Langkah kaki itu memasuki toko bunga dengan mantap. Setiap tahunnya, ia tidak akan pernah lupa hari penting ini. Hari dimana ia menyaksikan kejadian mengerikan dari mata kepalanya sendiri yang membuatnya merasa sangat menyesal, bahkan hingga hari ini. Hari yang merubah kehidupannya 180 derajat.Memang sudah dua tahun berlalu, namun di hatinya masih ada secercah harapan bahwa sahabatnya itu baik-baik saja. Masih sehat dan beraktivitas seperti biasa di luar sana. Ia terus menanamkan hal positif seperti itu dan setia menunggu kabar baik darinya.
Matanya sibuk memilih beberapa bunga yang sangat indah di sekelilingnya. Awalnya, ia tidak merasakan ada hal yang aneh. Namun, ada sesuatu yang ia rasakan dan itu sangat mengganggunya. Ia seperti sedang diamati.
Ia tidak tau apakah ini hanya perasaannya saja atau bagaimana. Sejak ia bertemu dengan laki-laki imut itu, ia merasa tidak tenang. Bisa saja, ia ditatap dan dibuntuti diam-diam tanpa disadari. Entah kenapa, rasa keingintahuannya itu sangat gila hingga membuatnya bergidik ngeri.
Ia mempercepat langkahnya untuk bisa cepat sampai ke rumah yang ia tuju. Untunglah, toko bunga itu berada tidak terlalu jauh dari rumah tujuannya. Setidaknya, ia bisa merasa lebih tenang sedikit saat sampai di rumah tersebut.
Tok! Tok!
"Hai! Tunggu sebentar..."
Suara dari dalam rumah itu menenangkannya. Sudah berapa lama ya, sejak ia bertemu dengan pemilik rumah ini. Mereka sudah jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Namun, jika ada waktu, tentu saja ia menyempatkan diri untuk bertemu.
"Siapa? Oh astaga, Yabu-kun!"
"Konnichiwa, Hikaru-kun!"
Senyumannya membuat matanya melengkung sempurna. Ia sangat sangat merindukan sahabatnya itu. Tidak, lebih tepatnya, ia merindukan masa-masa dimana mereka bermain bersama saat SMA. Jika ia punya mesin waktu, ia ingin terus berada di masa itu selamanya. Tidak perlu memikirkan hal-hal mengerikan dan semacamnya. Namun, tentu saja itu mustahil.
"Ayo masuk! Mizuki sedang di kamar, menekuni hobi barunya. Aku senang, akhirnya ia bisa memulai kehidupannya yang baru. Dan tentu saja, aku juga harus bergerak maju, bukan?"
Yabu menganggukkan kepalanya setuju, "Kau benar. Terkadang untuk memulai sesuatu juga bagian dari kehidupan."
"Apakah aku harus memanggil Mizuki kesini? Rasanya sudah lama kita tidak berbincang bertiga seperti ini. Tunggu yaa!"
Yabu menanggapinya dengan tersenyum. Saat Hikaru menaiki tangga menuju kamar Mizuki, senyumannya memudar. Bertiga... ya?
"Yabu-kun! Udah lama gak ketemu! Gimana kabarmu?"
Yabu kembali memasang senyumnya, "Baik. Syukurlah, kau jauh lebih baik sekarang. Jadi, apa hobi barumu itu?"
"Aku sedang gemar mendesain baju dari kain-kain yang sudah tidak digunakan. Lain kali, kalau mau request dibuatkan baju, panggil aku saja!" Canda Mizuki yang tertawa pelan.
Yabu merasa lebih lega melihat kondisi Mizuki yang jauh lebih baik dari terakhir bertemu. Ia sudah berusaha keras merapikan ulang hidupnya yang sangat berantakan itu hingga sejauh ini. Yabu sendiri bahkan belum sampai di titik yang seperti itu. Padahal, dibanding luka yang dirasakan Mizuki, lukanya tidak berarti apa-apa.
Wajah Mizuki perlahan berubah ketika melihat rangkaian bunga yang Yabu bawa, "Rangkaian bunga itu..."
"Aah, ini. Hari ini adalah hari yang penting bagiku. Kalian... tidak lupa, kan?" Yabu menanyakan hal ini dengan hati-hati. Namun sepertinya, ia tidak disambut dengan baik.
Hikaru menatap Mizuki dengan khawatir, "Mizuki, kau kembali ke kamar saja. Aku-"
"Aku tidak apa-apa, Hii-chan."
"Yabu! Apakah tujuanmu kesini hanya untuk membahas hal itu lagi!? Apakah kau tidak tau seberapa keras usaha Mizuki untuk tidak memikirkannya? Sampai kapan kau terus terjebak di masa kelam itu? Itu sudah dua tahun berlalu, Yabu!"
Hikaru sudah berusaha keras selama ini untuk keluar dari keterpurukannya bersama Mizuki. Mereka sudah membuat kesepakatan bahwa mereka perlu menganggap bahwa kejadian itu sudah berlalu. Kehidupan mereka sudah jauh lebih baik sekarang. Yang harus mereka lakukan adalah terus maju dan membiarkan masa lalu itu berlalu begitu saja.
Dengan mengingat kejadian kelam itu, tidak ada yang tau jika suatu saat pertahanan yang sudah mereka bangun susah payah ini bisa runtuh sekejap mata. Tidak ada yang mau hal seperti itu terjadi begitu saja.
Bentakan dari Hikaru membuat Yabu mengerti kata 'bertiga' yang Hikaru ucapkan sebelum memanggil Mizuki tadi. Namun, ia tidak bisa terima begitu saja. Melupakan kejadian itu dengan melupakan kehadiran Kei itu adalah dua hal yang berbeda.
"Tapi bukan berarti kalian melupakan Kei, kan? Kita itu berempat, bukan bertiga."
Wajah Hikaru memerah seolah menahan kekesalan dan kesedihan di saat yang sama. Mizuki yang sedari tadi terdiam mulai terisak saat mendengar perkataan dari Yabu.
"Lebih baik kau pergi sebelum aku mengusirmu. Aku tidak peduli dengan hari penting yang kau sebutkan itu. Dan aku tidak pernah kenal seseorang yang bernama Kei yang kau sebutkan itu."
Suara isakan Mizuki berubah menjadi tangisan yang sangat pilu. Dalam hatinya, ia sangat sakit mendengarkan kata-kata kejam itu keluar dari saudara kembarnya sendiri. Hikaru melakukan semua itu deminya. Ia sangat ingin memaki saudaranya itu, tapi ia juga tidak kuasa harus mengingat segala hal yang berhubungan dengan Kei. Hatinya sangat sakit dan dilema.
"Kalian sama sekali tidak tau cara berterima kasih. Kalian tidak bisa menjalani kehidupan aman seperti ini tanpa Kei!"
Yabu melangkahkan kakinya meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang kesal sekaligus tak percaya. Ia tidak menyangka kata-kata sekejam itu bisa keluar dari mulut Hikaru. Kenapa dia harus bersikap sampai sejauh itu?
Kakinya melangkah perlahan menuju sebuah taman. Pohon-pohon dan ayunan di taman ini adalah saksi bisu dari kejadian mengerikan dua tahun lalu. Setiap adegan dalam kejadian itu masih terekam jelas di otaknya. Bagaimana dan apa yang terjadi selanjutnya seolah ia dikutuk untuk terus mengingatnya hingga akhir hidupnya. Ia dikutuk, karena tidak bisa apa-apa. Dikutuk, karena ia hanya bisa terdiam saat kejadian itu terjadi.
Pipinya memanas saat setetes air mulai mengalir melewatinya. Bibirnya bergetar menahan isak tangis keluar dari mulutnya. Ia berjongkok dan meletakkan rangkaian bunga itu di tanah di dekatnya.
Ia ingin berteriak.
Ia ingin menangis seperti orang gila.
Ia ingin melihat sosoknya dalam keadaan baik-baik saja.Apakah itu mungkin? Setelah melihat kejadian itu, apakah masih mungkin melihatnya dalam keadaan yang baik-baik saja?
.
.
.
"Tentu saja. Kei masih ada. Dia hanya hilang."
-Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown Boy
FanfictionTidak ada seorangpun yang mengingat laki-laki itu. Asal-usulnya. Keluarganya. Tempat tinggalnya. Sekolahnya, bahkan teman-temannya. Mereka hanya tau nama dan wajahnya yang tertera dalam sebuah kertas "Remaja Hilang" di papan pengumuman samping jala...