Hari ini, aku dan Alan pergi untuk mendaftarkan Nari pada salah satu sekolah terbaik yang dekat dengan tempat tinggal kami. Umurnya sudah cukup untuk masuk TK. Nari sangat antusias ketika tahu, di sana dia akan menemukan anak anak lain yang seusia dengannya. Padahal, aku ingin sekali Nari satu sekolah dengan anaknya Mas Aaron. Tapi, melihat tempatnya yang jauh dari rumah, membuatku berpikir ulang.
Ketika tiba giliran kami yang berhadapan dengan salah satu perwakilan sekolah, aku merasa sedikit gugup. Berada di fase ini sungguh rasanya seperti mimpi. Nari sudah tumbuh sebesar ini, tidak menyangka waktu cepat sekali berjalan.
Nari kami tinggalkan di luar, bermain bersama anak anak lain dalam pengawasan guru guru di sana. Itu salah satu bentuk pengenalan awal tentang lingkungan sekolah dan orang orang baru yang kelak akan menjadi teman selama kurang lebih dua tahun kedepan.
"Selamat siang, Bapak, Ibu." wanita yang duduk di hadapan kami tersenyum dengan ramah.
"Selamat siang," jawab kami bersamaan.
"Jadi, anak keberapa yang Bapak dan Ibu daftarkan di sekolah ini?"
"Ini anak pertama kami, Bu."
"Oh, wah." tatapan wanita itu terlihat berbinar kagum. "Rupanya Bapak dan Ibu orang tua baru, ya? Bagaimana rasanya? Akhirnya anak Bapak dan Ibu sudah sampai di tahap ini?"
"Saya cukup terharu, Bu. Nggak menyangka sama sekali, anak kecil kami sudah mau sekolah."
Wanita itu tersenyum sembari mengangguk angguk. "Bagaimana dengan Bapak? Apakah ada kekhawatiran yang dirasakan?"
Alan menggeleng, "Melihat lingkungan sekolah yang begitu nyaman, rasanya saya tidak perlu mengkhawatirkan apa apa."
"Kami akan memberikan yang terbaik untuk anak Bapak dan Ibu, semoga apa yang kami berikan dapat memberi kepuasan bagi Bapak dan Ibu." Wanita itu terlihat menuliskan sesuatu di dalam sebuah buku besar. "Siapa namanya?"
"Sanari Banafsha Bimantara." jawabku.
"Cantik sekali namanya."
"Boleh sebutkan nama kedua orang tuanya?"
Aku mulai kebingungan. Nama siapa yang akan aku katakan pada pihak sekolah? Aku harus mengatakan yang sebenarnya, kan? Tapi aku masih belum terima. Saat aku menatap Alan yang ternyata juga sedang menatapku, dia mengangguk seolah tahu apa yang sedang aku khawatirkan.
Dengan sedikit gugup, aku menjawab. "Nama maminya Kiraz Alnaar. Nama papinya ... Alan Bimantara."
•••
Entah apa yang aku pikirkan. Kenapa aku malah menyebutkan nama Alan? Sepanjang jalan pulang suasana dalam mobil hening. Alan tidak mengatakan apa apa setelah kami selesai dengan pendaftaran. Tapi aku tahu, sesekali dia melirikku untuk memastikan aku baik baik saja.
Nari tertidur di pangkuanku, rupanya dia kelelahan karena terlalu aktif bermain bersama teman teman baru. Ditambah keheningan yang terjadi di antara kami, membuat Nari nyeyak sekali dalam tidurnya. Aku bahkan hampir ikut ikutan tertidur saking heningnya. Namun, aku mengurungkan niat sebab perasaanku mulai tidak karuan.
Sesampainya di rumah, aku meminta bantuan salah satu ART untuk menggendong Nari dan membawanya ke kamar. Aku harus membawa beberapa perlengkapan Nari yang masih berserakan di dalam mobil. Alan terlihat bergerak dengan canggung, mungkin dia ingin aku yang berbicara lebih dulu. Tapi, melihat aku yang hanya diam saja membuat Alan juga turut membisu. Tidak mengeluarkan suara sama sekali, sampai akhirnya kami sudah berada di dalam kamar. "Mi, ada yang mau diceritakan?" tanyaa Alan setelah pintu kamar terkunci.
Aku tahu arahnya akan ke mana, aku juga sadar sedari tadi Alan begitu sulit menahan rasa keingintahuannya terhadap sikapku tadi. Aku belum siap untuk bercerita, "Nggak sekarang, Pi." akhirnya aku menolak untuk diajak bicara oleh Alan. Aku meninggalkannya yang masih terdiam di tempat, sedang aku bergegas masuk kamar mandi untuk membersihkan diri, dan mencoba menjernihkan pikiranku.
•••
Menjelang tidur, aku dan Alan biasanya akan berbicara dari hati ke hati. Menceritakan tentang kejadian yang dialami seharian ini, tentang masa lalu yang mungkin saja masih menarik untuk dibahas, dan membahas masa depan seperti apa yang kami harapkan kelak. Salah satu kebiasaan yang tidak boleh kami lewatkan.
Namun malam ini, karena kejadian tadi siang, suasananya sedikit berbeda. Kami sudah sama sama berbaring di ranjang, dengan posisi Alan yang membelakangiku. Aku merasa ini tidak benar, tidak seharusnya aku membuat keadaan menjadi tidak nyaman. "Pi," panggilku, untuk memastikan Alan masih terjaga.
"Hm," jawabnya tanpa berbalik.
"Kenapa, ya? Mami masih belum terima kalau dia ayahnya Nari." Aku sengaja tidak menyebutkan nama, aku tidak ingin menyinggung perasaan Alan. "Dia nggak pernah menjaga Nari, dia nggak pernah membesarkan Nari dengan kasih sayang, dia juga nggak pernah hadir dalam hidup Nari."
Alan berbalik, mulai menatapku dengan intens. "Bukannya Mami yang memilih nggak mau memberitahu semua tentang Nari sama dia?" Benar, itu keputusanku. "Mi, biar bagaimanapun dia tetap ayah kandung Nari. Suatu saat Nari akan menikah, dan dia butuh ayah kandungnya. Mami nggak boleh egosi kayak gini." tangan Alan bergerak merangkul, mendekatkan tubuhku dengan tubuhnya.
"Masih sulit, Pi. Kayaknya Mami masih perlu waktu untuk terbiasa dan menerima keadaan."
"It's okay. Nggak semuanya bisa langsung diterima, beberapa hal memang harus memerlukan sedikit banyak waktu. Nggak apa apa, Mi. Papi selalu dukung apapun keputusan Mami. Tapi ingat? Memisahkan Nari dengan ayah kandungnya bukan pilihan yang tepat."
•••••
![](https://img.wattpad.com/cover/300163881-288-k413842.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was My First Love
RomanceBagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...