"Mas, apa pindahannya tidak bisa ditunda dulu. Setidaknya sampai aku melahirkan," ucapku pada Mas Kaivan — suamiku yang sedari tadi sibuk merapikan barang-barang.
Mas Kai menoleh padaku, "Sayang, bukannya kemarin kita sudah sepakat. Kenapa hari ini kamu malah ragu."
"Tidak tau, Mas. Tiba-tiba saja aku berat meninggalkan rumah ini."
Mas Kai melangkah, mendekatiku. Kemudian, menunduk seraya mengelus perutku. "Mungkin itu bawaan bayi. Kamu tidak perlu khawatir, rumah yang akan kita tempati nanti jauh lebih bagus dan besar dari rumah ini."
"Apa tidak bisa ditunda, tiga bulan lagi."
"Sayang." Mas Kai menyentuh pipiku lembut. "Mobil pengangkut barang sudah ada di depan. Sebagian besar barang juga sudah dibawa. Masa kamu tega menyuruh mereka membawa barang-barang itu kembali."
Kusentuh lengan Mas Kai, "Iya, Mas." Aku terpaksa mengiyakan, meski hati ini teras berat. Aneh sekali, padahal kemarin kami masih biasa saja. Sekarang, entah kenapa perasaanku ini begitu tak enak.
"Ya sudah, kamu ganti baju. Sebentar lagi kita berangkat."
Aku berdiri, lalu mengambil pakaian yang sudah kuletakan di atas tempat tidur. Sementara Mas Kai membawa kardus-kardus ke luar kamar. Kutatap cermin, seraya mengganti pakaian.
Kriet!
Pintu kamar terbuka, "Ayo, sayang," ucap Mas Kai.
"Iya, Mas." Kubawa tas jinjing berisi pakaian.
Mas Kai berlari mendekat, lalu merebut tas dari genggaman. "Kan sudah Mas bilang, jangan bawa barang-barang berat," ucapnya, lembut.
Kami berjalan ke depan rumah. Sebelum kaki ini melangkah ke luar, aku berhenti sebentar di dekat pintu dan mengedarkan pandangan. Mata ini sedikit berkaca-kaca, ketika mengingat kenangan selama tinggal di sini.
"Ayo, Sayang," ucap Mas Kai.
Kuseka air mata yang sempat menetes. Lalu, berjalan ke luar. Meninggalkan rumah pertamaku dan Mas Kai, sejak pertama kali menikah, dua setengah tahun lalu.
__________
"Kamu pegal?" tanya Mas Kai.
Aku menggelengkan kepala. Meski sudah hampir dua jam duduk di dalam mobil, tapi tidak terasa pegal sedikitpun. Hanya saja, jantung ini terus bedebar kencang, ketika mengetahui jarak kami dengan rumah baru semakin dekat.
Setelah menempuh tiga jam perjalanan, kami tiba di sebuah desa yang berbatasan langsung dengan perkebunan sawit tempat Mas Kai bekerja. Tak jauh dari di ujung desa, ada sebuah rumah besar berhalaman luas, yang merupakan rumah dinas yang akan kami tempati.
"Rumahnya besar ya, Pak. Tapi sepertinya tidak terurus," ucap Supir.
"Iya, rumahnya sudah hampir tiga tahun tidak ditinggali," balas Mas Kai.
Aku turun dari mobil, menatap rumput liar yang begitu tinggi di halaman depan. Saat pandangan ini tetuju pada kaca jendela. Terlihat ada bayangan orang lewat.
"Mas," panggilku.
"Ya, sayang," sahut Mas Kai.
"Apa di dalam rumah ada orang?"
Mas Kai merogoh kantung celananya, "Kuncinya masih ada di sini. Mana mungkin ada orang di dalam."
"Ya, Mas. Mungkin aku salah lihat." Aku berjalan perlahan, menuju teras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Mengincar Suamiku
TerrorSafira dan Kaivan baru saja pindah ke sebuah rumah dinas di tengah perkebunan sawit. Rumah yang berdiri sendiri, tanpa ada satupun tetangga. Mereka tidak menyadari kalau ada bahaya yang mengintai. Bahaya dari sosok Wanita Berkebaya Kuning yang terny...