Mbok Asih menatap tajam ke arah jalan setapak di antara deretan pohon sawit. Jalan menuju tempat tinggalku.
"Apa dia ada di sana, Mbok?" tanya Mas Kai.
Mbok Asih mengangguk. "Sekarang dia sudah pergi."
Kumasukan lonceng itu ke dalam tas kecil yang kubawa. Kemudian pamit bersama Pak Rohim.
"Jangan lupa, tabur garam itu sebelum malam," pedan Mbok Asih sebelum kami meninggalkan rumahnya.
"Iya, Mbok," balas Mas Kai.
Pak Rohim mengajakku dan Mas Kai sarapan di warung di dekat rumahnya. Warung soto ayam yang sudah ramai pengunjung.
"Pak Kai!" panggil Seorang pria sembari berlari ke arah kami.
"Siapa, Mas?" tanyaku, pelan.
"Pak Baim, mandor kebun."
"Umurnya lebih tua, tapi kenapa manggil bapak?"
"Umurnya memang lebih tua, tapi jabatan Mas kan lebih tinggi, sayang. Mas sudah pernah bilang panggil nama saja, tapi katanya itu kurang sopan."
"Oh begitu."
"Pak Kai mau sarapan juga?" tanya Pak Baim.
"Iya, Pak."
"Ini istrinya, ya, Pak?"
"Iya, panggil saja Bu Fira," balas Mas Kai sambil tersenyum kecil. Spontan aku mendaratkan cubitan ke perutnya.
"Pagi, Bu Fira. Saya Baim, mandor di perkebunan ini."
"Pagi, Pak Baim," balasku. Ini pengalaman pertamaku dipanggil ibu oleh orang yang lebih tua. Rasanya canggung sekali.
"Kai, sini duduk!" panggil Pak Rohim yang sudah mendapatkan tempat duduk.
____________
Daritadi, aku hanya menyimak percakapan mereka bertiga saja. Tak begitu paham dengan apa yang mereka obrolkan. Soalnya berhubungan dengan perkebunan sawit.
"Habis ini mau ke mana lagi, Kai?" tanya Pak Rohin, selesai sarapan.
"Rencananya mau ke kantor, Pak. Soalnya Safira belum pernah ke sana," balas Mas Kai.
"Jalan kaki?" sahut Pak Baim.
"Iya, Pak."
"Sebaiknya saya antar saja, Pak."
"Aduh jadi merepotkan," balasku.
"Tidak apa-apa, Bu. Lagian jarak dari sini ke kantor kan lumayan jauh. Takutnya nanti ibu kecapekan."
"Boleh, deh, Pak," sahut Mas Kai.
"Ya sudah, saya ambil mobil sebentar." Pak Baim pergi ke rumahnya.
"Mas." Aku menyenggol tubuh Mas Kai. Sepertinya ia lupa tujuannya datang ke sini.
Mas Kai menoleh, lalu tersenyum. "Iya, bentar lagi kita ke kantor."
"Bukan itu, Mas."
"Apa?"
"Pengajian," balasku, pelan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Mengincar Suamiku
TerrorSafira dan Kaivan baru saja pindah ke sebuah rumah dinas di tengah perkebunan sawit. Rumah yang berdiri sendiri, tanpa ada satupun tetangga. Mereka tidak menyadari kalau ada bahaya yang mengintai. Bahaya dari sosok Wanita Berkebaya Kuning yang terny...