Flashback,
Waktu itu aku sedang berada di kantin, makan siang bersama sahabat karibku—Pragia. Walaupun hanya berdua, kami merasa sangat ramai. Karena, aku dan Pragia sama-sama memiliki kepribadian yang supel dan juga cerewet. Tidak jarang, teman-teman yang lain menganggap aku dan Pragia itu berjumlah sepuluh orang.
Makanan kesukaanku saat jam istirahat adalah mie ayam. Itu adalah menu andalan yang selalu aku pesan, aku tidak pernah bosan walaupun hampir setiap hari memakannya. Kalau Pragia, kesukaannya adalah nasi goreng. Sama sepertiku, Pragia pun tidak pernah mengganti menu andalannya.
Selera kami memang sedikit berbeda, tapi kami merasa cocok satu sama lain. Berteman sejak berumur tiga tahun, bertetangga sejak saat itu, akhirnya kami pun menjadi dua orang yang tidak pernah terpisahkan.
Sampai-sampai, semua orang menganggap kami ini adalah anak kembar.
Saking dekatnya, apapun yang terjadi denganku, Pragia juga merasakannya. Begitupun sebaliknya. Jadi, kami berdua tidak pernah bisa menyembunyikan rahasia sekecil apapun.
Kami berada di kelas yang sama selama bertahun-tahun, tidak pernah sekalipun terpisahkan. Aku dan Pragia sudah saling menempel satu sama lain. Ke mana pun aku pergi, di situ pasti ada Pragia.
Ketika mie ayam ku hampir habis, Alan datang mendekat dan langsung duduk di sebelah ku. Alan adalah teman laki-laki yang cukup dekat dengan kami. Kalau Pragia harus absen dari sisiku, Alan yang akan menggantikannya.
Rumah kami berada di komplek yang sama. Kami berdua juga sering main bersama dan berangkat sekolah bersama. Bedanya dengan Pragia, Alan bertemu denganku di bangku sekolah dasar. Cukup dekat juga, kan? Tapi, tetap. Pragia adalah yang pertama.
"Ki?"
"Hm?"
"Aku mau ngomong."
"Ngomong aja, tumben pake ijin segala."
"Cuman berdua."
"Apanya?" Alan memang kadang sangat irit dalam berbicara, wajar kalau aku tidak langsung paham.
"Ngomongnya."
"Gue nggak boleh denger, nih?" Pragia cemberut.
"Maaf, ya, Gi. Kali ini aja." Alan memohon pada Pragia.
"Okay." Pragia pergi menjauh, walaupun aku tahu dia sedikit tidak terima.
Alan kembali menatapku, saat sudah memastikan bahwa Pragia benar-benar telah menjauh dari kami. "Ki?"
"Yes?"
"Aku mau ngomong."
"Iya aku tau."
"Tapi kamu jangan marah."
"Kenapa, sih, Lan? Mau ngomong apa?" Aku makin heran dengan tingkah Alan yang tidak biasa ini.
"Aku—" Alan berdeham singkat. "Sebenarnya aku—" mata Alan terlihat tidak fokus, "Aku—"
"Lan?" Aku sudah tidak tahan, "Kenapa, sih? Ada apa? Ngomong yang jelas, jangan gini."
"Aku suka sama kamu."
Aku melongo, terdiam sesaat, lalu terkekeh, "Ngaco!"
"Serius, Ki."
"Nggak lucu tau nggak bercandanya." Kenapa sih, Alan?!
"Kiraz, aku serius." Mata Alan menatapku dengan lekat, aku tahu di mata itu ada kejujuran. Tapi rasanya aku masih berusaha mengelak.
"Apaan, sih, Lan. Kamu lagi taruhan sama siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was My First Love
RomanceBagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...