Lima

17 4 0
                                    

Tiga bulan setelah menikah, masih terasa manis. Bahkan, kalau tidak diingatkan aku masih merasa bahwa kami baru saja menikah.

Gian masih memperlakukanku layaknya seorang putri. Aku selalu dimanja setiap harinya. Tidak dibiarkan bekerja di dalam rumah, hanya diperbolehkan melakukan hal-hal ringan seperti menyiram bunga di halaman belakang. Menyenangkan, karena memang sejak kecil aku sering membantu Mama menyirami bunga-bunga mawarnya.

Kadang aku bosan, tapi kata Mas Aaron aku harus menikmatinya. Ya, benar. Aku sangat beruntung dan tidak seharusnya aku bersikap seperti ini, mengeluh dengan keadaan.

Tiga bulan di umur pernikahan kami, aku belum juga diberikan kepercayaan untuk mengandung. Dan Gian, selalu mengatakan, "It's okay, kita bisa usaha lagi," ucapan itu membuatku merasa berharga.

Tapi sebagai perempuan, aku selalu merasa ketakutan saat belum juga mendapat dua garis pada testpack yang beberapa kali aku pakai. Aku takut sekali tidak bisa memberi keturunan pada suamiku. Mama selalu menyemangati setiap kali aku bercerita tentang kekhawatiranku.

•••

Gian sedang berada di ruang kerjanya saat ini, jika sudah dalam mode sibuk aku tidak berani mengganggunya, bahkan, hanya untuk menghampiri dan memberikan segelas air untuknya.

Aku tahu pekerjaannya itu kadang membunuh waktunya bersamaku, tapi untuk berada di dalam ruangan kerjanya rasanya aku cukup tahu diri. Aku tidak ingin membuat fokusnya dalam bekerja terganggu.

Gian pernah bercerita bahwa, cita-citanya adalah menjadi seorang Pilot. Tapi, sampai sekarang dia belum juga di terima di maskapai manapun, walaupun dia sudah lama lulus dari sekolah pilotnya.

Jadi, untuk menunggu panggilan itu, Gian memanfaatkan waktunya untuk belajar bisnis, dan menangani salah satu perusahan Daddy—papa Gian—untuk dikelolanya.

Aku pernah berencana untuk membuka usahaku sendiri sewaktu baru saja menikah dengan Gian. Namun, dia tegas menolak. Karena, baginya nafkah itu sepenuhnya ada di tangan suami. Seorang istri hanya perlu berdiam diri di rumah.

Kadang, aku merasa ucapannya itu sangat menyenangkan untuk di dengar, tapi ketika aku merasa bosan, aku akan merasa menyesal untuk menyetujui permintaannya.

Bagaimana bisa selama tujuh hari dalam seminggu, dua puluh empat jam sehari, aku hanya mondar-mandir tidak jelas di dalam rumah? Aku merasa sangat tidak berguna menjadi seorang istri.

Aku juga tahu, keputusan seorang Gian Kalingga tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Sekalipun aku, istrinya.

•••

"Sayang?" Gian mendekat ke arahku, saat aku sedang bermalas-malasan di halaman belakang.

"Ya?"

Gian tersenyum, lalu mengambil tempat di sebelahku, "Ini." Dia menyerahkan selembar amplop coklat ke arahku.

"Apa ini?"

"Buka aja."

Aku mengikuti permintaannya, membuka amplop itu. Dan, aku masih tidak begitu mengerti dengan isinya. "Ini maksudnya apa?"

Gian mengarahkan telunjuknya pada kertas yang masih berada di tanganku, "Aku mengajukan lamaran lagi di salah satu maskapai penerbangan."

"Serius?"

"Hm. Kamu tau kan aku nggak pernah menyerah sama cita-cita aku?"

Ya, aku pernah mendengar Gian mengatakan itu padaku. Bahkan, Mommy juga pernah mengatakan hal yang sama padaku. Gian tidak akan menyerah sampai dia berhasil menanggapi cita-citanya.

"Aku akan selalu mendukung kamu." Aku membelai lembut pipinya.

"Doakan aku." Gian balas mencium keningku singkat.

"Pasti."

Kemudian, kami berdua saling berpelukan. Itu adalah salah satu hal yang selalu kami lakukan jika salah satu dari kami membutuhkan dukungan.

Aku rasa semua orang setuju, bahwa pelukan adalah sebuah solusi yang paling tepat, bukan hanya untuk sebuah masalah, tapi juga untuk sebuah dukungan.

Aku benar-benar berharap semoga Gian berhasil mewujudkan cita-citanya. Aku tahu seberapa keras dia berusaha selama ini. Aku juga tahu betapa sulitnya dia saat orang-orang menanyakan tentang sekolah pilotnya, apalagi tahu bahwa selama ini Gian belum juga menjadi seorang pilot.

•••••

She Was My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang