Sejak kejadian di rumah sakit waktu itu—saat Alan yang tiba-tiba melamarku dengan memberikan sebuah cincin sebagai bentuk pembuktian bahwa dia benar-benar serius. Tidak ada yang berubah dari Alan, dia tetap memperlakukan aku seperti biasa. Hanya aku saja yang merasa canggung saat berada di dekatnya.
Bukan hanya padaku, pada anakku pun Alan selalu bersikap hangat.
Setiap hari dia tidak pernah absen untuk berkunjung ke rumah, sekedar hanya untuk memastikan keadaanku dan anakku baik-baik saja.
Karena aku melahirkan secara sesar, seisi rumah jadi sibuk melayaniku. Aku tidak dibiarkan melakukan pekerjaan berat, bahkan sampai saat ini aku masih di haruskan memakai kursi roda, walaupun kadang tanpa sepengetahuan mereka—orang-orang over protective itu—aku turun dari kursi roda untuk sekedar berjalan-jalan singkat antara kamar-ruang tamu-dapur-kamar mandi-repeat.
Kalau ketahuan turun dari kursi roda, seisi rumah akan gempar. Aku akan mendengar banyak ceramah panjang dari mereka. Padahal aku lelah seharian berada di kursi roda. Aku kan masih bisa berjalan walau tertatih, tapi kekuatan mereka saat bersatu padu itu tidak bisa aku lawan.
•••
Hari ini umur anakku sudah memasuki usia dua bulan, tidak terasa sama sekali. Tapi, sampai sekarang aku masih belum memutuskan nama apa yang akan aku beri padanya. Entahlah, rasanya aku masih menunggu seseorang untuk membantuku mencarikan nama yang cocok untuknya.
Selama dua bulan ini juga, Alan tidak pernah mengungkit-ungkit lagi tentang perasaannya. Tentang rencananya yang ingin menikahiku. Apa Alan sudah sadar bahwa perasaannya selama ini salah dan hanya buang-buang waktu? Tapi, Alan masih setiap hari datang ke rumah. Itu artinya apa?
Kebiasaan baru setelah memiliki anak, aku menjadi rajin duduk di halaman belakang sambil melihat anakku yang terlelap dalam stroller nya. Berjemur setiap pagi sekitar lima sampai sepuluh menit, lalu sore hari aku akan berjalan di sekitaran komplek rumah, biasanya aku di temani Sekala.
Para sepupu semakin sering menginap di rumah, kata mereka di rumahku semakin seru karena ada mainan baru. Dan apa yang di katakan Sekala dulu terbukti, anakku kadang di ajak Gala bermain dengan chucky kesayangannya itu—tanpa sepengetahuanku.
Aku selalu protes dengan Gala, aku tidak mau anakku memiliki hobby yang sama sepertinya. Tapi Gala, selalu menganggap enteng omelanku, dia tidak pernah benar brnar mendengarkanku. Ucapan dan perbuatannya selalu tidak sinkron. Hari ini dia bilang nggak akan ngajak main sama chucky lagi, tapi besoknya aku melihat dia menjaga anakku dengan bantuan chucky lucunya itu. Iya lucu, bagi Gala.
Dan tentang keputusanku untuk tidak memberitahu mantan suami dan keluarganya masih tetap aku lakukan. Hingga detik ini pun rasanya aku masih tidak rela kalau keluarga mantan suamiku tahu, bahwa aku telah melahirkan pewaris mereka. Tidak tahu nanti, bisa jadi aku berubah pikiran. Yang jelas saat ini aku masih kekeh untuk menutupi anakku dari mereka semua.
Ini hukuman yang tepat, kan? Untuk dia yang sudah mencampakkan kami berdua? Aku tahu ini salah, menutupi kebenaran. Walau bagaimanapun, dia tetap ayah biologis anakku. Kecewaku masih belum sirna sepertinya. Biarlah lukaku sembuh dulu seiring berjalannya waktu.
•••
Ponselku berdering ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi, aku langsung bergegas mengambilnya di atas bufet di samping tempat tidurku.
Alan yang meneleponku.
"Hallo?"
"Ki?"
"Iya, Lan. Kenapa?"
"Hari ini ada rencana mau ke mana?"
Aku bergumam sesaat, dan berpikir, "Kayaknya nggak ada, deh. Kenapa?"
"Jalan, yuk?"
"Jalan? Ke mana?"
"Terserah kamu. Baby juga udah lama kan nggak jalan keluar?"
Pada akhirnya kami semua memutuskan sementara memanggil anak semata wayangku dengan sebutan Baby, sampai umur dua bulan hampir tiga bulan pun aku masih belum memiliki nama yang cocok untuknya.
"Iya, sih. Tapi—"
"Ya udah, siap-siap, ya? Aku udah di jalan. Sepuluh menit lagi sampai. Oke? Bye. See you."
Aku menghela napas panjang saat panggilan terputus. Kebiasaan Alan, mengambil keputusan tanpa persetujuan.
Namun sekarang, langkah kakiku tertuju pada walk in closet. Mengganti pakaian yang lebih layak, karena saat ini aku sedang memakai daster ibu menyusui, pakaian andalanku selama dua bulan terakhir.
Baby sedang berada di teras bersama Papa. Tadi Mama memberinya susu, karena umur dua bulan Baby sudah mulai aku berikan susu formula untuk selingan dengan ASI. Untuk jaga jaga saja, jika aku sedang meninggalkannya dirumah dengan Mama.
Aku melangkah ke arah teras rumah, untuk menghampiri Papa. "Pa?" Ternyata Papa dan Baby sudah berada di gazebo.
"Iya, Sayang." Papa menoleh sekilas, lalu tatapannya kembali ke arah Baby. Hobby baru Papa, memandangi Baby selama berjam-jam.
"Aku mau jalan."
"Oh ya? Sama siapa?" Pandangan Papa masih belum teralihkan.
"Sama Alan."
"Baby ikut?" Akhirnya Papa menatapku.
"Ikut. Nggak mungkin kan kami cuma pergi berdua?"
"Ya, udah. Jangan lama-lama, ya?"
"Kenapa memangnya?"
"Papa belum puas main sama Baby."
Aku terkekeh, ternyata Papa bucin sama cucunya sendiri. "Sekarang aku nggak ada apa-apa nya ya di banding Baby." ujarku sarkas.
Papa langsung menoleh dengan gerakan cepat, "Kata siapa? Kamu tetap Princess-nya Papa, kok. Kebanggaan Papa."
"Terus Baby?"
"Baby itu cahaya hidup Papa." Mata Papa lekat menatap Baby. Tiba-tiba aku melow.
"Kamu tau, Kiraz? Kamu itu kebahagiaan buat Papa, Mama, dan Mas Aaron. Dulu Mama pernah di diagnosa nggak akan bisa punya anak lagi, padahal waktu itu Mama mau banget nambah anak. Mama sempat stres, karena nggak bisa menerima kalau nggak akan bisa punya anak lagi. Papa berulang kali meyakinkan Mama, suatu saat Mama akan hamil kalau Tuhan menghendaki. Sampai pada akhirnya, setelah lima tahun Mama di diagnosa itu ternyata sebuah mukjizat hadir, Mama bisa hamil. Dan—" Aku tidak sadar Papa sudah menangis. "Kamu adalah orangnya, Kiraz. Sejak kehadiran kamu, rumah ini seperti di penuhi berkah, penuh kebahagiaan. Mama dan Papa nggak berhenti mengucap syukur karena masih di kasih kesempatan untuk punya anak lagi."
Papa menggenggam tanganku, "Kamu berharga, Kiraz. Lebih dari apa pun." Papa mengusap kedua sudut matanya yang sudah basah. "Kamu harus bahagia. Papa nggak akan biarkan siapa pun menyakiti kamu lagi. Untuk kejadian yang sudah lalu—" Papa menghela napas dan menunduk, "Maafkan, Papa."
"Papa." Aku balas menggenggam tangan Papa.
"Papa belum bisa jadi Papa yang baik buat kamu, Kiraz."
"Pa, udah." Aku tidak tangan melihat Papa yang seperti ini di hadapanku.
"Maafkan, Papa."
"Nggak, Pa. Papa nggak salah apa-apa. Ini semua takdir aku, Pa. Aku nggak menyesal, karena dari kejadian itu Baby hadir di antara kita. Papa juga bahagia kan dengan kehadiran Baby?" Aku tersenyum menatap Papa, dan air mata yang sedari tadi aku tahan mati-matian akhirnya jatuh juga. "Papa adalah Papa yang terhebat. Aku beruntung jadi anak Papa."
Kami berpelukkan, itu adalah ungkapan perasaan kami dari hati yang paling dalam. Sejak kejadian itu, sejak aku hamil dan bercerai, Papa jadi lebih banyak diam. Berbicara selalu hati-hati padaku, memperlakukanku dengan baik, menuruti semua keinginanku, sekecil apa pun itu. Aku sempat heran dengan tingkah Papa yang tidak biasa. Akhirnya hari ini aku tahu apa alasan dari perubahan sikap Papa padaku waktu itu.
Papa merasa bersalah.
•••••

KAMU SEDANG MEMBACA
She Was My First Love
RomanceBagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...