13. Mangga Muda

119 13 0
                                    

HALLO APA KABAR SEMUA?

JOGJA LAGI HUJAN NIH, KOTA KALIAN GIMANA?

HUJAN-HUJAN GINI, ENAKNYA MAKAN MIE SAMBIL BACA WP WKWK.

KALIAN LAGI SIBUK NGAPAIN NIH?

KALIAN SUKA LUTISAN?

KALAU IYA, PALING SUKA BUAH APA?

KOMEN YAA 🧚

OKE, YUK LANGSUNG CUS BACA AJA.

Happy reading ❤️

Saat ini, Inara dan Mama Ina sedang berjalan menuju rumah Wildan. Siang ini, Tante Endah mengajak mereka untuk lotisan mumpung punya banyak mangga muda.

"Kak, Inara!" seru Yudha berlari ke arahnya, dan langsung memeluk Inara.

"Hei!" Inara mengacak-acak rambut Yudha gemas. Rambutnya sangat lembut.

Inara masuk ke rumah. Disana sudah ada Mbak Mawar yang juga datang kemari beserta Bintang, yang merupakan anaknya. Terlihat sedang mengupas kulit buah mangga.

"Udah dari tadi Mbak?" tanya Inara sopan.

"Iya, Bintang tuh, ngajak main ke rumah Yudha dari kemarin. Nggak tahunya sekarang ada acara lotisan," ujar Mbak Mawar sinis.

Inara tersenyum tipis. Padahal dalam hati ia mengumpat, memang kenapa kalau ada acara lotisan, toh ini juga bukan acara besar yang harus disiarkan ke seluruh kompleks.

"Gimana? Apa ayahnya Bintang bertanggung jawab?" tanya Ina mengambil buah mangga untuk mengupasnya.

Mbak Mawar langsung menghentikan tangannya yang sedang mengupas buah. Badannya menegang, tidak suka jika ada yang menanyakan keberadaan ayah Bintang.

"Enggak Mbak, selama ini saya sendiri yang urus." kata Mawar.

"Wajar dek, orang brengsek seperti itu mana mau tanggungjawab," sahut Tante Endah datang dari dapur dengan membawa Cobek dan ulekan.

Inara terdiam. Ia tidak bisa membayangkannya bagaimana caranya menghidupi seorang anak sendirian, kadang ia merasa iba dengan Mbak Mawar walau ia juga tidak tahu, apakah Mbak Mawar bersalah ataupun tidak. Kejadian itu sudah terjadi begitu lama.

Waktu itu, Inara masih kecil baru duduk di bangku sekolah dasar. Mbak Mawar datang setelah tiga bulan menghilang tanpa kabar. Dan kembali dengan membawa bayi kecil yang sekarang diberi nama Bintang.

Desas-desus banyak terdengar. Sebagian warga sudah mengetahui, bahwa Mbak Mawar memang sudah hamil. Maka dari itu, Mbak Mawar memilih pergi kala perutnya mulai membesar.

Sampai sekarang, mbak Mawar tidak mau menyebutkan siapa ayah dari Bintang. Setiap ditanya, tubuhnya selalu menegang dan ketakutan. Ada hal yang disembunyikan, meski begitu para warga memilih diam. Tidak mau ikut campur, toh kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu.

Sekarang, Bintang sudah besar. Umurnya sama persis dengan Yudha, dan disekolah kan di TK yang sama.

Mama Ina memegang tangan Mbak Mawar dengan lembut. "Saya yakin, kamu bisa membesarkan Bintang sendiri. Kamu kuat."

"Iya mbak," hati Mawar sedikit menghangat.

Tante Endah memilih untuk diam. Beliau menaruh gula Jawa dan bahan lainnya di cobek dan langsung menguleknya dengan ulekan.

"Nduk, tolong ambilkan mentimun di kulkas," suruh Endah.

Inara mengangguk patuh. "Siap, Tan!"

Bukan tidak sopan. Inara bahkan mengerti barang yang ada di setiap sudut rumah Wildan. Ia sudah terbiasa, begitu juga dengan Wildan saat di rumahnya. Tidak ada kata malu ataupun canggung. Kedua keluarga mereka sangat akur, terlebih lagi ia dan Wildan memang sudah berteman sejak kecil.

AMBIVALEN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang