengan kekuatan lelaki itu yang memutar tubuhku. Ia menatapku lekat. Matanya berkaca dan sebuah pelukan terjadi juga. Ingin menolak, percuma. Karena aku juga menangis dalam perang batin ini.

“Kale ... kamu tak pernah menjadi duri dari hubungan siapa-siapa. Aku sebenarnya marah sama kamu karena nuranimu tak terketuk rindu meski lama kita tak bertemu.

“Harapanku itu kamu kembali menjadi Kale yang dulu. Dulu sekali .... Kaleya yang mencintai Gara. Hanya itu.”

Terdiam. Aku meresapi nada putus asa dari Gara. Memang, lelaki kadang juga memiliki rasa lelah saat mengejar wanita impian. Saat itulah mereka beranggapan untuk beristirahat bukan menghilang.

Gara tidak tahu apa-apa. Ia hanya tahu luarku seakan tak peduli atau cenderung membiarkannya. Padahal, perang yang tersulut mulai membara dalam hati, pikiran, juga raga.

Susah untuk menyelaraskan itu semua. Karena aku tahu. Aku dan Gara berbeda.

“Tapi ... mendengar ucapanmu tentang wanita itu, aku sudah cukup memiliki atensi. Bahwa kamu mulai membukakan gerbang itu.

“Maaf, Kale. Maaf jika aku selemah itu dalam berjuang. Percayalah jika aku menghilang ... aku tengah mengumpulkan cara agar kita kembali bersama. Bukan mencari wanita pengganti apalagi cadangan untuk nanti.”

Gara menatapku lamat-lamat. Ia menghapus air mataku dengan lembut. Hingga sebuah kecupan mendarat di puncak kepalaku. Cepat. Kilat.

“Aku mencintaimu, Sayang.”

Panggilan itu mengempasku ke dalam degup serta rasa yang bergetar. Ya Tuhan, kenapa ini?

Selamat malam minggu untuk kamu. :v Akhirnya update jugak. Wkwk. Tks for comment vote and follow. Hope you enjoy it.

Jual Mantan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang