Tujuh

26 4 0
                                    

Malam itu, setelah aku mendengar kalimat yang cukup mengejutkan bagiku—yang diucapkan Gian, aku merasa tidak berdaya. Aku tidak tahu harus melakukan apa.

Berpura-pura untuk menganggap semua itu tidak terjadi pun, percuma. Suara Gian yang mengucapkan kalimat itu masih terdengar jelas di telingaku. Rasanya sakit sekali. Sangat.

Bahkan, saat menatap Gian pun aku merasa terluka. Apalagi ketika Gian masih memberikan senyum manisnya, memperlakukanku dengan baik, dan ciuman di kening yang selalu dia berikan. Aku merasa ucapannya waktu itu tidak sesuai dengan segala perlakuannya padaku. Bagaimana bisa ini terjadi?

Sepanjang malam aku terus berpikir, mencoba memahami maksud dari ucapannya. Tidak mengharapkan pernikahan ini? Tapi kenapa dia menyetujui untuk menikah denganku. Memilih cita-cita daripada cinta? Tapi kenapa malam itu dia menyentuhku, seakan berniat menciptakan penerusnya.

Ah aku lupa, aku belum menggunakan testpack yang sudah aku beli. Karena, apa yang aku dengar kemarin malam mampu merubah semua niatku, mampu merubah mood ku menjadi buruk dalam waktu hitungan detik.

Aku langsung menggunakan alat itu untuk memeriksa keadaanku. Awalnya aku selalu antusias saat menggunakannya dan selalu berdoa bahwa ada dua garis di sana. Tapi kali ini, untuk yang pertama kalinya aku mengharapkan hal sebaliknya. Semoga aku tidak hamil.

Lama aku menunggu, aku mondar-mandir di dalam toilet sambil menunggu. Aku sangat sangat berharap hasilnya negatif. Perlahan, aku membalik banda itu untuk mengetahui hasilnya. Dan di detik berikutnya aku merasakan tubuhku tiba-tibe membeku. "Ya, Tuhan ..., "

•••

Aku masih termenung memikirkan hasil dari benda tadi, ada garis dua di sana. Aku positif hamil. Aku bahkan sampai menggunakan testpack lima kali dengan merk yang berbeda, karena aku benar-benar tidak ingin hamil. Apalagi setelah aku mengetahui fakta miris bahwa suamiku sendiri tidak menginginkan pernikahan ini—yang dari awal selalu aku syukuri.

Dia berkata lebih memilih cita-citanya daripada cinta. Lalu, haruskah aku percaya diri bahwa dia akan memilihku saat dia tahu bahwa aku telah mengandung anaknya? Sepertinya tidak, karena aku yakin cintanya padaku tidak sebesar cintanya pada cita-citanya. Denganku yang selalu dilihatnya saja dia masih tidak bisa mencintai setulus hati, apalagi anak yang sedang aku kandung yang belum pernah dia lihat. Mungkin rasa cinta itu sama sekali tidak ada.

Aku benar-benar menyedihkan.

Cukup lama aku melamun di balkon kamar, sampai aku mendengar pintu dibuka oleh seseorang. "Kiraz?" Gian, dia orangnya.

Entah mengapa panggilan itu seolah menyiratkan bahwa hubungan kami telah berbeda. Selama ini, Gian selalu memanggilku dengan sebutan sayang, ini adalah pertama kalinya namaku di sebut di rumah ini.

Tanpa menjawab panggilannya, aku hanya berbalik untuk menyambut kedatangannya.

"Ada yang mau aku bicarakan."

Aku kembali merasa ada sesuatu yang akan terjadi setelah mendengar ucapannya yang bernada dingin. Gian berdiri di hadapanku. Bahkan, dia tidak memintaku untuk duduk. Lalu, sepenting apa hal yang ingin dia bicarakan ?

"Kamu ingat dua minggu yang lalu aku mengajukan lamaran pada sebuah maskapai?"

Aku mengangguk,

Gian tersenyum, "Aku diterima."

Aku tidak menjawab, hanya memberi respons dengan membalas senyumnya. Rasanya ucapan selamat sangat sulit untuk aku ucapkan.

"Dan ... " Gian berdeham singkat, "Aku mau jujur."

Aku hanya mengangkat kedua alisku, aku tidak sanggup mengeluarkan kata-kata untuk pembohong sepertinya. "Pernikahan ini ..., nggak pernah aku harapkan."

Aku sepeti ditembak di sasaran yang tepat. Hatiku terasa nyeri. "Terus? Kenapa waktu itu kamu ngajak aku nikah?"

Gian menghembuskan napas berat, "Itu kemauan Mommy, dan aku nggak mau mengecewakan Mommy. Waktu itu aku benar-benar setuju untuk menikah, karena aku sudah putus asa dengan cita-citaku sebagai Pilot. Aku merasa menikah dengan kamu adalah takdir yang harus aku jalani. Kamu sempat jadi prioritas dalam hidup aku. Tapi, setelah lamaranku diterima, aku jadi ingat tujuan awal hidupku adalah untuk menggapai cita-citaku. Kamu tahu itu, kan?"

"Ya, aku tahu cita-cita adalah yang akan kamu pilih daripada cinta."

Gian terkekeh seraya menunduk, "Kamu benar. Apa aku boleh egois?" Dia menatapku, dan tatapan itu aku telah membencinya sejak kemarin.

"Boleh kan aku egois untuk pergi menggapai cita-citaku, dan ..., meninggalkan kamu?" Gian mengucapkan itu cukup hati-hati, namun rasa sakit yang aku rasakan tidak sedikit.

"Kalau aku nggak setuju?" Mataku mulai perih, menahan tangis bukanlah keahlianku.

Gian kembali tersenyum padaku, "Aku tahu ini sulit buat kamu. Tapi aku sudah menunggu hari ini sejak lama."

Aku mengangguk-angguk, rasanya percuma menyuarakan keinginan saat dia sendiri tidak ingin di dengar. "Baiklah, lakukan keinginan kamu, Gian. Aku harap kedepannya kita nggak akan pernah saling bertemu lagi."

"Kenapa harus seperti itu? Kita nggak bisa pisah baik-baik?"

Mataku mulai memanas, napasku juga terasa semakin sesak. Dan dengan keberanian yang aku miliki saat ini, aku melangkah mendengat ke arahnya.

Lalu ...,

PLAKK,

Aku menamparnya. Menampar Gian.

"Aku nggak perlu itu, terima kasih atas tawarannya." Aku langsung bergegas pergi meninggalkannya di sana. Aku tidak peduli seberapa sakitnya tamparanku, yang aku tahu ada tanda merah di pipinya saat aku menamparnya.

Aku berjalan dengan tergesa, bahkan, aku melupakan semua barang-barangku yang masih berada di dalam kamar. Aku tidak peduli, yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya aku harus pergi jauh darinya. Gian—pria brengsek itu.



•••••

She Was My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang