Satu

51 9 1
                                        

Siapa di sini yang seumuran denganku? Apa kalian juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini? Apa kalian juga dapat desakan untuk menikah setiap harinya?

Jujur, aku lelah. Lelah menghadapi sikap Mama yang terus-terusan memaksaku untuk menemukan sosok laki-laki idamannya-yang mau mengajakku serius.

Memangnya hubungan semudah itu, ya? Aku adalah tipe orang yang harus nyaman dulu dalam memulai sebuah hubungan, dan itu tidak mungkin terjadi dalam sehari atau dua hari, kan?

Mama sering kali menawarkan anak dari teman-teman Mama yang dirasa cukup pas untuk dipasangkan denganku, berulang kali aku mengalami proses perjodohan.

Aku ingin protes tapi aku bisa apa? Mama selalu mengatakan, "Selagi Mama masih sehat, Ki. Kamu nggak mau ya bahagiain Mama?"

Anak mana yang tidak ingin membahagiakan orang tuanya? Semua anak pasti menginginkan orang tuanya bahagia.

Aku anak kedua dalam rumah ini, kakak ku adalah seorang laki-laki. Karena Mas Aaron sudah menikah, jadi dia tidak harus mengalami hal-hal sepertiku. Apalagi Mas-ku itu sudah tidak tinggal di rumah ini setelah menikah.

•••

"Ki, Mama mau kenalin kamu sama anaknya Tante Sonia."

Mama berbicara dengan mata yang berbinar, sepertinya senang sekali mendapatkan target selanjutnya.

"Hm." Aku hanya bergumam pelan, mungkin hanya aku yang mendengarnya.

"Mama udah kasih nomor HP kamu."

Lihat? Mama sudah selangkah di depan. Tidak perlu meminta ijin aku lagi, semua kendali ada di tangan Mama.

"Iya."

"Ingat ya, Ki. Kamu itu udah dewasa, umur yang pas buat menikah. Jangan pilih-pilih."

Mama tidak paham, aku mau mencari yang baik. Tentu aku akan selektif dalam memilih pasangan seumur hidupku itu.

"Iya, Ma."

Mama masih dalam mode kultum tentang pernikahan, aku lelah, aku jengah, aku bosan. Tapi percuma, Mama tidak akan sadar.

"Ya udah, Mama mau pergi dulu. Sebentar lagi Mas kamu datang." Mama memandang jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, pakaiannya sudah rapi, entah mau ke mana Mama pergi. Yang jelas Mama selalu sibuk setiap harinya, mungkin untuk memasarkan ku? Entahlah.

•••

Aku senang mendengar bahwa Mas Aaron akan datang, karena aku selalu kesepian sejak dia menikah. Bahkan, datang ke rumah pun hanya seminggu dua kali. Karena pada dasarnya Mas Aaron memang sibuk bekerja.

Untung saja kakak iparku pengertiannya melampaui batas wajar ketika menyangkut aku, bahkan kakak iparku pun sering memberiku perhatian dan kasih sayangnya seperti yang Mas Aaron lakukan padaku, aku merasa punya kakak perempuan kalau sudah seperti itu.

Dan benar saja, sepuluh menit setelah kepergian Mama bel rumah berbunyi. Mas Aaron selalu menganggap dirinya sendiri tamu kalau datang ke rumah.

"Sebentaaaaar." Aku berteriak sambil berlari kecil ke arah pintu utama, karena bel sudah berbunyi tidak wajar.

Setelah aku membukakan pintu, aku tersenyum, karena aku senang sekali mendapati sosok pria yang paling aku sayang setelah Ayah, yang wajahnya sangat mirip denganku-dalam versi yang berbeda-ada di hadapanku.

Tapi setelahnya aku memasang wajah yang datar, aku kesal mengingat bel berbunyi sangat berisik tadi.

"Lama banget buka pintunya. Ngapain kamu? Tidur?" Mas Aaron masuk setelah mengacak rambutku.

Aku merapikannya menggunakan jari tanganku yang ku anggap sisir, "Lagian tinggal masuk aja ribet banget."

"Mas kan tamu. Mana bisa main nyelonong masuk."

"Iya deh iya. Mau minum apa, Mas? Biar aku buatin."

"Nggak usah, bisa ambil sendiri nanti."

"Tadi bilangnya tamu."

"Tamu di depan pintu doang, kalau udah di dalam, ini rumah Mas juga." Aku iyakan saja ucapan Mas Aaron, karena aku tahu kalau memberi perlawanan tidak akan ketemu ujungnya. Mas Aaron ini pintar sekali berdebat, makanya pengacara adalah profesi yang paling pas untuknya.

Aku membuang napas berat setelah mendudukkan diri di sebelah Mas Aaron.

"Kenapa? Di jodoh-jodohin sama Mama lagi?"

Aku mengangguk, "Capek tau, nggak."

"Mama mau yang terbaik buat kamu."

"Tapi nggak gini juga."

"Turutin aja, siapa tau kalau awalnya terpaksa malah jadi serius nanti." Mas Aaron selalu berhasil membuatku bungkam. "Jangan pilih-pilih." lanjutnya

"Mas-" Aku menekan suaraku, aku ingin protes.

"Udah. Percaya sama Mas."

Percaya apa?

Selain Mama, ternyata Mas Aaron juga tidak asik. Dia tidak mengerti dengan suara hatiku yang selalu menjerit minta dibebaskan. Mungkin karena Mas Aaron adalah laki-laki, jadi dia kurang peka dengan perasaan perempuan.

Padahal dulu sekali, Mas Aaron selalu jadi orang pertama yang mengerti aku. Tapi sekarang apa? Mas ku ini mulai berubah.





See u next story.

•••••

Sebastian Aaron

Sebastian Aaron

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
She Was My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang