Setelah aku di perbolehkan minum, aku tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Aku langsung menghabiskan dua botol air mineral sekaligus. Aku memang sehaus itu. Rasanya, meminum air selaut pun aku akan sanggup.
Semua orang sampai dibuat keheranan dengan tingkahku. Bahkan mereka berulang kali mengingatkanku untuk minum secara perlahan. Aku sudah tidak memikirkan akan tersedak atau apa, yang penting aku bisa menghilangkan rasa hausku. Itu saja.
Alhasil, sekarang aku merasa perutku kembung. Perutku penuh dengan air. Karena, memang selama beberapa jam ke belakang aku sama sekali belum ada makan apa pun.
Ditambah sekarang aku menyusui, tenagaku seperti terkuras habis. Begini ya nikmatnya jadi seorang ibu? Padahal ini baru hari pertama, bagaimana hari-hari selanjutnya? Aku sudah tidak sabar ingin memulai peran baruku.
"Ki, mau makan?"
"Memangnya boleh?"
"Boleh, aku udah tanya Dokter tadi."
Aku mengangguk, di dalam ruangan ini hanya ada aku dan Alan. Mama dan Papa masih menunggui anakku melewati beberapa pemeriksaan. Para sepupu kembali ke habitatnya masing-masing. Mas Byan akan perform di Caffe, Eder mengerjakan tugas kuliah, duo dumb dumber pulang ke rumah—rumahku. Sekala mau mengambil beberapa keperluanku selama berada di sini dan Gala ..., entah, aku yakin sih dia tidur.
Alan mengambilkan bubur yang berada di atas nakas samping ranjangku, yang sudah di sediakan oleh pihak rumah sakit. Dia menyuapiku dengan hati-hati. Karena, walaupun aku sudah boleh makan, tetap harus perlahan.
"Lan?"
"Hm?"
"Kamu tadi nemenin aku di ruang operasi?"
Alan mengangguk,
"Kamu nggak takut?"
"Takut?"
"Iya. Ini kan pertama kalinya kamu menyaksikan operasi lahiran." Suapan ke lima baru saja aku selesaikan.
Alan tersenyum menatapku, "Bukan takut, sih. Khawatir lebih tepatnya."
"Khawatir?"
"Iya. Khawatir sama keadaan kamu. Kamu kelihatan kesakitan banget tadi. Aku sampai bingung, rasanya mau bilang 'kasih ke aku aja rasa sakitnya'. Tapi kamu luar biasa, nggak ada mengeluh sama sekali."
Pandanganku mulai kabur. Membayangkan ada di posisi Alan, aku yakin dia kesulitan. Karena aku menunduk, aku jadi bisa melihat jelas jejak cakaran ada di lengan Alan. Aku terkekeh singkat, "Nggak ngeluh, tapi nyakar, ya?" Tanganku bergerak mengusap lengannya. "Nggak sakit?" tanyaku.
"Ini nggak ada apa-apanya sama rasa sakit yang kamu rasain tadi. Iya, kan?"
Aku tersenyum, "Kenapa?"
"Maksudnya?"
"Kenapa kamu mau jadi pemeran pengganti, Lan?"
Alan mengernyit, dia kelihatan kebingungan, "Pemeran pengganti gimana maksudnya?"
"Kamu berperan seolah-olah kamu yang bertanggung jawab atas semua ini. Kamu mengorbankan banyak waktu buat aku hari ini. Kamu yang dari awal sibuk mendampingi aku. Padahal, Lan—" aku membuang napas panjang, berbicara tentang tanggung jawab, otomatis mengingatkanku pada sosok itu. "Padahal—harusnya pria lain yang ada di posisi kamu tadi."
Alan menghela napas, "Kamu ... keberatan?"
Aku menggeleng, "Nggak sama sekali. Aku malah bersyukur, seenggaknya ada orang lain di samping aku di dalam ruang operasi. Kamu tau sendiri kan, kalau aku takut jarum suntik?" Aku kembali menunduk, "Tapi, aku merasa merepotkan kamu, Lan." Tatapanku kembali pada Alan. "Maafin aku, ya?"
"Ki? Kenapa jadi minta maaf, sih?" Mangkok bubur yang berada di tangan Alan diletakkan kembali di atas nakas, tangannya kini menggenggam tanganku. "Bukan salah kamu. Ini semua keinginan aku." Dia tersenyum, "Kamu tau nggak seberapa khawatirnya aku waktu lihat kamu kesakitan? Terus, seberapa bangganya aku bisa jadi sosok yang mendampingi kamu di ruang operasi? Lalu, seberapa bahagianya aku waktu pertama kali mendengar suara tangisan anak kamu? Jadi, dari semua itu, hal apa yang bikin aku repot dan buat kamu minta maaf kayak tadi?" Wajahnya meneleng menatapku yang tidak berkedip dari tadi. "Nggak ada, Ki. Aku malah bersyukur di kasih kesempatan kayak gini. Dan ..., kamu tau kan apa alasannya?"
Aku menatapnya dengan wajah bingung, aku benar-benar tidak bisa berpikir. "Apa?"
"Karena aku cinta sama kamu, Ki. Aku sayang sama kamu. Perasaan aku yang makin besar setelah sepuluh tahun ini yang bikin aku kayak gini."
Aku tertegun, semakin Alan banyak bicara semakin besar juga perasaan aneh menggelayuti hatiku.
"Kamu udah percaya kan, kalau aku serius sama kamu?"
Aku masih diam, tiba-tiba aku kesulitan bersuara.
"Masih kurang buktinya?"
Aku masih bergeming, tanpa berusaha untuk menjawab pertanyaan Alan. Lalu Alan, mengeluarkan sesuatu dari balik saku celananya, sebuah kotak kecil berbahan beludru berwarna biru. Aku tahu apa yang ada di dalamnya,tapi setelah kotak benar benar terbuka, aku merasa tidak mampu berekspresi. Sebuah cincin dengan berlian kecil di tengahnya, memberi kesan anggun dan elegan dalam tampilannya. Cincin itu Alan tunjukkan padaku, seolah mengatakan bahwa akulah yang pantas memakainya. "Sudah percaya sekarang?" ucapnya dengan senyum yang mengulas wajahnya.
Aku menatap Alan, dan mengerjap lemah.
Ini tidak nyata, kan? Seseorang tolong bangunkan aku dari mimpi ini!!
•••••
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was My First Love
RomanceBagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...