Tinggal tiga hari lagi dari Hari Perkiraan Lahiran. Aku semakin sulit untuk bergerak, kaki ku makin bengkak, napasku juga sudah mulai terasa berat. Makin malas untuk beraktivitas, karena aku jadi gampang lelah. Bawaannya kalau sudah rebahan, pasti ujung ujungnya aku ketiduran.
Dari dua hari yang lalu, Pragia sahabatku menginap di rumah. Katanya dia juga tidak mau ketinggalan momen detik-detik jelang aku melahirkan. Pragia bahkan tidur bersamaku, padahal aku sudah memperingatkan dia kalau tiap malam aku pasti akan selalu bergerak untuk mencari posisi nyaman. Tapi dia tidak peduli, tentu saja. Siapa sih yang lebih sabar menghadapi aku selain Pragia?
Setiap malam Pragia selalu mengolesi kakiku yang bengkak dengan-entah apa itu aku kurang tahu, semacam bumbu dapur yang sudah dihaluskan. Dia mengolesinya ke kaki ku untuk mengurangi bengkaknya. Pekerjaan Sekala-memijat kakiku-diambil alih oleh Pragia.
Aku sangat beruntung memiliki Pragia dalam hidupku. Rasanya seluruh dunia bersamaku kalau ada Pragia di sampingku. Pragia yang selalu meluangkan waktunya untukku, selalu ada jika aku perlukan. Pokoknya segala yang baik ada dalam diri Pragia. Pembawaannya yang positif selalu membuatku merasa nyaman saat berada di dekatnya.
"Ki, tadi Mama cerita, katanya mamanya Alan ngelamar lo, ya?"
"Bukan ngelamar juga sih, Gi. Mamanya cuma nanya mau nggak nikah sama Alan, gitu."
"Apa bedanya?"
"Ya, beda lah. Ngelamar kan di kasih cincin."
"Tapi kan intinya sama, jadi nggak masalah."
"Menurut lo gimana, Gi?" Sesi curhat sepertinya akan dimulai.
"Kok nanya gue?" Aku tidak percaya Pragia malah balik bertanya. "Menurut lo aja deh, gimana?" lanjutnya.
"Malah nanya balik. Kebiasaan!" Aku merebahkan diriku sepenuhnya dan membelakanginya, sudah malas berdebat panjang lebar dengan Pragia. Dia tuh, kebiasaan. Kalau di tanya apa jawabnya apa.
Pragia terkekeh, "Ki, dengar. Mungkin Alan memang jodoh sama lo."
Aku kembali berbalik untuk menatap Pragia, "What do you mean?"
"Gini. Alan udah dari dulu kan suka sama lo? Terus setelah sepuluh tahun kalian pisah dia datang lagi buat nemuin lo. Dan bilang dia mau nikah sama lo."
"Mamanya Gi yang bilang."
"Iya, iya. Sama aja. Lo nggak mikir kalau kedatangan Alan itu buat melengkapi hidup lo ini?"
Aku mengernyit, tidak tahu arah pembicaraan Pragia.
"Nih, ya. Mamanya Alan aja bisa bilang kayak gitu, udah bisa dipastikan kalau Alan juga bisa dengan mudah bilang mau nikah sama lo, kan?"
Aku menggeleng, "Nggak, Gi. Mungkin Alan cuma kasian sama gue."
"Ki? Alan nggak sejahat itu. Dia itu tulus, lo juga tau, kan? Nggak ada salahnya lo buka hati lo buat dia."
"Tapi, Gi. Gue akan terlihat egois nggak, sih? Membiarkan Alan bertanggung jawab akan nasib gue yang kayak gini? Gue ngerasa jahat aja gitu menerima dia dengan keadaan gue yang nggak sempurna ini."
"Kata siapa lo nggak sempurna? Lo punya dua kaki, dua tangan, jari lengkap sepuluh-"
"Gi? Lo tau bukan itu maksud gue."
"Dengar. Mamanya Alan aja bisa nerima ketidaksempurnaan yang lo bilang barusan. Lo nggak mau kasih kesempatan buat diri lo sendiri?"
"Untuk?"
"Bahagia."
"Gue bahagia, kok."
"Iya, lo bahagia. Tapi merasa kosong, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was My First Love
רומנטיקהBagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...