"Bagaimana kepalamu? Apakah masih sakit?" Tanya seorang gadis berparas manis kepada laki-laki yang setia berbaring di kasurnya.Laki-laki itu tersenyum sebagai tanggapannya. Matanya yang memang layu menatap gadis itu seraya berkata bahwa dirinya merasa jauh lebih baik sekarang.
Beberapa perawat dan seseorang berjas putih layaknya dokter selalu memeriksa keadaannya secara rutin. Dirinya pun kaget dengan perlakuan seperti ini, karena ia pikir ia akan diperlakukan secara kejam begitu dirinya diculik. Namun kenyataannya, mereka malah merawat lukanya dan memastikan bahwa kondisinya semakin membaik.
Sebenarnya, siapa mereka ini? Kenapa mereka harus repot-repot merawatnya seperti ini? Apa sebenarnya tujuan mereka menculiknya?
"Baguslah, kalau semakin membaik," ucap wanita itu lega.
Sekarang sudah terhitung sebulan setelah dirinya diculik. Sahabat kecilnya itu selalu menemani dan mengajaknya berbicara untuk membunuh kebosanan. Jujur, ia senang. Ia bisa dipertemukan kembali dengan sahabat kecilnya, meskipun harus disaat yang bisa dibilang sangat buruk ini.
Namun, dengan perlakuan tak terduga dari para 'penculik' dan kehadiran Mei disini membuat dirinya merasa sedikit aman. Aneh memang. Tetapi, kondisi seperti ini jauh lebih baik daripada kondisi di rumahnya sendiri.
Tidak ada lagi teriakan dan serbuan caci maki dari orang tuanya sendiri. Kei tidak perlu lagi menelan bulat-bulat makian setajam pedang itu.
Disini terasa damai dan sunyi. Sekaligus sepi.
Poin minusnya adalah kerinduan Kei kepada para sahabatnya di sekolah. Apakah mereka mengkhawatirkannya? Apakah mereka baik-baik saja disana tanpa ada sosoknya di antara mereka?
Kei harap, mereka tidak menyalahkan diri mereka sendiri atas hal ini. Ini murni dari keputusannya sejak awal. Mereka sudah bersikeras untuk mencegahnya melakukan hal ini. Mereka sama sekali tidak salah.
"Lebih baik, kau kembali beristirahat. Kalau besok kepalamu sudah benar-benar pulih, pihak dokter akan melepaskan perbannya dan terus mengontrol kesehatanmu."
Kei terkekeh, "Kau ini seperti dokter pribadiku saja. Kenapa tiba-tiba formal gini, sih?"
Kekehannya terhenti ketika menyadari ekspresi wajah yang tak biasa dari lawan bicaranya. Tangan gadis itu bergerak gelisah. Matanya berusaha menghindari kontak langsung darinya. Kei sadar, ada yang tidak beres dari Mei.
"Hei, ada apa?"
"A-aku berharap kau tidak perlu sembuh," gumamnya begitu pelan.
"Apa yang kau bicarakan?"
"Bisakah kau pura-pura sakit lagi? Misalkan, kau mengatakan bahwa kepalamu terbentur saat jatuh di kamar mandi atau semacamnya? A-aku tidak mau kau menderita lebih dari ini..."
Mei berusaha keras untuk tidak terisak. Jujur, ia sangat frustasi. Ia tau konsekuensi setelah Kei dinyatakan sembuh secara total akan seperti apa. Neraka baru saja akan dimulai ketika hal itu terjadi.
Selama ini, ia selalu mencoba untuk menjauhkan diri dari hal keji yang ayahnya lakukan. Sebisa mungkin, ia tidak ingin melibatkan diri dalam 'eksperimen' ayahnya itu. Tetapi kali ini, ia tidak bisa menolak.
Begitu ayahnya memerintahkannya untuk menemani sahabat kecilnya itu dalam 'eksperimennya', ia sangat ingin berkhianat. Di poin itu, Mei menyadari bahwa orang yang paling ia benci di dunia ini adalah ayahnya sendiri.
Sekarang, ia sudah terlanjur campur tangan. Tak ada jalan untuk kembali. Begitu Kei dinyatakan sembuh, disitulah Mei merasa menjadi orang paling kejam sedunia. Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Kei nantinya akan menderita dengan sejumlah suntikan yang akan merusak lengan putihnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown Boy
FanfictionTidak ada seorangpun yang mengingat laki-laki itu. Asal-usulnya. Keluarganya. Tempat tinggalnya. Sekolahnya, bahkan teman-temannya. Mereka hanya tau nama dan wajahnya yang tertera dalam sebuah kertas "Remaja Hilang" di papan pengumuman samping jala...