.
.
.
.
.
.
.
.Jangan takut bila esok hari akan berubah ...
meski cinta hanya bisa dirindukan
kamu tetap berada di duniakuJangan menyesal ...
bila aku tidak bisa terbang bersamamu
ketika kamu berbalik, bayangan akan bergetarJangan melihat ke belakang ...
sampai jumpa besokLyrics by : TANK -To Dear You At Tomorrow
.
.
.
.
.
Ada banyak orang yang hidup di muka bumi, tetapi mengapa banyak orang pula yang merasakan sendiri?-Next Time, Find Me in Our World-
...
Bintang tidak tahu pasti sejak kapan ia mulai membenci diri sendiri? Ah, tidak cukup diri sendiri, tetapi kehidupan juga mungkin?
Tidak seharusnya ia seperti ini. Di dunia ini pasti ada banyak hal baik yang masih bisa ia syukuri, tetapi ... mengapa di siang yang cerah ini seakan gelap sekali?
Gelap. Bahkan kesulitan melihat bayangan sendiri.
"Baik. Kita ke pertanyaan selanjutnya."
"Bisa berhenti?" tukas Bintang dengan cepat. Mata bundar yang tampak sayu kini menatap tajam, sama halnya dengan kedua ujung alis yang menekuk. Pria berjas putih di hadapannya sama sekali tidak membantu, sudah ia duga. Alih-alih berbicara seperti biasa, ia malah seakan menaruh dendam pribadi di sana.
"Tidak." Pria paruh baya itu menggeleng. "Kita lanjutkan ke--"
"Aku tidak berminat melakukan apa pun." Setengah meninggikan suara, Bintang menjawab. "Bermain musik, olahraga, bahkan aku sudah resmi memutuskan untuk tidak terlibat dalam dunia kepenulisan lagi."
"Bintang ...."
Bintang dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Pria paruh baya di hadapannya pasti akan mengembus napas panjang, meletakkan daftar pertanyaan dengan tulisan yang sama sekali tidak bisa Bintang baca, lalu menatapnya dengan pasrah.
Ah, menyebalkan. Bintang memperhatikan sekeliling ruangan. Dinding putih, dengan aroma khas pahit dan steril yang resmi menjadi pengharum ruangan, lalu ....
Bintang menatap jengah, begitu kertas berukuran persegi panjang disodorkan. Tanpa dibaca pun, ia tahu apa yang ia dapatkan saat menukarnya pada bagian apotek di lantai bawah.
"Tolong kamu serahkan. Untuk biaya, biar Om yang mengurusnya."
"Tidak perlu," gumam Bintang, berat. Meraih carik kertas tersebut, lalu meremasnya, bangkit, setengah membuangnya ke tempat sampah. "Terlalu banyak yang harus kuminum, belum lagi resep dari ruangan sebelah."
"Bintang!"
Bintang menghentikan langkah, sebelah tangan yang sudah hendak menggeser pintu keluar itu terdiam sejenak. Mengembus napas kasar. "Bukankah sudah kubilang tidak perlu merepotkan diri? Kedatanganku ke sini bukan untuk itu."
"Lantas?" Tak ada jawaban dari Bintang, hingga membuat pria itu tersadar, lalu mengangkat kedua tangan. "Baiklah. Bukan untuk konsultasi, melainkan negosiasi secara pribadi, hm?"
"Ya." Bintang mengangguk pelan, tidak bergeming dari posisinya. "Mungkin lebih tepatnya, aku ingin meminta tolong. Tentu saja, kulakukan karena kupikir kita bisa saling memberi keuntungan."
"Memberi keuntungan?" ulang pria itu heran, lalu tertawa pelan. "Bintang, kamu bahkan masih sekolah. Jangan berpikiran yang macam-macam, mana mungkin Om--"
"Izinkan aku untuk tinggal bersama," tukas Bintang, cepat. Mata bundarnya menatap tajam. "Aku berjanji tidak akan merepotkan dan menjaga rumah. Jadi, tolong bujuk Mama dengan cara apa pun, agar aku bisa pindah sekolah."
"Pindah? Kamu ada masalah di sekolah?"
"Tidak sama sekali." Bintang tersenyum sinis. "Hanya saja, aku membutuhkan suasana baru. Cukup itu."
Butuh berapa detik kerutan samar terlintas di dahi. Hingga akhirnya Bintang kembali bangkit, buru-buru pria itu menahan lengan ponakannya ketika mulai menggeser kursi.
"Sekolah mana yang mau kamu tuju?"
"Chandra Utama," tegas Bintang. Bola mata yang beberapa tahun ini kehilangan rona, kini sebaliknya. Perasaan semangat samar-samar hadir dengan sebelah sudut bibir yang menyungging, kepalan tangan yang refleks terjadi begitu saja, serta terdapat kilatan pada bola mata.
Aneh. Meskipun hanya sebentar dan tidak terlalu mendominasi, tetapi kilatan pada mata itu emosi marahkah? Atau bahagia? Sungguh pria paruh baya itu ingin memperhatikan jauh lebih dalam lagi. Sekali lagi.
Sadar bahwa pria itu sedang meragukannya, Bintang berdehem, sesekali membenarkan kerah kemeja hitamnya yang terlipat. "Aku ada dengar di sana banyak mencetak siswa berbakat. Bukan cuma itu, jam pelajaran yang sedikit, tetapi padat dengan materi. Sangat bagus bukan untuk beristirahat?"
"Kamu yakin sanggup?" Pria itu melonggarkan dasinya, ragu. "Meskipun jam pelajaran yang sedikit, tetapi di hadapkan dengan materi yang begitu padat ... lebih baik kamu di sekolah lama, belajar menikmati proses secara perlahan."
"Yakin." Bintang mengangguk mantap, bahkan ia sendiri tidak tahu bagaimana bisa ide bodoh ini melintas begitu saja di otaknya hanya dalam beberapa detik? "Aku akan bertanggung jawab dan tidak pernah menyesali keputusanku."
____
Halo semuanya! Udah empat bulan aku tidak update cerita setelah Brother's Note! Cerita ini kuikutsertakan dalam event songfic penerbit Epiphany. Seperti biasa, cerita seorang anak yang tidak bisa dilepaskan dengan unsur persahabatan dan kekeluargaan. Yang pada baca ceritaku sebelumnya, pasti taulah, ya.
Mari kenalan sama Bintang, Eve, Oliver! Ah, jangan lupa pula dengan dua om kece kita Binari sama Antoni! Nah lho, pada penasaran tidak? Wkwkwk. Stay tune, ya! Mohon dukungannya dengan vote, komen, dan krisarnya.
Oh, ya. Kujuga bakal buat ilustrasi dari cerita ini yang bakal kuupdate di ig. Pantau, ya!
Update : 1.11.2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Time, Find Me In Our World [TERBIT-COMPLETE]
Teen FictionMenurut Bintang, setiap kisah akan berakhir pada epilog nantinya. Begitu juga dengan hidupnya. Ia yang mulai menyerah, mendadak saja mengetahui tujuan hidup di saat detik-detik terakhir menghantuinya. Tidak ada tujuan baik yang terlintas, melainkan...