Sembilanbelas

14 4 0
                                    

Waktu libur seperti ini para Uncle—sepupuku, pasti akan berkunjung. Menginap di rumah Mama tetap jadi aktivitas rutin mereka. Tapi, berkunjung ke rumahku hanya satu minggu sekali—setiap weekend. Karena, aku dan Alan tinggal terpisah dari Mama dan Papa.

Alan membeli rumah setelah enam bulan kami menikah, walaupun sebenarnya Mama juga tidak keberatan kalau kami tetap tinggal di sana.

Jadi, Gala dan Sekala yang kini menemani Mama di rumah. Mereka yang tinggal menetap di sana. Jarak rumah mereka yang paling dekat, jadi kemungkinan besar itu adalah alasan Ibu memperbolehkan anak-anaknya menginap. Gala dan Sekala memiliki dua saudara, berbeda dengan Mas Byan dan Eder, mereka anak tunggal. Makanya, Mas Byan dan Eder tidak bisa leluasa tinggal di rumah Mama. Ibu pasti akan kesepian.

Kalau mereka datang, biasanya aku serahkan tugas untuk menjaga Nari pada mereka. Alan sudah pasti akan sibuk membantuku untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, biasanya dia sibuk di bagian belakang rumah, entah akan memotong rumput, menyiram tanaman, atau menanam tanaman baru. Dan, akhir-akhir ini dia tengah sibuk membuat ayunan di belakang rumah untuk Nari.

Mas Byan, dengan ukulele dan suara merdunya, membuat Nari betah berlama-lama berdiam di gazebo sambil menatapnya.

Eder, dengan bola basketnya mengajak Nari berlari-larian di halaman depan, sepertinya dia berencana menjadikan Nari seorang atlet sepertinya, ya?

Sekala, dengan sikapnya yang cerewet, dia selalu menceritakan beberapa dongeng sampai Nari tertidur di pangkuannya.

Kalau Gala—hmm—aku sudah tidak bisa memberitahunya lagi untuk tidak boleh memperkenalkan hal-hal berbau horor pada Nari. Tapi, Gala tetaplah Gala. Hari ini bilang iya besoknya dia sudah lupa. Setelah annabelle waktu itu, sekarang Gala memberikan boneka pumpkins ala-ala halloween. Aku tidak bisa berkata-kata lagi saat Nari dengan senang hati menerima pemberian darinya.

Dan Mas Aaron, biasanya kalau hari sudah menjelang malam barulah mereka—Mas Aaron, Mbak Anya dan Sener, anak laki-laki mereka, datang. Kami selalu rutin makan malam keluarga di rumahku kalau weekend, Mama Papa juga Mami dan Papi tidak ketinggalan hadir. Rumahku seketika menjadi ramai karena kedatangan mereka. Bahagia ku sesederhana itu, berkumpul bersama orang-orang yang aku sayangi.

•••

"Mi, Papi boleh motoran berdua nggak sih sama Nari?"

Aku terkejut, ini pertama kalinya Alan mau pergi berdua bersama Nari. Entah memang keinginan Alan atau malah Nari yang sudah menghasutnya. Karena, aku merasa Nari sudah mulai cemburu jika Alan menunjukkan kedekatannya padaku. Kata Mama, itu wajar. Anak perempuan biasanya akan lebih agresif kepada ayahnya. Berarti benar kata Mas Aaron, aku sudah melahirkan sainganku sendiri.

"Nari yang suruh, ya?" Aku memicingkan mata untuk mencari jawaban yang sebenarnya.

"Nggak. Tapi sedikit banyaknya karena Nari, sih." Alan terlihat salah tingkah, aku memang cukup peka akan hal hal seperti itu.

"Memangnya mau ke mana?"

"Mau jalan jalan aja. Nari mau keliling kota katanya."

Wajahku berubah cemberut. "Jadi sekarang Mami sudah bisa di tinggal tinggal gitu, ya?"

Alan mendekat sambil tersenyum, lalu memeluk dan mencium keningku. Dia berusaha menenangkan perasaanku yang sepertinya mulai cemburu dengan anak sendiri. "Nggak, Mi. Cuma sekali doang, mau tau aja gimana rasanya ngedate sama anak sendiri."

Ya, ampun. Saat mendengar Alan mengatakan itu, rasanya aku jadi ingin menangis. Membayangkan posisiku terancam oleh Nari, walaupun anak sendiri tapi ... Ahh, kalian tahu kan apa yang aku rasakan?

"Papiiiii, let's go! Kita jadi jalan, kan?"

Aku dan Alan menoleh bersamaan ke arah suara. Ketika ku lihat, Nari sudah tampak rapi dengan pakaiannya. Dia sudah benar benar siap untuk pergi berduaan dengan papinya. "Nali udah siap." katanya sembari berputar riang gembira. Benar benar, anak dan ayah kompak dalam melakukan sesuatu.

"Nari mau ke mana? Kok cantik banget, sih?" Aku mendekat, mulai merendahkan diri untuk menatap langsung mata mungilnya yang indah.

"Mau jalan sama Papi. Nali mau liat lampu, Mi. Nanti di jalan, Nali boleh makan esklim. Telus kata Papi, Nali juga boleh beli balon walna walni. Iya kan, Pi?" tanyanya pada Alan yang tersenyum bangga di belakangku. Anak sekecil itu, sudah mampu membuat kedua orang tuanya kagum. Semakin hari, Nari semakin banyak menunjukkan betapa dia tumbuh menjadi anak yang baik.

"Mami boleh ikut, nggak?"

Nari tidak langsung menjawab, matanya berputar putar seolah sedang menghindari tatapanku. Aku menjadi gemas sendiri melihat tingkahnya. "Kata Papi, hali ini cuma Nali yang boleh ikut. Mami di lumah aja."

Alan terkekeh, dia mendekat dan mengikuti posisiku yang masih berjongkok di hadapan Nari. "Memangnya Papi ngomong gitu, ya?"

"Iya." jawabnya pelan.

"Sedih dong Mami ditinggal di rumah sendirian." Aku memasang wajah sedih, agar terlihat lebih menyakinkan.

"Mami nggak usah sedih. Nanti Tante Gi yang temenin Mami." Tidak lama setelah itu, Pragia benar benar muncul. Tepat setelah dia dibicarakan. Bisa jadi sedari tadi Pragia memang sudah menunggu momen ini.

"Nari tenang aja. Hari ini Nari boleh jalan sama Papi sepuasnya. Mami biar sama Tante Gi jalannya."

Binar wajah Nari muncul. Senyumnya terukir sampai menunjukkan deretan giginya. "Makasih, Tante Gi. Nali sayang banget sama Tante."

Pragia menerima pelukan dari Nari. Anakku ini, siapa sih yang dia tiru?

"Mi, Nali pelgi ya?" Nari mencium kedua pipiku.

Aku mengangguk dengan masih menampakkan wajah yang bersedih. "Hati hati, ya. Jangan lama lama bawa jalan suaminya Mami." Aku menegaskan status Alan di depan anakku. Jadi, sedari dini Nari sudah mulai aku beritahu sampai mana batasnya untuk mengambil alih Alan dari sisiku.

Alan kembali terkekeh, mungkin ucapanku terdengar sangat kekanak-kanakan baginya. Ibu mana yang merasa anak sendiri adalah saingannya? Aku benar benar harus waspada dengan Nari.

"Papi pergi dulu ya, Mi." Alan mencium kedua pipiku. "Suami Mami ini nggak akan macam macam, kok." ejeknya dengan berbisik.

"Daaahhhh," Akhirnya Nari dan Alan hilang dari pandangan. Mereka pergi meninggalkanku untuk yang pertama kalinya. Sedikit cemburu tapi lebih banyak senangnya. Aku bahagia melihat kedekatan keduanya, melihat Alan begitu mencintai Nari seperti anaknya sendiri. Juga, ketika Nari yang terlihat begitu nyaman berada di dekat Alan.

"Gi, gue beneran melahirkan saingan gue sendiri."

Pragia tertawa. "Sanari adalah lawan yang tepat."






•••••

•••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
She Was My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang