Berulang kali kucoba menelepon Mas Kai, tapi tak tersambung. Aku takut terjadi sesuatu. Apalagi Dahlia ada di sana. Ia bisa melakukan apa saja pada Mas Kai.
Kulihat jendela, hujan masih turun dengan deras. Bagaimana bisa aku pergi ke sana? Meskipun bisa, tak mungkin diizinkan oleh pihak rumah sakit.
Tok! Tok!
Reflek aku menoleh ke pintu. Pintu terbuka. "Assalamualaikum," sapa Pak Fathir.
"Walaikumsalam," balasku. Sangat beruntung ia datang di waktu yang tepat.
"Kai ke mana, ya? Daritadi saya telepon tidak tersambung."
"Kebetulan banget bapak datang. Mas Kai ada di rumah dinas. Sepertinya ia dalam bahaya."
"Bahaya?"
Aku menceritakan kejadian tadi, sampai video call yang tiba-tiba mati dan Dahlia muncul.
"Wah, kalau begitu saya harus cepat-cepat ke sana. Soalnya saya dapat informasi kalau beberapa jam lalu Baim terlihat di desa," ucap Pak Fathir.
"Saya boleh ikut, Pak?"
"Dengan kondisi hamil sangat berbahaya pergi ke sana, Fira."
"Saya mohon, Pak."
Pak Fathir menatapku agak lama, "Ya sudah, saya tanya dokter dulu." Pak Fathir ke luar sebentar, lalu kembali lagi. "Dokter bilang boleh."
"Makasih, Pak."
Kami pun bergegas pergi ke rumah dinas. Aku tak berhenti-henti berdoa, agar Mas Kai baik-baik saja. Sementara Pak Fathir sedang menelepon seseorang. Dari percakapan yang kudengar, ia sepertinya meminta anak buahnya pergi ke sana.
"Apa bapak punya nomor orang desa?" tanyaku, saat Pak Fathir selesai menelepon.
"Untuk sekarang ini, tidak ada yang dapat diharapkan dari mereka," balasnya.
"Kenapa, Pak?"
"Nanti juga kamu tau." Pak Fathir memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Baru menurunkan kecepatan saat memasuki area perkebunan. Jalanan yang licin dan berlumpur membuat mobil sedikit sulit dikendalikan.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Fathir saat berhasil melalui jalan berlumpur itu.
"Tidak apa-apa, Pak."
Mobil kembali melaju ke arah rumah dinas. Sekitar sepuluh menit kemudian, kami sampai di sana. "Jangan ke luar dulu!" perintah Pak Fathir sembari menghentikan mobilnya. "Tunggu yang anak buah saya."
"Baik, Pak." Aku mengamati kaca jendela kamar. Terlihat ada bayangan orang berjalan di sana. Apa itu Mas Kai?
Pintu depan terbuka. Pak Baim terlihat berjalan ke teras. Ia melihat ke arah mobil lalu berlari ke arah desa. Pak Fathir membuka pintu, "Jangan ke luar!" ucapnya sebelum berlari mengejar Pak Baim.
Kutatap pintu yang terbuka. Ada sebuah dorongan untuk mengecek ke dalam. Namun, aku takut kalau ada orang lain. Tak berselang lama, terlihat Bu Ismi berjaan ke luar. Spontan aku turun dari mobil. Ia menatapku, "ADA FIRA!" teriaknya lalu berlari ke samping rumah.
Aku tak mengejarnya, memilih untuk berjalan masuk ke rumah. Saat berbelok ke kamar, aku berpapasan dengan Pak Rohim. Ia tampak terkejut. "Bapak sedang apa di sini? Mana Mas Kai?" tanyaku. Ia tak menjawab, malah melarangku untuk masuk ke kamar.
Aku berusaha menerobos, tapi ia malah mendorongku hingga tubuh nyaris terjungkal. "Kamu sebaiknya pergi!" ucapnya.
"Bapak yang pergi! Ini rumah saya!" sahutku. Lalu, mencoba menerobos lagi, tapi Pak Rohim malah menahan tubuhku. "LEPASKAN, PAK!" teriakku. "MAS!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Mengincar Suamiku
TerrorSafira dan Kaivan baru saja pindah ke sebuah rumah dinas di tengah perkebunan sawit. Rumah yang berdiri sendiri, tanpa ada satupun tetangga. Mereka tidak menyadari kalau ada bahaya yang mengintai. Bahaya dari sosok Wanita Berkebaya Kuning yang terny...