“Kalau aku minta kamu jadi pacar sungguhan bagaimana? Kamu mau jadi pacarku, Kale?”
Hening. Selepas cappucino dan milkshake chocolat terhidang, Gara membuka percakapan dengan pertanyaan demikian. Aku berdeham.
“Kok begitu, Pak?”
“Ya ... sedari dulu kamu memang pawangku, Kale.”
Hening. Aku tak tahu ingin berkata bagaimana. Namun, tatapan Gara yang mengungkung membuatku seakan terperangkap dalam sarang.
Aku tak bisa melirik cowok-cowok ganteng yang berkeliaran. Huh! Angel tuturane, emang!
“Atau ... kamu mau jadi lebih dari pacar. Istriku misalnya.”
Kulihat tak ada canda dalam mata Gara. Hanya ada kesungguhan. Akan tetapi, tidak semudah itu untuk meyakinkanku.
“Bapak ....”
“Coba dulu. Nikmati tiga bulan bersamaku. Kalau kamu enggak nyaman ya sudah.” Gara menyela perkataanku yang menggantung.
“Ini!”
Sebuah cincin disodorkan begitu saja oleh Gara. Aku terdiam mencermati. Degub dalam dada pun semakin menjadi. Ini nyata dan bukan mimpi? Namun, kenapa tiba-tiba Gara menawarkan ini.
“Mana jari kamu?” Gara bertanya seraya menarik jariku.
Tersemat. Cincin itu berhasil tersemat. Gara tersenyum puas.
“Tiga bulan. Selepas tiga bulan, kamu bisa memilih untuk pergi atau menetap bersamaku dan menjadi seorang istri.”
Aku meneguk ludah susah payah. Gara tak lagi berbicara panjang kali lebar. Lewat tatapan mata ia seakan berbicara bahwa penolakanku tak berarti apa-apa.
Jika menerima, aku yakin banyak kesenjangan di antara kami. Gara itu berdarah biru. Sedang diriku, berdarah merah khas rakyat ekonomi menengah ke bawah. Selain strata ekonomi, strata pendidikan membuatku seakan ingin mengundurkan diri.
Keputusanku dari dulu sudah bulat untuk meninggalkan Gara dan hidup normal tanpa pertanyaan, “Kamu pakai susuk apa? Kok bisa punya cowok tampan gak ketulungan?”
Mungkin jika aku sedang bahagia, tanya itu hanya lalu lalang tak berguna. Sebaliknya, saat aku sedang marah, maka tanya itu adalah belati yang menebas rasa percaya diriku agar kembali sadar akan posisi.
Susuk? Tak pernah aku memakai hal mistis semacam itu. Mungkin susuk konde pernah kupakai ketika wisuda dan berpenampilan khas wanita jawa.
Lagian, sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang menarik dari diriku. Mata Gara buta, sepertinya. Sudahlah memikirkan Gara membuatku kehilangan kata-kata.
Selepas menurunkanku, Gara berpamitan. Lelaki itu pergi meninggalkan jaket dan memesan agar aku mengirimi pesan jika membutuhkan apa-apa. Namun, titah Prabu Gara hanya jadi angin lalu.
Selepas tiba di mes dan berada di kamar, aku diam tak berkutik. Bahkan ponselku pun mati. Entahlah, pikiran ini semakin berkecamuk saja.
“Ibu Kale.”
Seorang gadis keluar dari kamar mandi. Aku mengangguk. Mes ini terdiri dari lima kamar. Per kamar diisi dua karyawati. Malam ini, aku menginap bersama Rada, seorang karyawati yang sudah agak lama dan menduduki jabatan kasir.
“Kamu udah makan?” tanyaku basa-basi.
“Udah, Bu. Tadi di outlet. Kebetulan cateringnya enak.” Rada terkekeh.
“Ibu pacarnya Pak Gara ya?”
Tanya itu membuatku terdiam seketika. Rada hanya tersenyum tipis menanggapi ekspresiku yang mungkin terlihat kaku.
“Maaf ya, Bu. Saya cuman tanya. Soalnya dulu, Pak Gara pernah disamperin kekasihnya di sini.”
Aku terdiam berusaha tersenyum dan menjawab, “saya cuman teman. Teman lama sama Pak Gara. Ngopi bareng, makan bareng, udah biasa dilakuin. Karena kami memang kenal udah dari zaman kuliahan.”
Berbeda dengan penjelasanku yang lancar. Hatiku melakukan reaksi berlebihan. Sakit mulai menjalari. Apalagi pemikiran-pemikiran negatif datang menghinggapi.
Esok harinya, aku dan Gara berangkat pukul tujuh pagi menuju proyek pembangunan lapangan. Kami menuju ke sebuah rest area KM6. Di blok B, sebuah bangunan setengah jadi masih mengalami pembenaran.
Sekilas terlihat jelek, tetapi melihat detail-detail yang mulai tercetak membuatku yakin restoran Gara kali ini kembali menampilkan desain terbaiknya. Aku dan Gara tak berinteraksi sama sekali sejak perjalanan maupun peninjauan terjadi. Kami diam dan baru berbicara tentang pekerjaan.
Bagian atap yang masih kurang sedikit pun sedang dikerjakan. Semua pekerja sibuk dengan bidang masing-masing. Aku hanya diam di belakang tatkala Gara bercakap dengan sang mandor.
“Kaleya!''
Saat pandanganku berkeliling. Teriakan serta dekapan membuat otakku seakan blue screen. Semua gelap. Lantas, kejadian berikutnya kulihat darah yang bercecer dari lengan Gara.
“Ba—bapak!”
“Kamu gapapa, Kale? Lutut kamu berdarah lagi? Sikunya?”
Dikerumuni semua orang dapat meredakan segala umpatanku. Bagaimana bisa Gara menanyakan keadaanku sedangkan dirinya tengah bersimbah darah? Lelaki ini ....
“Cepat bawa ke rumah sakit!” titahku menahan air mata yang mulai merebak.
Tujuh jahitan pun bersemayam di pundak Gara. Menurut saksi mata tadi, seorang pekerja bermata minus, tak sengaja menjatuhkan lima batu bata tanpa melihat di bawahnya. Gara yang memang berada dekat denganku langsung mendorongku sebelum lima batu bata mengenai diriku.
Aku menenangkan diri di antara syok juga sakit dalam satu sisi. Kenapa Gara? Kenapa selalu dia yang peduli? Bukan apa ya Tuhan. Aku hanya tidak ingin menjadi pasangan bak langit dan bumi. Berilah Gara pasangan yang sebanding, yang good looking, good rekening pula.
Hah! Aku baru berani melihat Gara selepas setengah jam terduduk dan mencerna semua. Gara tengah bersandar dengan kemeja terbuka di kancing atasnya.
“Bagaimana keadaanmu, Kale?'' Gara bertanya pelan.
Aku terkekeh seraya menggeleng. “Yang sakit di sini Bapak bukan saya.”
“Luka kamu sudah diobati?” tanyanya sekian kali.
“Bapak ... kenapa Bapak melakukan semua ini?” Aku bertanya tak mengerti.
“Yang terluka Bapak. Kenapa justru bertanya bagaimana keadaan saya? Saya tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi.”
“Kale sudah kubilang. Semua sikapku, ada tujuannya. Kamu enggak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja.”
Baik-baik saja? Katanya? Gila! Edan! Lihat saja tujuh jahitan di atas pundak lebarnya. Belum kering masih basah, bahkan kemeja biru itu masih bersimbah darah.
“Keselamatan diri sendiri lebih penting, Bapak!”
“Jika aku melakukan ini ... artinya kamu berarti, Kale.”
Pukulan telak. Aku goyah. Tak pernah terpikir jika seorang preman barbar seperti Kaleya akan menangis. Namun, aku menumpahkan segalanya. Aku menangis. Tak tersadar bahkan kepalaku kini bersandar di dada kanan Gara.
“Jangan ulangi kelakuan konyol seperti itu lagi, Bapak! Bapak jangan mikir saya berarti karena kehilangan satu karyawan seperti saya justru akan memunculkan karyawan yang lebih baik. Maafkan saya, Bapak!”
“Kale ....”
“Bapak ... Bapak tampan rupawan, punya banyak uang. Bapak bisa sama siapa saja selain saya. Kenapa harus saya, Pak?!” tanyaku menatap lekat wajahnya.
Gara tersenyum tipis. Tangannya masih setia mengelus puncak kepalaku. Ia mulai menggerakkan tangan kirinya guna mengusap air mata ini.
“Kenapa harus kamu? Karena ... aku sendiri tidak tahu jawabannya, Kale. Kamu cukup tahu bahwa i'm yours!”
Kata terakhir itu tak bisa enyah meski kuusir berkali. I'm yours? Sebesar apakah kamu menginginkanku, Gara?!

KAMU SEDANG MEMBACA
Jual Mantan (Completed)
Romansa"DIJUAL MANTAN! *Harga terjangkau: sepuluh ribuan. *Wajahnya tampan, mapan, tapi suka melakukan pengekangan. *Umur tua, tetapi stamina jangan ditanya. Minat? Hubungi nomor di bawah ini! Sssttt spek oppa korea jangan dianggurin, Gaes! Note: grati...