33. Bikin Boneka Dari Kain Flanel

86 12 0
                                    

HAI SELAMAT HARI SENIN

APA KABAR?

SEMOGA SEHAT YA SEMUANYA ☺️

JANGAN LUPA VOTE DAN COMENNYA

Happy reading ❤️

“Dijilat dulu, baru masukin.”

“Jangan dipaksain,”

“Diem!” seru Wildan tetap fokus ingin segera memasukkan-nya.

“Dijilat dulu, percaya deh, langung bisa masuk.”

Wildan mengelap keringat yang ada di dahinya. Ia cukup merasa frustasi karena tidak masuk-masuk.

“Sialan!” umpat Wildan kesal. Baru kali ini ia merasa gagal melakukan sesuatu.

“Dijilat dulu, ngeyel banget lo!”

“Dikocok dulu kali, ah!” seru Ariel membenarkan posisi duduk Jenny yang ada dipangkuan-nya.

Edwin dan Wildan menatap Ariel dengan datar. Tidak mengerti dengan arah pembicaraan temannya yang bersifat ambigu itu.

“Dijilat dulu nyet, ngeyel banget dibilangin,” ujar Edwin lelah.

“Iya-iya mana ngerti gue kek ginian,” balas Wildan menjilat benang itu seperti perintah Edwin.

Mata pelajaran siang ini adalah prakarya. Setiap siswa disuruh untuk membuat boneka dari kain flanel. Memang sedikit aneh, kegiatan seperti anak SD saja, padahal mereka sudah anak SMA harusnya ada yang lebih menantang.

“Ahhhh, udah masuk!” seru Wildan merasa lega.

“Dah, lu terusin jahitannya sama kaya punya gue,” ujar Edwin menunjukan bonekanya yang sudah jadi.

“Rapi banget njir, punya lo!” decak Wildan merasa kagum. Jarang-jarang anak laki-laki bisa menjahit, bahkan se-rapi ini.

“Udah sering gue bikin ginian sama Putri,” sahut Edwin.

Ariel tertawa mendengarnya. “Nggak habis pikir gue sama lo Ed, badan gede tapi masih main boneka?”

“Dipaksa lebih tepatnya!” sewot Edwin.

Melihat Wildan mulai menjahit dengan tenang, Edwin berjalan mundur ke belakang. Ia mengambil kopi yang sudah ia seduh tadi, enak sekali rasanya, sekolah berasa rumah. Bibirnya melengkung ke bawah, saat kopi yang tadi dibuat tinggal ampasnya saja.

“Kampret! Siapa yang udah minum kopi gue woi?” tanya Edwin sebal.

“Gue minum tadi,” ucap Ariel enteng, tangannya malah menjalar kemana-mana menyentuh lekuk tubuh perempuan yang ada dipangkuan-nya.

“Anjing!”

Kesal sudah Edwin sekarang. Tadi, ia harus menahan sabar saat mengajari Wildan memasukan benang ke jarum, sekarang harus mengikhlaskan seseorang yang sudah mengambil kopinya dan malah bermesraan.

Niat ingin membuat kopi yang baru pun, terhenti saat melihat Tito yang senyum-senyum sendiri sambil menatap ponsel. Dari tadi pagi, Edwin memang hanya melihat Tito diam saja, tidak mengganggu seperti biasanya. Bahunya terangkat tidak peduli, lebih baik seperti itu. Tenaganya sudah habis untuk bertanya.

Ariel terus menggoda Jenny yang ada di pangkuan-nya. Begitupun dengan Jenny yang sepertinya sangat senang. Hal itu membuat Siti yang ada di bangku belakang mereka kesal. Dengan kesal Siti melempar gulungan benang ke arah Jenny.

“Paan si!” protes Jenny menoleh saat punggungnya ditipuk.

“Kerjain, jangan pacaran mulu lo. Inget tempat!” suruh Siti galak.

AMBIVALEN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang