Aku mulai berhubungan melalui pesan singkat dengan anak teman Mama yang waktu itu dikenalkan. Dengan niat ingin memberikan feedback yang baik, pesannya selalu aku balas walaupun sekedarnya.
Aku mencegah kesalahpahaman terjadi, takut saja jika dia menganggap aku telah memberinya harapan ketika aku dengan intens membalas pesannya.
Hubungan kami berjalan wajar selayaknya teman, hanya saling bertanya tentang kehidupan sehari-hari, tentang pekerjaan, dan berujung tentang ... status. Aku tidak terlalu suka ada orang baru yang menanyakan hal sensitif seperti itu, jujur aku kurang nyaman.
Tapi Nicko—ya, itu namanya—dia selalu kekeh mendekatiku walaupun aku selalu memberi kode bahwa aku tidak tertarik padanya. Dia selalu berusaha mencari info tentang ku dari Mama, niatnya hanya untuk lebih dekat denganku, tapi itu membuatku risih.
•••
Sudah dua hari ini Nicko tidak menghubungiku, mungkin dia lelah. Karena selama ini hanya dia yang terlihat bersemangat dalam hubungan ini, sedangkan aku tidak.
Aku sudah bilang, kan? Aku harus nyaman dulu baru bisa menerima orang baru. Dan dengan Nicko, aku merasa kurang nyaman. Mama tahu akan hal ini, jadi Mama mati-matian memintaku untuk menghubungi Nicko lebih dulu.
"Kamu ini, Ki. Gimana mau dapat pacar coba? Kalau jutek terus sama cowok."
"Aku nggak jutek, Ma."
"Bales pesan singkat itu namanya jutek, Ki!"
"Bukan jutek, aku nggak nyaman."
"Kenapa? Nicko ganteng, baik, mapan, sopan. Apa kurangnya?"
Tahu dari mana Mama semua kelebihan Nicko? Padahal kenal juga baru, kan?
"Ya ... Mama nggak ngerti lah pokoknya."
Aku melihat Mama memijat pangkal hidungnya, sefrustasi itu kayaknya menghadapi anak perempuannya yang tidak kunjung punya pacar ini.
"Mama putuskan untuk jodohin kamu, Ki."
Aku merasa tersambar petir di siang bolong. Apa kata Mama? Di jodohin?
"Mama nggak bisa biarin kamu kayak gini terus." Mama menghela napas panjang. "Mau sampai kapan, Ki?" lanjut Mama.
Aku masih diam, berusaha mengembalikan kewarasan ku setelah mendengar semua ucapan Mama. Berharap aku salah dengar.
"Besok Mama kenalin sama calon kamu."
Mama bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar, meninggalkanku seorang diri yang masih mematung di tempat. Aku merasa tidak dihargai sama sekali, karena tidak ada penjelasan apapun dari Mama, Mama hanya memaksaku menuruti semua kemauannya.
"Ma," aku bergumam, dan buliran air mataku lolos dari mataku.
•••
Aku sedang berada di caffe bersama sahabat baikku, Pragia. Aku bercerita padanya tentang apa yang akan Mama lakukan padaku—tentang perjodohan itu. Aku sudah tidak bisa menangis lagi di hadapan Pragia, perasaanku kosong.
Sedari tadi, pikiranku tidak jelas. Ada banyak hal yang aku pikirkan. Aku selalu berharap semua ini adalah mimpi. Mimpi buruk karena aku lupa baca doa saat mau tidur tadi malam.
Tapi, saat Pragia menyenggol lenganku, dia menyadarkanku bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi buruk. Semua ini adalah kenyataan. Kenyataan pahit yang memang harus aku jalani.
"Minum, Ki." ucap Pragia, sesaat setelah pelayan caffe menghidangkan dua minuman di meja kami. Red Velvet milik Pragia, dan Matcha milikku.
Aku seperti tidak ada minat untuk menyesap minuman kesukaanku itu, jadi yang aku lakukan sekarang hanya mengaduk asal sedotan yang berada di dalam gelas.
"Di minum, Ki. Jangan di aduk-aduk aja." Pragia kembali menyadarkanku bahwa semua ini bukanlah mimpi.
"Gue harus gimana, Gi?" Aku menatap nanar matcha yang tampilannya sudah tidak menarik lagi, sungguh, aku terlihat sangat menyedihkan.
"Ki, Mama pasti mau yang terbaik buat lo. Dan ... mungkin ini salah satunya." Pragia menggenggam tanganku, "Kenapa lo nggak coba terima aja? Siapa tau, ini memang jalan hidup lo."
"Kalau nggak?"
Pragia mengeryit, "Jangan berprasangka buruk dulu. Lo belum jalani, kan? Jadi, lo nggak bisa menyimpulkan semuanya sekarang."
"Tapi gue takut."
"Takut kenapa? Takut calon suami lo gendut, tua, dan botak?" Pragia tertawa.
"Ish, lo tuh!"
Sisa tawanya masih terdengar, "Nggak, nggak. Gue juga nggak mau punya ipar kayak gitu."
"Gi!"
"Iya, iya. Ya udah, lo banyak-banyak berdoa aja. Minta petunjuk sama Tuhan. Dan semoga apa yang akan lo pilih nanti, itu memang yang terbaik buat lo."
Aku menghela napas, "Semoga, deh."
"Semangat dong. Lo harusnya bersyukur karena udah mau nikah di saat gue masih pusing sama skripsi."
"Ngaco!"
Pragia kembali tergelak, "Senyum. Biar lo nggak kelihatan mau nikah sama duda dua anak."
"Apa, sih! Dari tadi ngomongnya!"
Pragia melanjutkan menyesap minumannya yang hampir habis setengah setelah tawanya reda, sedangkan milikku berakhir hanya aku aduk tidak jelas tanpa berniat meminumnya.
•••••
Nicko Abinaya
Dia memang tampan. Tapi sayang, bukan tipe ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
She Was My First Love
RomanceBagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun? Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...