Delapan

21 5 0
                                    

Kandunganku sudah berusia enam bulan, perutku sudah terlihat membesar. Setelah kepergianku dari rumah Gian, sebulan kemudian kami sepakat untuk berpisah. Miris memang. Di saat aku ingin mengatakan bahwa aku hamil, aku malah mengajukan surat cerai ke pengadilan—atas permintaan Gian. Karena katanya, dia ingin menjaga martabatku. Bulshit!

Mommy berkali-kali meminta maaf padaku, karena Mommy pun tidak bisa membantah ataupun membujuk Gian untuk tetap tinggal. Dan Mama, setiap hari selalu menangis dan merasa bersalah padaku, karena Mama pikir dirinya lah yang telah membuat hidupku menjadi mengenaskan seperti ini.

Mama ingin marah pada Gian, tapi aku melarangnya. Aku tidak mau memperpanjang masalah, ataupun berhubungan dengannya lagi. Jadi, aku memutuskan untuk tetap menyembunyikan kehamilanku ini pada Gian. Mama setuju. Mama pikir ini adalah hukuman yang setimpal untuk Gian. Dia pergi tanpa tahu bahwa dia telah meniggalkan pewaris padaku.

Aku berharap semoga aku dan anakku kelak tidak pernah bertemu dengannya lagi.

•••

Weekend seperti ini biasanya rumahku selalu ramai dengan kedatangan beberapa sepupuku. Rumahku terletak di pusat kota, itulah alasan kenapa para sepupu senang sekali menghabiskan akhir pekannya di rumahku.

Ada Mas Byan—si gitaris band—yang biasanya akan datang lebih cepat daripada yang lain. Karena, setiap malam sabtu Mas Byan selalu tampil di beberapa kafe di Jakarta bersama teman kuliahnya, Kak Altar—si keyboardis.

Lalu, ada Gala. Dia yang paling betah tinggal di rumahku. Karena, katanya Mama selalu memanjakan dia kalau dia berada di sini. Keahliannya adalah tidur. Mungkin kalau di tempat tinggalnya, Ibu akan mengguncang rumah jika melihat Gala tidur terlalu lama. Tapi di sini, Mama seolah memberikan kebebasan pada Gala untuk menyalurkan bakatnya berhibernasi.

Kemudian, Eder. Dia yang biasanya selalu rajin membantu Papa dalam hal apapun. Dia cukup berguna di saat-saat akhir pekan seperti ini. Karena Papa selalu bercocok tanam di hari libur. Sebenarnya, sih, dia itu altet basket. Kadang, dia datang dan menginap saat ada turnamen di kota. Tapi, selama akhir pekan pun dia tidak pernah absen untuk datang.

Terkahir, Sekala. Dia yang paling dekat denganku. Saat mengetahui aku hamil dan ditinggalkan oleh suamiku, dia menangis berhari-hari, katanya dia juga terluka melihat sepupunya diperlakukan seperti ini. Dia juga memutuskan untuk menjadi musuh nomor satu Gian, padahal dulu dia sangat menyukai Gian. Entahlah, dia memang sangat mengerti aku.

Perutku yang mulai besar ini kadang membuatku kesulitan untuk beraktivitas. Beruntung para sepupuku hari ini datang, aku jadi bisa memanfaatkan keberadaan mereka.

Beberapa hari ini aku mengalami morning sickness, kata Mama itu hal yang biasa. Tapi Sekala, merasa itu tidak benar. Berulang kali dia menunjukkan wajah yang meringis saat melihat aku memuntahkan sesuatu di kamar mandi. Dia ngeri sendiri melihat aku yang terlihat lemas. "Sakit, Ki?"

"Nggak. Cuman capek aja bolak-balik kamar mandi."

"Mau gue pijitin?"

"Boleh."

Ingat, kan, kalau Sekala itu yang paling mengerti aku? Padahal dia cowok, tapi kepekaannya melebihi cewek. Beruntung sekalinya aku, ya, punya sepupu macam Sekala.

•••

Malam ini aku merasa sangat lapar, semenjak hamil aku mudah sekali lapar. Berat badanku bahkan sampai naik hampir 10kg, Mas Aaron semakin senang menjahiliku. "Astaga, Ceriii. Bisa-bisanya makin gemesin gini." Jangan lupa tangannya yang mencubit-cubit kedua pipiku.

"Mas, jangan sampai anak aku mirip sama Mas, ya!!!!" Aku takut jika membenci Mas Aaron saat hamil, wajah anakku akan mirip dengannya. Kasian Mbak Anya, ada banyak wajah suaminya di dalam keluarga ini.

She Was My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang