Pagi menyapa. Saat aku bangun tidur, Mas Kai sudah tidak ada di sampingku. Aku beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke luar kamar. Terlihat Mas Kai sedang berada di dapur.
Aku menghampirinya, "Biar aku saja, Mas."
"Tidak usah," balasnya sambil menatap panci kecil berisi Mie.
"Mas marah denganku?"
"Menurut kamu?"
"Sikap Mas menggambarkan kalau marah."
"Memang." Ia memindahkan Mie yang sudah matang ke mangkuk.
"Apa aku salah meminta Mas untuk tetap di rumah?"
"Tidak." Ia berjalan ke ruang tengah.
"Kalau begitu, kenapa Mas marah?"
"Mas sudah memberi solusi agar kamu tidak sendirian di rumah, tapi kamu malah menolak. Sekarang Mas jadi tidak enak sama Pak Fathir dan Pak Baim."
"Yasudah, kalau Mas tetap ingin pergi."
"Aku tidak akan pergi sampai kamu benar-benar mengizinkan."
"Aku mengizinkan." Seharusnya aku tidak bersikap egois. Hanya karena ketakutanku terhadap Dahlia sampai harus mengorbankan pekerjaan Mas Kai. Aku juga tidak mau suasana di dalam rumah kian memanas. Dahlia akan senang jika kami terus ribut.
"Kamu yakin? Aku tidak mau ada keterpaksaan."
"Yakin, Mas."
Mas Kai tersenyum lalu memelukku. "Makasih sayang."
__________
Keesokan harinya, aku membantu Mas Kai memasukan pakaian ke dalam koper. "Mas akan pulang secepatnya, sayang," ucapnya.
"Iya, Mas. Jangan lupa, kamu harus berhati-hati."
"Iya."
Setelah semua barang bawaan Mas Kai masuk ke dalam koper. Kami pun ke luar kamar. Di ruang tamu, sudah ada Pak Baim dan Bu Ismi. Pak Baim akan pergi dengan Mas Kai, sedangkan Bu Ismi akan menemaniku di rumah.
Mobil kantor sudah menunggu di luar. Seperti biasa, aku hanya bisa mengantar Mas Kai sampai teras. Sebelum melangkah menuju mobil, ia terlebih dulu memeluk dan mencium keningku. Tak lupa mengusap perutku seraya pamit.
"Assalamualaikum," salamnya.
"Walaikumsalam."
Mas Mai masuk ke dalam mobil. Saat mobil melaju, ia sempat membuka jendela dan melambaikan tangan.
Aku dan Bu Ismi masuk ke dalam. Kami pergi ke ruang tengah, menonton televisi sambil mengobrol. "Apa anak-anak tidak keberatan ditinggal sendirian di rumah, Bu," tanyaku.
"Anak-anak sudah dititipkan sama neneknya, Bu."
"Masih tinggal di kampung itu juga?"
"Iya, Bu. Kalau di kampung, biasanya satu keluarga tinggal berdekatan."
"Wah enak, kalau hari raya tidak perlu jalan jauh."
"Iya, Bu. Tapi jadi tidak pernah merasakan sensasi mudik."
"Berarti ibu sama Pak Baim harus merantau jauh. Baru akan merasakan sensasinya mudik dan bermacet-macetan di jalan."
![](https://img.wattpad.com/cover/312190288-288-k988689.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Mengincar Suamiku
TerrorSafira dan Kaivan baru saja pindah ke sebuah rumah dinas di tengah perkebunan sawit. Rumah yang berdiri sendiri, tanpa ada satupun tetangga. Mereka tidak menyadari kalau ada bahaya yang mengintai. Bahaya dari sosok Wanita Berkebaya Kuning yang terny...