Enam

16 4 0
                                    

Aku baru saja pulang dari rumah Mama. Karena, hari ini adalah hari ulang tahunnya Mas Aaron. Kami selalu meluangkan waktu untuk merayakan setiap hari ulang tahun keluarga kecil kami.

Kata Papa, itu adalah satu kesempatan untuk kami semua berkumpul, bercerita tentang kehidupan masing-masing, juga membuat komunikasi di antara kami tidak terputus.

Papa dan Mama adalah orang tua yang harmonis. Tidak heran, sih, kalau Papa selalu berusaha mengumpulkan anak-anaknya jika ada waktu senggang. Apalagi ketika Mas Aaron yang sudah berkeluarga dan tinggal terpisah dari kami. Membuat Papa selalu menyempatkan sekecil apapun waktu luang yang dia miliki. Ditambah sekarang aku juga sudah menikah, rumah yang ditinggali Papa dan Mama—aku yakin terasa sangat sepi. Jadi, ini adalah kesempatan baik bagi Papa dan kami semua untuk kembali berkumpul. Tapi, sayangnya Gian tidak bisa ikut kali ini.

"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday, happy birthday to you." Kami semua bertepuk tangan sesaat setelah selesai menyanyikan lagu untuk Mas Aaron. Terdengar kekanak-kanakan tidak lagu ulang tahun itu diberikan untuk Mas Aaron yang usianya bahkan sudah memasuki kepala tiga?

Aku kadang ngeri sendiri ketika melihat Papa dan Mama sangat antusias saat merayakan ulang tahun anak-anaknya. Mereka pikir, kami berdua—mungkin masih seorang anak kecil. Belum dewasa. Dan belum menikah.

Tapi, yang anehnya lagi, kami berdua selalu menunggu-nunggu momen ini setiap tahunnya. Kami berdua setuju-setuju saja diperlakukan seperti anak kecil. Jadi, di sini siapa yang pantas disebut aneh?

"Mas. Ternyata sudah tiga puluh satu tahun, ya." Aku menahan senyum saat Mas Aaron menatapku dengan tatapan sinis. Dia masih aja tidak suka kalau umurnya disebutkan di hari ulang tahunnya.

"Mau hadiah apa, Mas?" Mata Mama berbinar saat mengatakannya. Benar, kan? Kami berdua masih anak kecil di mata Mama.

"Ya ampun, Ma. Aaron udah gede."

"Tapi masih anak Mama, kan?"

"Ya ... iya. Tapi kan—"

"Udah, Mas. Bilang aja mau apa." Aku berusaha menghentikan perdebatan antara Mas Aaron dan Mama.

"Hmmm—" Mas Aaron tampak berpikir.

"Mau anak?" Itu pertanyaan dari Mbak Anya, istri Mas Aaron.

Kami semua—Papa, Mama, aku dan Mas Aaron sontak menatap Mbak Anya yang saat ini tengah menahan senyum, seperti ada sesuatu yang mau disampaikannya.

"Nih." Mbak Anya mengulurkan sebuah kotak kecil di hadapan Mas Aaron. "Buka. Hadiah buat kamu." Senyum misterius itu masih ada di wajahnya.

Tanpa menunggu lama dan banyak bertanya, Mas Aaron membuka kotaknya. Kami pun memperhatikan dengan serius. Sesaat tatapan Mas Aaron masih terlihat kebingungan, lalu saat kotak itu benar-benar terbuka dan menunjukkan isinya mata Mas Aaron tiba-tiba melebar, kemudian kembali menatap istrinya. "Ini serius?"

"Kenapa, Mas? Apa isinya?" Mama juga sepertinya merasakan apa yang aku rasakan. Tidak sabar mau tahu.

"Ma." Mas Aaron menatap Mama dengan mata yang berbinar. "Aaron junior sudah hadir."

Mama masih kelihatan kebingungan dengan ucapan Mas Aaron.

"Mama sama Papa mau punya cucu." Mas Aaron berucap sangat antusias, "Ceri, kamu mau jadi Tante." Lalu menatapku dengan tatapan yang luar biasa bahagia.

"Mbak, hamil?" Rasanya aku juga ikut merasakan kebahagian yang mereka rasakan.

Mbak Anya mengangguk, aku memeluknya, dan tidak sadar kalau aku sudah menangis dalam pelukan Mbak Anya. Mama juga ikut bergabung memeluk kami berdua yang masih saling memeluk. Papa tidak tinggal diam, dia bergegas memeluk putra tertuanya.

Ahh ... kebahagiaan Mas Aaron tahun ini benar-benar berbeda. Ulang tahun nya kali ini sangat spesial. Aku rasa ini juga kado terindah yang dia dapat. Aku sangat senang mengetahui bahwa keluarga kecilku akan bertambah satu anggota lagi.

Saking bahagianya mendengar kabar kehamilan Mbak Anya, aku juga memutuskan untuk memeriksa lagi keadaanku, apakah masih garis satu atau sudah garis dua?

Aku berhenti di sebuah apotik dalam perjalanan pulang. Aku berharap mendapat berita baik kali ini. Aku juga mau menambah kebahagiaan untuk Papa dan Mama.

Hamil berbarengan dengan Mbak Anya rasanya tidak buruk. Aku tersenyum sendiri ketika membayangkan aku dan Mbak Anya berjalan berdua di mall dengan membawa perut yang sama-sama sudah membesar.

Itu cukup menyenangkan, kan?

Setelah membeli testpack, aku langsung bergegas pulang, karena aku memutuskan untuk menggunakannya di rumah saja.

Sesampainya di rumah, aku melangkah menuju kamar. Tapi, langkahku terhenti saat mendengar Gian mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkanku, "Mom, apa aku harus kasih tau rahasia itu pada Kiraz?"

Aku tidak pernah ikut campur dalam urusan suamiku terhadap apapun dan pada siapa pun termasuk dengan Mommy. Aku tidak pernah memaksa memasuki batasan kalau bukan Gian sendiri yang mengajakku untuk masuk. Tapi, saat mendengar namaku tadi disebut, mau tidak mau aku harus menerobos masuk dalam batasan itu.

Dan, apa yang ku dengar tadi? Rahasia? Rahasia apa yang selama ini di sembunyikan oleh Gian padaku?

Tubuhku melemas, aku hampir saja jatuh ditempat saat mendengar kalimat selanjutnya yang diucapkan oleh Gian, "Apa Kiraz harus tau kalau pernikahan ini nggak pernah aku harapkan?"

Apa ini? Aku merasa kepalaku berdengung, tanganku gemetar, aku masih berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk.

"Mom? Mom tau kan, aku akan selalu memilih cita-cita daripada cinta?"

Aku merasa kakiku makin melemah, aku membeku di tempat. Ucapan Gian benar-benar membuatku hampir hilang kesadaran.



•••••

Aaron dan Anya, pertemuan pertama mereka adalah di kantor Firma Hukum. Saat itu Aaron bekerja sebagai Pengacara dan Anya bekerja sebagai Advokat.

 Saat itu Aaron bekerja sebagai Pengacara dan Anya bekerja sebagai Advokat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
She Was My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang