Bagaimana rasanya di umur 25 tahun teman-teman mu sudah menikah sedangkan kau masih sendiri?
Bagaimana rasanya di umur 25 tahun patah hati mu sesakit saat pertama kali mengenal cinta di umur 17 tahun?
Bagaimana rasanya di umur 25 tahun di desak meni...
Hari ini aku dan Mama pergi ke salah satu restoran, tempat yang sudah di janjikan untuk menemui seseorang—yang rencananya akan dijodohkan denganku.
Selama perjalanan aku terlihat murung, tapi Mama tentu tidak sadar. Karena Mama terlalu senang akan segera bertemu dengan calon-ku. Aku benar-benar sudah tidak bisa menolak keinginan Mama lagi. Mama juga terlihat sangat tegas saat mengatakan akan menjodohkanku malam itu.
Jadi, sekarang aku hanya perlu mengikuti skenario yang Mama ciptakan.
•••
Setengah jam dalam perjalanan, akhirnya kami sampai.
Saat melangkahkan kaki masuk ke restoran itu aku semakin merasa gugup, perasaanku mulai tidak nyaman.
"Tenang, Ki. Mama yakin kamu suka sama orangnya."
Mama selalu mengatakan itu saat mengenalkan ku dengan orang baru. Dan ... ucapan itu sama sekali tidak benar. Terbukti sampai sekarang tidak ada satu pun yang membekas dalam ingatan ku.
"Mama harap ini yang terakhir ya, Ki." Mama menangkup kedua sisi wajahku saat kami sudah berada di depan ruangan VVIP. "Mama cuma mau kamu bahagia." Air mata Mama menetes saat mengatakannya. Dan baik, hal itu mampu membuatku merasa terharu dan bersalah sekaligus.
Mama memelukku sebelum kami berdua benar-benar masuk ke dalam.
Saat pintu terbuka, aku melihat seorang pria tengah duduk di sebelah wanita dewasa yang sangat elegan, aku yakin itu mamanya—Tante Hellen.
Sepersekian detik mata kami beradu tatap, sampai pria itu tersenyum padaku. Aku mengerjap lemah karena merasa tatapan nya menenangkan perasaanku yang sedari tadi gundah.
Apa kali ini Mama akan berhasil?
"Laura." Tante Hellen bergerak memeluk Mama. Setahu ku mereka berdua memang dekat. Selain kolega bisnis, Mama juga bilang kalau Tante Hellen adalah teman satu sekolahnya dulu.
"Hellen. Apa kabar? Udah lama ya kita nggak ketemu."
"Baik. Ya ampun, kamu kok nggak berubah sama sekali, sih?"
Mama tersipu, "Kamu tuh yang nggak berubah."
Begitulah wanita, saling memuji satu sama lain adalah keahlian mereka.
"Oh iya, ini anak kamu yang kamu ceritain waktu itu, ya?" Tante Hellen mendekatiku, lalu memelukku. "Hallo, Sayang."
"Hallo, Tante."
Pelukan terlepas, wajah cantik itu menatapku sekilas. Lalu, Tante Hellen memanggil anaknya untuk mendekat ke arahku. "Gian, sini Sayang."
Pria itu—yang akhirnya aku ketahui namanya adalah Gian—mendekat. Senyumnya selalu menghiasi wajahnya.
"Hai." sapanya padaku.
Aku tidak langsung menjawab, karena tiba-tiba saja aku merasa membeku di tempat. Dan yang lebih memalukan nya lagi, aku menatapnya tanpa berkedip.
"Ki?" Mama menyenggol lenganku, akhirnya aku pun tersadar dari lamunanku.
"O-oh, Hai." Aku dan Gian saling bersalaman. Perasaan aneh hadir dalam diriku. Apa aku mulai menyukainya?
•••
Ruang VVIP restoran itu cukup besar, bahkan ada dua bagian di dalam ruangan itu. Aku dan Gian makan terpisah dari Mama dan Tante Hellen. Aku yakin ini adalah salah satu metode mereka untuk mendekatkan kami.
Saat makan, kami berdua tidak banyak bicara. Aku juga bingung apa yang harus kami bicarakan. Sampai akhirnya Gian yang mulai membuka suara, "Ki?"
"Ya?" Aku terkejut saat Gian memanggil namaku sesingkat itu. Normalnya orang yang baru saja bertemu dan berkenalan akan saling memanggil dengan nama lengkap, kan? Berbeda dengan Gian ketika bertemu denganku.
"Menurut kamu gimana?"
"Maksudnya?"
Gian tersenyum tipis saat menatapku, "Perjodohan ini?"
"Hm—aku nggak tau."
"Kamu keberatan?"
"Ya?" Sekali lagi aku terkejut.
"Sebenarnya, saat Mama mengatakan akan menjodohkan kita berdua, aku berpikir ini udah waktunya aku buat nikah."
Aku terdiam,
"Kamu tau, kan? Aku lama tinggal di luar negeri untuk sekolah. Mommy selalu memintaku pulang dan menikah. Mommy khawatir aku akan melajang sampai tua." Gian terkekeh, "Padahal aku yakin jodoh itu udah ada yang ngatur. Tapi kayaknya Mama nggak percaya itu."
Aku masih mematung,
"Waktu aku lihat foto kamu kemarin, aku semakin yakin buat menikah."
Aku mulai kesulitan bernapas,
Gian meletakkan sendok dan garpu di sisi piringnya, lalu kembali mendongak untuk menatapku, "Kamu mau nikah sama aku, Ki?"
"Ya?"
"Kita nikah. Kabulin kemauan orang tua kita."
"Kamu yakin?"
Gian mengangguk, "Ya,"
"Apa ini semua hanya karena mereka?" Aku tidak begitu yakin Gian dengan mudah menyetujui perjodohan ini. Aku juga tidak mau menikah hanya karena untuk mengabulkan permintaan Mama. Terlalu tidak adil rasanya buat aku sendiri.
Gian menggeleng, "Walaupun hubungan ini berawal dari perjodohan, aku mau coba menjalani hubungan ini dengan serius."
"Kamu ... yakin?" Aku kembali menyakinkan Gian.
"Tentu,"
"Tapi kenapa?"
Gian menatapku heran,
"Maksud aku—kita baru ketemu hari ini, kita juga baru kenal, kan? Kenapa kamu secepat itu setuju nikah sama aku?"
"Mungkin kita jodoh?" Gian kembali tersenyum saat mengatakannya.
"Jodoh?"
"Ya, makanya aku udah seyakin itu walaupun kita baru ketemu."
Aku berulang kali mencoba memahami situasi yang tidak terduga ini,
"Jadi, gimana?" Kedua tangan Gian bersedekap di atas meja. "Kamu mau?"
"Boleh kasih aku waktu?"
"Tentu, berapa lama?"
Aku hanya bergumam, rasanya ini benar-benar sangat mengejutkan bagiku. "Hm—"
"Jangan lama-lama."
"Ya?"
"Seminggu." Gian bergerak mengambil gelas dan meminum Lemonade—pesanannya, "Aku kasih waktu seminggu buat kamu berpikir, Ki."
Aku hanya mengangguk, menyetujui ucapannya Gian.
•••••
Ini dia pria itu, yang membuatku tidak bisa berkata-kata. Gian Kalingga.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.