23. Dalgona Coffe

106 15 2
                                    

HAI APA KABAR?

SELAMAT HARI KAMIS

MAAF YA, UPDATE TIDAK SESUAI JADWAL

KEMARIN AKU WRITER BLOK 😭🙏

JADI NGGAK BISA FEEL NULISNYA

HOPE U ENJOY><

Happy reading ❤️


"Ra, kocokin!"

"Iyah,"

Wildan mengusap pelipis Inara yang penuh dengan keringat. "Pelan-pelan aja, nanti muncrat."

"Diem Wil!" seru Inara tetap mengocok dengan kecepatan tinggi.

Wildan yang melihatnya hanya greget sendiri. Ia benar-benar melihat usaha keras Inara untuk membuatnya merasa senang.

Inara menghela napasnya bangga. Ia mengangkat mangkuknya ke udara, memastikan bahwa adonan kopi dicampur gula tersebut sudah jadi.

Niat Inara ingin menyiram tanaman tadi pagi, terhenti saat melihat Wildan, Yudha, dan Bintang datang ke rumah dengan membawakan satu kresek hitam berisi bahan-bahan untuk membuat Dalgona Coffe.

Anak-anak yang sebenarnya ingin membuat di rumah Yudha. Tapi, Wildan menolak keras, takut akan terjadi eksperimen yang gagal seperti tempo lalu saat membuat Slime, dan ia yang akan menjadi sasaran empuk dari Mama Endah. Lebih baik, jika Inara yang membuatkan. Akan lebih baik.

"Kamu kenapa Wil? Dari tadi nggak bersemangat?" tanya Inara sambil mengelap beberapa gelas.

Wildan mendegus, bagiamana ia bisa bersemangat. Setelah kemarin sore, mendengar pernyataan Yusuf yang mulai menyukai Inara. Tentu saja, ia tidak terima.

"Kak Wildan dari kemarin pulang basket gitu kak. Rese!" seru Yudha yang mengaduk-aduk adonan kopi campur gula itu.

"Rese itu apa?" tanya Bintang polos.

"Yudha juga nggak tahu, cuma ikut-ikutan omongannya kak Wildan aja," balas Yudha, membuat Inara geleng-geleng kepala. Sudah ia duga, Wildan memang tidak bisa mengajari hal baik pada adiknya sendiri.

"Yee, apa sih, cil. Sok, tahu banget," cibir Wildan tidak suka.

"Kalau ada masalah, cerita aja," tawar Inara dengan senyumnya.

Duh, manis bener Ra.

"Gak!" balas Wildan ketus, ia membuang muka.

Inara tertawa, mendengar ucapan Wildan yang seperti anak kecil yang sedang marah. "Oke."

Disela-sela tawanya, Inara juga berpikir apa ada sesuatu yang membuat Wildan seperti ini. Dipaksa menjadi abdi negara, pikir Inara. Karena selama ini, Wildan memang terus menerus dipaksa Tante Endah untuk menjadi seorang polisi, tapi entah ia juga tidak tahu.

Inara mengambil es batu, yang sudah Bintang bawakan tadi di dalam kresek. Sedikit cair, karena sudah dari pagi. Tapi tidak apa-apa. Bintang membawa dua balok es. Tangan kiri Inara mengangkat es itu, sedangkan tangan kanannya memegang batu yang besar untuk memecahkan es itu menjadi brongkolan es batu.

"Aw," ringis Inara ketika es batunya meleset dan batu yang ia pegang mengenai telunjuknya.

Wildan dengan sigap langsung mengambil tangan Inara. Ia menghisap telunjuk tangan Inara, agar tidak lagi Sakit. Inara merasakan telunjuknya yang nyut-nyutan. Ia tidak fokus tadi, makanya bisa meleset.

"Lo gimana sih, Ra?"

"Sakit nggak?" tanya Wildan meniup telunjuk Inara.

"Dikit,"

Setelah meniup telunjuknya. Wildan menarik tangan Inara ke wastafel, agar lukanya tersiram dengan air berharap agar lukanya dapat sembuh.

"Udah Wil, nggak apa-apa," ujar Inara karena sikap Wildan yang berlebihan. Ini tidak baik untuk jantungnya.

"Nggak apa-apa gimana, merah gini."

Inara malah salah tingkah. Wildan sangat peduli bahkan dengan hal seperti ini padanya. Baru saja merasa senang, sekelebat bayangan Jenny membuatnya murung. Ia lupa, kalau Wildan suka dengan Jenny, meski jenny milik orang lain.

Inara menarik tangannya. "Udah,"

Daripada jatuh terlalu dalam, lebih baik jika Inara mundur perlahan. Ia memilih fokus pada es Dalgona Coffe yang ia buat. Semoga mereka suka.

"Udah jadi belum kak?" tanya Bintang, berdiri di samping Wildan dengan kedua kaki yang jinjit.

"Sini-sini, bantuin kakak buat masukin es batu!" suruh Inara mengajak Yudha dan Bintang agar mereka juga belajar.

"Esnya aku banyakin ah," ujar Bintang menaruh es banyak ke gelasnya.

"Jangan dong, nanti Yudha nggak kebagian," sungut Yudha.

Inara terkekeh mendengar ucapan mereka. "Iya bener, jangan banyak-banyak. Takutnya nanti nggak enak."

"Oke, deh, kak!" Bintang menaruh sendok untuk mengambil es.

Setelah memasukan es ke dalam empat gelas, Inara menaruh satu persatu gelas itu di nampan. Tidak hanya Dalgona Coffe sebagai minumannya, ia tadi juga menggoreng kentang sebelum mereka datang.

"Ayo, kak! Sambil nonton tv ya," ujar Yudha.

"Iya, boleh."

Inara membawa nampan itu ke depan. Lebih tepatnya ke ruang tengah, seperti yang bocil inginkan. Minum ini sambil menonton tv.

"Wah, kak nggak sabar buat cobain," ucap Bintang bersemangat.

"Bentar ya." Inara menata gelas itu di meja.

Inara melirik sebentar ke arah Wildan. Terlihat masih murung, ia punya ide. "Kita foto dulu, yuk!"

"Ayo!"

"Ayo!"

"Gak!"

Mereka bertiga menatap Wildan dengan pandangan penuh tanya. "Ayo, Wil. Biasanya kamu paling narsis."

"Ogah!"

"Ish, ayo!" rengek Inara.

"Iya kak, ayo!"

Inara pura-pura ngambek. "Yaudah, deh. Kita bertiga aja ya!"

Alhasil, hanya mereka bertiga yang berfoto. Inara mengangkat ponselnya ke atas, dan berpose dengan berbagai gaya. Wildan yang melihatnya juga ikut tersenyum, Inara memang manis. Gula saja kalah manisnya.

"Wil, foto berdua yuk?" ajak Inara sedikit berbisik.

Awalnya Wildan merasa malas. Tapi ia menyetujuinya, ia akan sedikit iseng kali ini. "Ayo!"

Inara mengangkat ponselnya dan mulai berhitung. "Oke, siap? Satu ... Dua ... Ti ... "

Cekrek ...

"Wildan!!!" pekik Inara saat merasakan bibir Wildan menempel pada pipinya.

Arghhh wildannnn 🥺

AMBIVALEN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang